Header Ads

Tanggapan Opini " Agama dan Semangat Zaman"

Koran Solopos edisi 13/5 memuat artikel  opini berjudul “Agama dan Semangat Zaman” (lihat disini:http://edisicetak.solopos.com/berita.asp?kodehalaman=h04&id=111892), karangan dari seorang dosen IAIN Wali Songo Semarang. Tulisan tersebut sepertinya menarik untuk ditanggapi.  Apa yang disampaikan oleh saudara penulis tersebut terkesan kabur sehingga perlu adanya koreksi.

Naluri beragama atau berketuhanan memang merupakan  fitrah yang dikaruniakan Allah Swt kepada manusia.  Sehingga semua manusia memiliki kecenderungan untuk mensucikan sesuatu,  bahkan orang orang yang mengaku tidak mempercayai adanya Tuhan sekalipun (atheis) , mereka melampiaskannya dengan mengagungkan tokoh pujaannya. Sebagaimana orang komunis yang “mendewakan” Stanlin atau juga Lenin.

Demikian halnya dengan orang suku pedalaman sekalipun, ada yang mensucikan benda, pohon,  atau  yang lain untuk mengekspresikan naluri yang satu ini. Hanya saja, bagi setiap muslim,  dengan akal sehatnya memahami dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah lah satu satunya Tuhan yang pantas disembah (Tauhid), dan Islamlah satu satunya agama yang diridhoi-Nya.

Jadi  wajar manakala orang-orang barat yang sekuler sekalipun meyakini adanya Tuhan. Sebab jika naluri mensucikan sesuatu ini tidak disalurkan, maka akan menimbulkan perasaan gelisah dalam hatinya.

Catatan kritis yang harus kami sampaikan ialah perihal ungkapan saudara penulis yang mengesankan doktrin-doktrin agama, disebutnya termasuk doktrin agama Islam (ayat ayat Al Quran dan As Sunnah) tidak relevan untuk kondisi kekinian. Ini adalah sebuah pemikiran bathil yang kiranya wajib dikritisi. Hal ini mengingat Al Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia yang diturunkan oleh Allah melalui utusan-Nya yakni Muhammad Saw. Sebagai pedoman hingga akhir zaman (hari kiamat).

Relevan

Termasuk tentang kebolehan poligami, maka itupun sejatinya amat relevan untuk kondisi saat ini. Bahkan di suatu keadaan, poligami bisa menjadi kebutuhan. Misalkan untuk menyelamatkan janda janda korban perang, seperti di Iraq, Afghanistan, dan lainnya. Pula halnya dengan pupulasi kaum hawa yang lebih banyak daripada kaum Adam, padahal hampir semuanya membutuhkan pasangan hidup.

Meski terkadang hati perempuan ada yang tak rela untuk dimadu, maka disinilah keimanan diuji, pahala besar akan didapat oleh sang istri jika taat pada suami selama dalam persoalan yang ma’ruf. Ketaatan seorang istri semata mata adalah dalam rangka menaati Allah dan Rasul-Nya. Buktinya pula, banyak keluarga yang bahagia dengan berpoligami, dan sebaliknya sangat banyak keluarga yang tak bahagia meski memilih bermonogami.

Selanjutnya, kami sepakat bilamana Islam itu mengajarkan kedamaian, namun tentunya kedamaian yang berkeadilan, bukan damai dalam penindasan. Islam juga mengajarkan sikap kstaria, artinya Islam mengajarkan apabila bangsanya dijajah maka penjajah harus diusir, jika tidak mau pergi dengan baik baik/damai, maka umat Islam wajib menghadapinya dengan bahasa ‘lelaki”.

Sama halnya ini dilakukan oleh para pahlawan Indonesia yang mayoritas adalah kaum muslim, mereka berjihad mengusir penjajah belanda waktu itu. Itu juga yang sekarang ini dilakukan oleh saudara saudara kita di Iraq, Palestina, Afghanistan, dsb. Maka jika harus bertanya, pertanyaan itu layak hanya ditujukan kepada bangsa penjajah, apakah di dalam agama mereka mengajarkan penjajahan?

Terkait konflik-konflik dalam negri ini, maka justru sejatinya dapat disimpulkan jika semua itu dikarenakan tidak diterapkannya ajaran agama secara keseluruhan (baca: syariah Islam). Beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia adalah diakibatkan permasalahan kesejahteraan yang tidak merata, buah dari penerapan sistem kapitalisme. Konflik Ahmadiyah diakibatkan karena negara tidak mengambil sikap tegas terhadap Ahmadiyah, tawuran pelajar adalah buah sistem pendidikan yang sekuler, dan seterusnya.

