Header Ads

Analisis Politik : Sinyal Campur Tangan Inggris Dalam Masalah Papua

Masalah Papua kembali dicoba ditarik ke tingkat internasional. Kali ini yang terakhir dilakukan oleh pemain yang lain lagi yaitu Amnesty International yang bermarkas di London.

Amnesty International menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat untuk sekelompok aktivis termasuk mahasiswa yang ambil bagian dalam barisan damai di Manokwari, provinsi Papua Barat, memprotes ketidakadilan dan pelanggaran HAM pasukan keamanan Indonesia terhadap warga Papua.

Amnesty International juga mendesak pemerintah Indonesia mencabut peraturan pemerintah No 77/2007 melarang logo atau bendera daerah, digunakan organisasi separatis, demikian keterangan Josef Benedict dari Amnesty Internasional yang bermarkas di London, Kamis. (Antaranews.com, 25/8).

Amnesty International yakin peraturan ini bertentangan dengan semangat UU Otonomi Khusus tahun 2001 yang memberi orang Papua hak untuk mengekspresikan identitas budaya mereka. Larangan membentangkan bendera ini tidak bisa dianggap alasan yang sah untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berasosiasi seperti yang diatur dalam ICCPR. Amnesty International menyadari sedikitnya 90 aktivis politik di propinsi Maluku dan Papua yang telah dipenjara semata-mata untuk kegiatan politik damai mereka.

Pernyataan Amnesty International itu datang setelah diselenggarakan konferensi provokasi kemerdekaan Papua di London. Desakan Amnesty Internasional itu datang beriringan waktunya dengan aksi kelompok media Fairfax yang membocorkan apa yang disebut sebagai dokumen rahasia Kopassus berjudul “Anatomi Separatisme Papua” tentang gerakan separatis Papua. The Saturday Age mengaku mendapatkan dokumen rahasia yang dibuat tahun 2006-2009, tanpa menjelaskan bagaimana dokumen itu didapat.

The Canberra Times menulis soal bocornya dokumen TNI. Dokumen bertahun 2006-2009 itu adalah laporan analisis detail tentang anatomi gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka, serta orang-orang yang dicurigai memberikan dukungan dan simpatinya kepada mereka.

Laporan itu menggambarkan pengawasan ketat yang dilakukan oleh intelijen Kopassus di Papua terhadap orang-orang yang dianggap sebagai tokoh gerakan separatis, orang-orang asing yang dicurigai mendukung gerakan ini, termasuk mengawasi turis-turis asing yang berkunjung ke sana.

Dokumen itu juga menceritakan daftar informan yang ditugasi untuk mengawasi orang-orang yang dicurigai oleh Kopassus. Kendati jati diri informan-informan itu tidak diungkap, namun dalam laporan itu mereka digambarkan berdasarkan temperamen dan motivasi mereka.

Manuver Inggris

Ketiga aksi tentan kemerdekaan Papua itu (Konferensi di London, pembocoran “dokumen rahasia Kopasus” dan desakan Amnesty International, ketiganya bisa dianggap bukan merupakan aksi yang terpisah. Sebaliknya ketiganya berkelindan membangun sebuah manuver besar. Internasionalisasi masalah Papua dilakukan untuk memprovokasi kemerdekaan Papua yaitu untuk memprovokasi dunia mendukung keingingan menentukan nasib sendiri (referendum) seperti yang diberikan kepada rakyat Timtim. Untuk membenarkan hal itu atau memberikan dasar argumentasinya, disitulah posisi pembocoran dokumen rahasia kopassus oleh kelompom Fairfax itu. Pembocoran dokumen rahasia itu adalah untuk menyatakan bahwa di Papua terjadi pelanggaran HAM atau tetap dilakukan operasi rahasia oleh TNI. Ini seperti untuk memperkuat penayangan video penyiksaan oleh orang yang dikatakan sebagai angota TNI terhadap aktivis separatis Papua beberapa bulan lalu. Kemudian untuk mengadvokasi aksi itu atau para aktivisnya pada tingkat internasional, disitulah peran Amnesty International berada.

Ketiganya juga bisa dianggap sebagai pemain dari sebuah permainan yang sama. Amnesty International seperti yang terlihat jelas selama ini, merupakan salah satu alat Inggris dalam pertarungannya dengan Amerika memperebutkan pengaruh di berbagai kawasan, terutama tampak jelas di masalah Afrika. Sementara kelompok-kelompok politik dan media di Australia juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kepentingan Inggris. Adapun konferensi di London, dari sisi tempat, dukungan dari sebagia politisi Inggris di Parlemen seperti Andrew Smith, ditampungnya Benny Wenda da, sejumlah indikasi lainnya, memprlihatkan dengan jelas adanya tangan Inggris di belakang hal itu.

Adanya sejumlah “manuver” Inggris tentang Papua ini bisa jadi mengindikasikan, Inggris mulai meningkatkan keseriusannya mengelola masalah Papua. Itu artinya Inggris mulai serius untuk berebut pengaruh dengan Amerika di Papua. Agaknya Inggris melihat sekarang adalah waktu untuk itu. Mengingat AS, perhatiannya banyak tersita untuk mengurusi masalah Afrika khususnya Darfur setelah selatan Sudan merdeka, masalah Libya, revolusi di Suria dan Yaman, disamping operasi di Pakistan dan Afganistan.

Melengkapi semua itu, entah sebagai sebuah kebetulan atau tidak –dalam politik dan konstelasi internasional rasanya sangat jarang terjadi sebuah kebetulan- Wikileaks membocorkan “dokumen” yang menyebut beberapa menteri di kabinet SBY sebagai mitra potensial bagi AS. Bahkan beberapa nama disebut secara gamblang dan peran atau perlakuan terhadapnya. Pembocoran ini bisa merecoki kepentingan dan pengaruh AS di negeri ini. Sebab dengan dokumen yang dibocorkan itu setidaknya terbongkarlah kedok orang-orang yang dimenjadi mitra AS atau yang banyak memberi keuntungan bagi kepentingan AS. Sekaligus juga menelanjangi bahwa selama ini AS memang telah begitu dalam melakukan intervensi di negeri ini bahkan dalam masalah “penentuan” anggota kabinet.

Semua aksi itu bisa dinilai sebagai sebuah strategi Inggris yang dimainkan oleh setiap pemain peran. Semua itu terjadi dalam konteks pertarungan internasional dalam masalah Papua. Tentu saja ujungnya adalah untuk memperebutkan pengaruh dan keuntungan yang tersimpan di bumi Papua baik kekayaan alam maupun posisi strategisnya.

Dan sebagai wortelnya, Inggris menawarkan iming-iming kemungkinan menjual pesawat tempur canggih Eurofighter Typhoon seperti yang diungkap oleh Times pada Maret lalu. Konon penjajakan informal untuk itu mulai dilakukan saat kunjungan pangeran Andrew ke negeri ini.

Terkait hal itu, kita harus waspada. Dalam semua pertarungan internasional, yang paling diuntungkan selalu saja adalah pemain besar, dalam hal ini Inggris dan AS. Sementara kawasan yang diperebutkan dan penduduknya terus saja menjadi korbannya. Tentu saja kita tak ingin hal itu juga terjadi pada kita, terutama Papua. (Lajnah Siyasiah HTI)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.