Header Ads

Menyoal Independensi KPK

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dibentuk sejak tahun 2002. Sampai sekarang berarti umurnya 9 tahun. Sudah beberapa kasus ditangani KPK. Jumlah kasus yang banyak masuk ke KPK dari seluruh Indonesia mencapai 27 ribu. Namun, yang terindikasi korupsi hanya 60 persennya saja atau sekitar 16.200 kasus. Tahun 2007, KPK hanya mampu menyelesaikan 19 kasus. Prediksi tahun 2008 14 kasus atau turun lima kasus dari tahun 2007 (http://korupsi.vivanews.com/news/read/13203-16_200_kasus_korupsi_masuk_kpk).

Menurut aktivis ICW, Tama Satrya Langkun, pada 2009 KPK menangani 25 kasus korupsi dan pada 2010 menangani 23 kasus (http://m.beritasatu.com/index.php/news/detil/3/2740). Awal tahun 2011, Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis penanganan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum sepanjang semester II tahun 2010. Korupsi yang terjadi mulai 1 Juli hingga 31 Desember 2010 ini ada 272 kasus korupsi yang terjadi baik di level pusat maupun di daerah (http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d6532578544e/icw-jumlah-penanganan-perkara-kpk-menurun).

Akhir-akhir ini, KPK juga tengah menelusuri 31 kasus yang melibatkan Nazaruddin di lima kementerian. Kasus-kasus ini kata Busyro tengah berada dalam tahap pengumpulan bahan dan keterangan. Total nilai proyek adalah Rp 6,037 triliun (http://www.detiknews.com/read/2011/08/17/110750/1705297/10/kerugian-negara-jadi-faktor-kasus-nazar-diprioritaskan-kpk). Kasus suap Kementerian Tenaga Kerja dan Tarnsmigrasi sebesara uang Rp 1,5 miliar itu diberitakan berbagai media.


Sepak Terjang KPK

Pada 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, alumnus Akademi Kepolisian 1971, dilantik menjadi ketua pertama KPK. Di bawah kepemimpinannya, KPK menempatkan posisinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan instansi lain untuk menciptakan sebuah good an clean governance (pemerintahan yang baik dan bersih) di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, Taufiequrachman Ruki memberantas korupsi meskipun mendapat kritikan dari berbagai pihak yang menilai dia masih masih tebang pilih. Pada 2007, posisi Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar. Antasari Azhar diangkat oleh Presiden SBY.

Kiprah Antasari sebagai ketua KPK lansung mencuri perhatian masyarakat. Antasari membuat gebrakan dengan menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitannya dengan penyuapan kasus BLBI Syamsul Nursalim. Sepak terjang Antasari terus berlanjut dengan menangkap Al-Amin Nasution seorang anggota DPR dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan.

Akan tetapi, sepak terjang Antasari sebagai Ketua KPK harus berhenti karena tersandung kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Dalam kasus itu, Antasari dituduh menjadi dalang di balik pembunuhan tersebut. Kasus pembunuhan tersebut menyeret juga pengusaha Sigid Haryo Wibisono dan mantan Perwira POLRI, Kombes Wiliardi Wizar.

Posisi Ansari digantikan oleh pejabat pelaksana tugas Tumpak Hatorangan Pangabean pada 2009. Posisi Ketua KPK pada periode 2010 sempat kosong. Kekosongan ini dan adanya kasus kontroversi yang melibatkan pejabat KPK, membuat lembaga ini semakin susah untuk menegakkan dan menjalankan tugas pokoknya. Akhirnya, pada November 2010 terpilih Ketua KPK yang baru, yaitu Busyro Muqaddas, dan dilantik oleh Presiden pada Desember 2010.

Beberapa kasus sempat terungkap. Pertama: kasus pungutan liar pada pengurusan dokumen keimigrasian di Keduataan Besar RI di Malaysia terdakwa mantan Kapolri Rusdihardjo. Kasus ini terjadi saat Rusdihardjo menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia merugikan Negara sampai 15 miliar.