Kemajuan
 
Kenapa pula kita harus silau dengan kemajuan bangsa barat jikalau kemajuan itu keropos didalamnya, apalagi kemajuan diatas penderitaan bangsa bangsa lain. Disamping bahwasanya kemajuan barat tersebut yang membidani adalah dunia Islam yang sebelumnya maju terlebih dahulu. Roda itu berputar, kini dunia Islam dibawah, namun akan kembali keatas atau memimpin. Sebagaimana janji Allah.

Saudara penulis juga menyinggung tentang kebodohan dan kemiskinan yang saat ini melanda masyarakat religius, tentu terutama adalah dunia Islam, meski tidak spesifik beliau menyebut masyarakat Islam. Pertanyaannya, siapa yang berani menyangkal jika kebodohan dan kemiskinan adalah akibat penjajahan bangsa kapitalis?

Lebih mengherankan lagi, ungkapan saudara penulis yang memberikan pertanyaan: “dimana pertolongan Allah telah dekat?” dengan tidak menyertakan jawaban yang menyejukkan hati bagi masyarakat, dan terkesan mengabur sehingga seolah-olah ada keraguan. Bukankah pertolongan Allah itu bisa dalam bentuk apa saja, bukankah bisa jadi Allah mengangkat derajat seorang muslim justru dengan kemiskinan itu, jika dia bersabar sebelum datang pertolongan Allah berupa kejayaan?.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (seusngguhnya kami milik Allah dan sesunnguhnya kami sedang menuju kemabali kepada-Nya) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah : 155 -157)

Begitu pula dengan banyaknya gempa dan bencana yang terjadi di dunia Islam termasuk Indonesia, sebenarnya banyak alasan untuk kita berprasangka baik kepada Allah, karena itu memang diperintahkan. Bencana yang terjadi adalah bisa berupa adzab, cobaan, atau peringatan. Bisa pula sebagai kafarah (penebus dosa dosa yang telah dilakukan).

Abu Hurairah r.a. berkata: "Ketika turun ayat 'man ya'mal suuan yujza bihi' (Siapa yang berbuat kesalahan akan mendapat balasanny) (QS . An-Nisa: 123), kaum muslimin kelihatan dalam keadaan susah. Rasulullah Saw bersabda kepada mereka; 'Bidiklah dan dekat-dekatkan sasaran. Sesungguhnya dalam setiap musibah yang menimpa orang Islam, ada kaffarah sampai pun duri yang mengenainya dan kecelakaan yang menimpanya”. (HR. Muslim, at-Turmudzi, dan an-Nasai)

Diibaratkan, lebih baik mana jika ada seorang ayah yang menjewer kuping anaknya yang nakal agar tidak melakukan kembali kesalahannya sebagai wujud kasih sayang sang ayah, dibanding seorang ayah yang sudah membiarkan anaknya karena  sudah tidak lagi sayang?

Begitulah, Islam itu sudah sempurna, aturannya lengkap untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Solusi manjur hingga hari kiamat (akhir zaman). Islam adalah agama yang damai dan berkeadilan. Perbedaan dalam memahami Islam memang sebuah keniscayaan, dijelaskan oleh para ulama, hal ini ditolelir selama perbedaan itu dalam persoalan furu’ (cabang), dan selama tidak menerjang masalah prinsip.

Menganggap tidak relevan  (bahasa halus dari menolak) aturan Islam sebagian dan menerima yang sebagian adalah sebuah pelanggaran dalam prinsip Islam. Alangkah baiknya untuk segera menyadarinya. Aturan Islam juga tidak sebatas logika, jika meski terkadang ada beberapa ayat Al Qur’an yang kita anggap tidak sesuai dengan pemikiran kita, maka semua itu semata mata karena keterbatasan manusia, sedangkan Allah maha tahu, begitu luas ilmu-Nya.

Allah Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan makhluk ciptaan Nya. Oleh karena itu, semoga kita tidak termasuk orang yang sombong. Kata Rasul, orang sombong adalah orang yang menolak kebenaran dan menganggap rendah masyarakat. Wallahu a’lam.

Ali Mustofa

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.