Header Ads

Papua Merdeka, Papua Merana

Oleh : Mujiyanto

Kemerdekaan tidak akan menjamin Papua tambah sejahtera, hanya Islamlah yang akan menjadikan warga Papua mulia dan bermartabat.

Setelah sempat tenggelam beberapa saat, isu Papua merdeka kembali muncul ke permukaan. Kemunculannya disertai aksi, unjuk rasa, konferensi di London, Inggris, dan aksi penyerangan.

Akhir Juli hingga awal Agustus tampaknya dijadikan kesempatan oleh mereka yang menginginkan kemerdekaan Papua sebagai sarana propaganda. Tuntutan referendum muncul di kota-kota di Papua. Mereka kembali mempermasalahkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Pepera itu dianggap tidak sah.

Padahal, tidak ada satu negara pun di dunia yang mempermasalahkan integrasi Papua ke Indonesia. Proses itu pun mendapat legitimasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan keluarnya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969. Dalam sidang itu, 82 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju menyatakan tidak setuju atas keabsahan Pepera Papua.

Namun kelompok pro kemerdekaan tetap saja menggugat keabsahannya. Alasannya, Pepera itu tidak mewakili pendapat rakyat semuanya. Pepera dianggap hanya diwakili segelintir orang saja.

Mereka terus melakukan upaya diplomasi dan trik-trik yang memancing perhatian dunia internasional. Sebagian yang lain melakukan aksi pemberontakan bersenjata. Mereka melawan Indonesia dengan perang gerilya di kawasan Papua.

Beberapa orang sipil dan militer tewas dalam beberapa hari di awal Agustus. Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengaku bertanggung jawab atas aksi kekerasan tersebut. Bahkan mereka dengan lantang menyatakan akan melawan polisi dan militer Indonesia. Anehnya, aksi-aksi kekerasan ini tak pernah bisa ditumpas. Padahal berdasarkan laporan, jumlah mereka sebenarnya hanya sedikit.

Munculnya aksi diplomasi dan bersenjata ini tidak berjalan sendiri. Berdasarkan dokumen militer, aksi Papua merdeka didukung beberapa kalangan baik di dalam dan di luar negeri. Mereka berasal dari beberapa negara, terutama para politikus. Malah ada tokoh Kristen terkenal dunia yang mendukung gerakan tersebut.

OPM selalu mencari kesempatan agar muncul kasus-kasus besar yang bisa 'dijual' ke dunia internasional. Rupanya mereka ingin mereplikasi apa yang pernah terjadi di Timor Timur. Harapannya, mereka pun mendapatkan seperti yang didapatkan Timor Leste.

Tak Terurus

Ibarat pepatah 'tak ada asap kalau tidak ada api', adanya desakan kemerdekaan ini adalah reaksi atas ketertinggalan daerah ini dalam segala bidang. Sejak berintegrasi dengan Indonesia, kemajuan yang dicapai daerah ini jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Mayoritas penduduknya masih tergolong miskin. Mereka menjadi obyek eksploitasi.

Keberadaan tambang emas terbesar di sana menjadi sumber masalah baru. Pengelolaan tambang oleh swasta asing menambah rumit persoalan karena terjadi berbagai pelanggaran di tengah masyarakat.

Tetesan kesejahteraaan yang diharapkan masyarakat dari kekayaan alamnya ternyata tak pernah terwujud. Sengketa demi sengketa yang muncul. Bahkan ada kesan, pergolakan demi pergolakan sengaja diciptakan untuk eksistensi perusahaan itu di sana.

Pangkal itu semua adalah penerapan sistem kapitalistik. Swasta asing lebih berkuasa dibandingkan negara. Walhasil, asinglah yang menikmati kekayaan Papua. Ditambah lagi, sistem demokrasi yang sarat korupsi menjadikan hasil yang sedikit dari kekayaan alam pun dikorupsi oleh para politikus dan elite politik baik di pusat maupun daerah.Tambang yang melimpah mereka jadikan bancakan mencari uang demi kepentingan pribadi, partai, bukan masyarakat.

Maka melihat fakta yang ada, kemerdekaan bukan solusi. Apalah gunanya merdeka jika masih tetap dijajah? Tidak ada makan Siang yang gratis: no free lunch! Tidak mungkin asing tidak meminta imbalan atas dukungan yang diberikan atas kemerdekaan sebuah wilayah. Kasus di Timor Timur dan Sudan Selatan bisa menjadi pelajaran berharga. Yang menikmati 'kemerdekaan semu' itu hanyalah elite politiknya saja. Sementara rakyatnya menderita. Malah lebih menderita karena mereka harus menanggung biaya kemerdekaan dan biaya bagi elite politik mereka. Bukankah. ini tambah merana?

Solusi yang terbaik bagi Papua adalah penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Mungkin ini terasa asing bagi warga Papua. Tapi yakinlah Islam memiliki konsep yang sangat adil bagi setiap insan yang mau diatur dengannya, tak memandang agama, suku, dan rasnya.

Islam memiliki seperangkat aturan pengelolaan negara yang komprehensif. Aturan itu berasal di Dzat Yang Mahaadil dan Mahabaik yakni Allah SWT. Aturan itu telah terbukti mengangkat derajat manusia yang jahiliyah menjadi masyarakat yang memiliki peradaban tinggi, bahkan jauh melebihi bangsa lain di dunia.

Tak pernah terbayangkan, bangsa Arab yang dulunya tak diperhitungkan dalam percaturan politik dunia berubah menjadi bangsa yang menjadi mercusuar perkembangan peradaban manusia. Ilmu pengetahaun dan teknologi lahir dari sana. Orang-orang pintar dan shalih bermunculan. Sistem Islam terbukti mampu menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Tidak ada diskriminasi sedikitpun. Semua manusia adalah sama, yang berbeda hanyalah ketakwaannya

Islam menghapuskan kezaliman dan ketidakadilan serta menjaga setiap jengkal wilayah dari jarahan para penjajah. Sementara keberadaan negara semata-mata sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan rakyat. Karena memang seperti itulah Islam telah menggariskan.

Maka negeri ujung timur Indonesia ini akan sejahtera dan bermartabat dengan syariah Islam. Hanya saja ini perlu perubahan total dalam sistem kenegaraan yang tengah berlaku.

Kalau tetap menjadikan kapitalisme sebagai dasar pengaturan negara, yakinlah kesejahteraan hanyalah fatamorgana karena yang menikmati limpahan hasil alam hanya orang-orang yang kaya dan punya kuasa. Mereka bisa dari penguasa—lokal dan pusat—serta para penjajah.
Papua mulia dengan Islam!

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.