Header Ads

Skandal Partai Demokrat


Oleh : Mujiyanto

Partai Demokrat tak ubahnya seperti partai-partai lain yang mengeruk untung di balik kekuasaan yang diperolehnya.

Sepak terjang partai politik di Indonesia kian memuakkan. Rasanya tak ada habisnya ulah yang dibuat oleh partai politik dalam menggerogoti uang rakyat. Partai politik tak ubahnya mesin pencari uang di tengah rakyat yang tak kunjung berdaya.

Setelah diguncang skandal Bank Century yang tak jelas penyelesaiannya, rakyat kembali disuguhi pagelaran korupsi ting­kat tinggi. Meski dari sisi ang­kanya jauh dibandingkan duit yang dirampok oleh Bank Centu­ry, kasus suap menyuap yang melibatkan petinggi Partai Demokrat layak disoroti.

Kasus ini awalnya tergolong kasus biasa yakni suap menyuap sebesar Rp 3,2 milyar. Suap diberikan kepada Sekretaris Men­teri Pemuda Olahraga Wafid Mu­harram oleh dua orang yakni Mirdo Rosalina Manullang atau Rosa, dan petinggi dari PT Duta Graha Indah bernama Mohamad El Idris. Mereka bertiga ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat transaksi berlangsung.

Rosa diketahui adalah Direk­tur PT Anak Negeri. Perusahaan ini bertindak sebagai penghubung antara PT Duta Graha Indah dan pemerintah dalam hal ini Ses­menpora. PT Anak Negeri adalah milik M Nazaruddin, bendahara umum Partai Demokrat.

Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) telah menetapkan Nazar sebagai tersangka. Belum sempat diperiksa, ia kabur ke Singapura. Merasa terdesak, ia pun mengancam akan membongkar borok-borok partai. Se­buah SMS dari Singapura atas nama Nazar sempat beredar yang memojokkan SBY dan para pe­tinggi Demokrat lainnya. Namun Nazar menyangkal SMS itu darinya.

Kasus ini kian menegaskan bahwa partai politik adalah mesin uang. Sistem demokrasi yang mahal menyebabkan mau tidak mau partai politik mencari pen­dapatan dari berbagai jalan, termasuk jalan haram.

Ada yang melalui perusa­haan-perusahaan yang dibentuk oleh partai politik atau melalui tangan-tangan fungsionaris partai yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif. Cara yang ditempuh bisa jadi resmi, tapi juga ada yang ilegal alias tidak resmi.

Keberadaan fungsionaris parpol di lembaga negara ibarat benalu. Mereka tak sekadar menempel di kekuasaan demi kursi tapi lebih dari itu untuk meng­hidupi partainya masing-masing. Semua itu terjadi karena sistem demokrasi itu sendiri.

Tidak ada praktik demokrasi tanpa uang. Bahkan di Amerika Serikat sendiri sebagai dedengkot demokrasi, politik uang ini sudah sangat lazim. Suara rakyat bisa dibeli dengan uang. Citra bisa dipoles dengan uang. Bahkan hukum pun bisa dibeli dengan uang.

Siapa yang ingin berkuasa dalam sistem demokrasi syarat­nya adalah uang. Terjadilah kapitalisasi politik dan politik transak­sional. Siapa yang memiliki uang banyak, dialah yang bisa me­menangi pertarungan. Dalam kondisi seperti itu, rakyat hanya­lah menjadi komoditas dalam transaksi politik.

Walhasil yang berkuasa se­benarnya adalah para kapitalis.lni pula yang terjadi di negara­-negara yang menerapkan demo­krasi. Prinsip demokrasi dari rak­yat, oleh rakyat, dan untuk rakyat cuma sekadar jargon tanpa mak­na. Para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya. Akhirnya negara dikendalikan oleh sedikit orang yang kaya dan negara diatur bak sebuah perusahaan.

Maka dalam kondisi seperti ini, pemberantasan korupsi akan sulit dilakukan. Mengapa? Karena para penguasa adalah pelaku korupsinya. Mereka sendiri yang membuat dan melaksanakah aturan sehingga mereka bisa leluasa bergerak ke sana ke mari. Ibarat iklan, tak mungkin jeruk makan jeruk. Semua sama-sama tahu dan toh untuk kepentingan partai sendiri.

Banyaknya fungsionaris partai yang ditangkap dan dijeblos­kan ke penjara terbukti tak mampu menghentikan perilaku korupsi. Memang begitulah titah demo­krasi.

Solusi Alternatif 

Namun bukan berarti ko­rupsi tak bisa dihabisi. Korupsi akan tenggelam dalam sistem yang memungkinkan orang tidak bisa korupsi. Sistem itu adalah sistem Islam. Sistem ini akan membangun kesadaran baru bagi warga negara dalam memandang kehidupan dunia. Dunia bukan­lah segalanya.

Prinsip akidah Islam akan menuntun siapapun orang yang di dalamnya untuk takut kepada Allah karena di akhirat kelak mereka akan ditanyai tentang sepak terjangnya di dunia. Prinsip seperti ini tidak ada dalam sistem apapun di dunia saat ini.

Di samping itu, Islam memi­liki seperangkat aturan yang te­gas. Ada larangan orang melakukan suap menyuap. Islam mela­rang warga negara memberikan hadiah kepada penguasa dalam bentuk apapun.

Negara pun akan senantiasa menilai kekayaan aparatur nega­ra. Bila ada penyimpangan, segera cepat diketahui dan harta tak wajar itu disita oleh negara untuk dimasukkan kas negara.

Dalam pemilihan kepala ne­gara (khalifah), tak perlu ada kapitalisasi politik sebab pemi­lihan khalifah waktunya sangat pendek yakni tiga hari dua malam. Pemilihan bisa langsung maupun melalui majelis umat. Juga, masa jabatan khalifah tidak dibatasi dalam periode tertentu. Jadi tak perlu dana dan energi yang besar sekadar hanya memi­lih pernimpin negara.

Di jajaran bawahnya, pemi­lihan penguasa daerah cukup di­tunjuk oleh khalifah. Tak perlu ada pemilihan umum kepala daerah. Semua aparatur negara diawasi langsung oleh rakyat. Bila mereka menyimpang dari aturan Islam, mereka bisa dilengserkan.

Sistem administrasi dan bi­rokrasi Islam, dibangun di atas tiga prinsip dasar: (1) birokasi yang sederhana (basathah fi a nidzam); (2) cepat proses dan penyelesaiannya (sur'ah fi injaz); (3) ditangani oleh orang cakap dan bertakwa.

Bila dalam kondisi seperti ini kok masih ada yang mencoba-­coba memainkan jabatan, hukum Islam yang akan bicara. Sanksi telah menunggu. Semua pihak sama kedudukannya di depan hukum dalam arti sebenarnya.

Bukankah ini suatu yang akan memberikan kebaikan? 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.