Header Ads

Buah Liberalisme Politik dan Ekonomi

Oleh : Mujiyanto

Sepanjang sejarah perjalanan Indonesia, bangsa ini sebenarnya belum pernah lepas dari penjajahan. Sekarang penjajah lebih lihai melalui peraturan perundang-undangan.

Sudahkan kita merdeka? Pertanyaan ini menjadi relevan kembali ketika fakta menunjukkan dominasi asing pada sektor-sektor strategis Indonesia. Kekayaan alam yang begitu besar mengalir deras ke luar negeri di saat rakyat dirundung kemiskinan dan kesulitan hidup.

Usut punya usut, kondisi ini ternyata sudah dirancang jauh hari sebelum reformasi. Kemerdekaan Indonesia 1945 tak lepas dari campur tangan asing. Belanda tak rela Indonesia merdeka dan menginginkan Indonesia menjadi bagian negara persemakmurannya. Amerika yang menang perang dalam Perang Dunia II pun, menginginkan kekayaan alam zamrud katulistiwa ini.

Walhasil, Amerika-lah yang akhirnya berhasil 'menguasai' Indonesia. Belanda, Rusia, dan Cina tersingkir. Menurut pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy, cengkeraman Amerika itu tampak ketika Amerika menjatuhkan Soekarno lima pekan setelah Soekarno menerbitkan UU yang menolak pinjaman dan investasi asing pada 23 Agustus 1965. Proklamator ini dijatuhkan dengan inflasi 600 persen yang dibuat oleh CIA.

Sebagai gantinya Amerika mendukung Soeharto. Melalui Soeharto, investasi asing dan pinjaman luar negeri dibuka. Amerika juga mendapatkan tambang emas, perak, dan tembaga di Papua. Sumur-sumur minyak pun diserahkan kepada perusahaan Amerika. setelah itu, perusahaan-perusahaan Amerika merajalela menguasai sumberdaya pertambangan Indonesia.

Nah ketika Soeharto mulai menyadari kesalahannya dan mencoba tidak patuh kepada Amerika, AS berang dan menjatuhkannya. Caranya dengan mengganggu perekonomian Indonesia dengan kenaikan harga minyak dan dilanjutkan dengan nilai tukar serta ditagihnya kewajiban luar negeri korporasi dan perbankan nasional. Maka lewat kerja sama korporasi asing dengan CIA, lagi-lagi Indonesia dipukul. "Maka pernyataan BJ Habibie tentang ganti bajunya VOC menjadi MNC pada hakekatnya sama sekali tidak baru," kata Ichsanuddin.

Kian Dicengkeram

Datangnya era reformasi tak menghentikan campur tangan Amerika dan korporasinya di Indonesia. Apalagi ditambah lahirnya generasi lulusan Amerika yang kemudian menempati posisi penting di Indonesia di segala bidang. Sepak terjang alumni Amerika inilah yang kemudian mendorong Indonesia kian liberal.

Reformasi Indonesia ditandai dengan amandemen Undang Undang Dasar 1945. Amandemen UUD 1945 yang dulunya dianggap sakral itu justru menjadi pintu masuk terciptanya liberalisasi secara konstitusional dalam segala bidang. Tidak hanya di bidang politik, liberalisasi itu kian terasa di bidang ekonomi. Orang-orang neoliberal berkuasa dan menjadi pengarah atas perjalanan bangsa ini.

Sebagai wujud dari pengejawantahan dari UUD 1945 hasil amandemen, berbagai undang-undang pun dilahirkan. Sesuai dengan dasar hukumnya yang sudah liberal, peraturan di bawah UUD ini mau tidak mau mengikuti induknya.

Tahun 2001 lahir UU Migas Nomor 22 tahun 2001. Inilah kran liberalisasi migas. Pertamina dikebiri, dan perusahaan asing diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengeruk ladang migas Indonesia. "Ini merupakan bentuk dari kelanjutan konsensus di zaman perjajahan," kata pengamat perminyakan Kurtubi kepada Media Umat.

Sempat muncul UU Ketenagalistrikan tahun 2002 yang memungkinkan swastanisasi penyediaan listrik dan unbundling Perusahaan Listrik Negara (PLN). Untungnya, UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 45.

Setelah itu disusul UU Sumber Daya Air tahun 2004. Sama seperti UU Migas, investor asing diundang untuk menguasai sumber daya air Indonesia. Masuklah beberapa perusahaan air kelas kakap menguasai sumber-sumber air.

Yang paling dahsyat adalah lahirnya UU Penanaman Modal tahun 2007. Dengan UU ini asing diberi kebebasan untuk menanamkan modalnya hingga 90 persen. Tidak hanya itu, mereka diberi hak guna usaha (HGU) selama 95 tahun.

Di sektor perbankan, peme¬rintah dengan dukungan DPR pun mengeluarkan UU Per¬bankan yang sangat liberal. Turunan UU itu berupa Peraturan Pemerintah memberikan kesem¬patan kepada warga negara asing untuk memiliki saham perbankan di Indonesia hingga 99 persen. Bandingkan dengan di Malaysia yang hanya memperbolehkan ke¬pemilikan asing dalam perbankan lokal sebanyak 30 persen.

Munculnya peraturan liberal di Indonesia tak bisa dipisahkan dari campur tangan asing melalui pemerintah, LSM/lembaga multilateral, dan multinational corporation (MNC) yang bersimbiosis dengan para politisi dan pejabat negara Indonesia.

Ichsanuddin mengungkapkan, pekerjaan utama korporasi dan lembaga multilateral asing terhadap pejabat tinggi dan politisi Indonesia adalah meminta Indonesia membuat utang luar negeri dan membebaskan investasi asing. "Di era sekarang hal itu dilakukan secara sah berdasarkan UU No. 24/99 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Pembayaran serta UU No. 25/07 tentang Penanaman Modal,” katanya.

Wajar bila pihak asing tak keberatan mengeluarkan uang jutaan dolar guna mendukung penyusunan sebuah rancangan undang-undang. Bahkan banyak UU yang lahir di era reformasi, draft-nya yang membuat adalah asing. Pemerintah dan wakil rakyat tinggal menerima jadinya saja. Tentu itu semua ada kompensasinya. Apa?Ya, uang!

Semua itu tak bisa dipisahkan dari demokrasi liberal yang telah dilahirkan terlebih sebelum UU ekonomi yang liberal. Demokrasi yang mahal mengharuskan para penguasa dan politikus mencari uang dengan cepat. Cara yang paling mudah dan cepat adalah berkolusi dengan pihak asing. Dari situlah pintu masuknya. Mereka itulah begundal VOC berbaju baru.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.