Kedua: Kasus korupsi dana YPPI yang melibatkan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah.

Ketiga: Kasus pengucuran dana YPPI yang melibatkan besan Presiden SBY, Aulia Pohan.

Keempat: Kasus suap yang melibatkan Jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani. Jaksa Urip tertangkap tangan menerima 610.000 dolar AS dari Arthalita dan dia divonis 5 tahun penjara.

Kelima: Kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR Al-Amin Nasution. Anggota DPR ini diduga menerima suap sebesar 71 juta dan 33.000 dolar Singapura dari Sekda Kabupaten Bintan.

Keenam: Kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR Hamka Yamdhu yang diduga menerima suap dari Bank Indonesia sebesar 31.5 miliar rupiah.

Ketujuh: Kasus Nazaruddin di lima Kementerian, yang paling santer di Kemenpora, yakni dalam kasus Wisma Atlet, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Belakangan ini nama Nazaruddin mencuat di beberapa media cetak maupun media online. Nazaruddin adalah mantan Bendahara Partai Demokrat dan mantan anggota DPR Fraksi Demokrat. Sekarang dia menjadi pesakitan akibat ulahnya menggondol uang negara di 4 Kementerian, di antaranya dalam kasus Wisma Atlet Kemenpora.

Ia sempat melarikan diri ke Singapura, terus ke Colombia. Di Columbia Nazaruddin tertangkap oleh Interpol, kemudian dikirim kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Nazaruddin sempat berkicau lewat media dan santer berkicau via BBM sewaktu masih berada di pelariannya.

Setelah Nazaruddin ditangkap, ada sejumlah pihak menilai ganjil sikap KPK dalam menangani kasus Nazaruddin. Setidaknya, sejak proses pemulangannya yang dinilai terkesan tertutup dan boros karena harus mengunakan pesawat khusus. Belakangan KPK dianggap menghalang-halangi kuasa hukumnya dan anggota Komisi III DPR yang hendak menemui Nazaruddin. Inilah fakta yang mengelitik untuk dikomentari lebih jauh.

Dalam konteks demokrasi, pandangan kritis sejumlah pihak terhadap KPK adalah hal wajar, bahkan menemukan relevansinya ketika dikaitkan dengan kecemasan publik, bahwa kasus korupsi Wisma Atlet Palembang bisa terhenti sampai di Nazaruddin. Di sisi lain kepercayaan publik atas KPK akhir-akhir ini makin menurun, seperti yang terlihat dari hasil survai Lingkaran Survei Indonesia (LSI) per Juni 2011. Ini ditambah lagi dengan “nyanyian” Nazaruddin yang menyebut orang dalam KPK terlibat merekayasa kasusnya.

Namun, bergulirnya opini yang mempertanyakan keterbukaan KPK menyimpan dilemma—wacana yang tidak cukup urgen untuk digembar-gemborkan. Meski di satu sisi opini kritis semacam itu baik, di sisi lain konstruksi wacana tersebut berbahaya terhadap posisi KPK, karena bisa berujung pada kemungkinan hilangnya kepercayaan publik terhadap KPK.

Hilangnya kepercayaan publik adalah petaka serius terhadap KPK. Bukan tidak mungkin wacana pembubaran KPK akan benar-benar terwujud. Dalam situasi sekarang, seharusnya publik (khususnya elit) justru memperkuat dukungan terhadap KPK, bukan malah membangun konstruksi wacana sinis terhadap KPK, karena sikap semacam itu berakibat pada pengkerdilan; menambah beban dan menganggu fokus kerja. KPK yang seharusnya fokus mengusut kasus korupsi akan disibukkan oleh serangan opini public yang cenderung tidak menaruh kepercayaan.

Penuntasan kasus korupsi yang melilit Nazaruddin saja sangat kompleks. Belum lagi kapasitas KPK sendiri yang tidak cukup kuat sampai sejauh ini. Prasangka miring terhadap KPK mungkin relevan kalau dikaitkan dengan “nyanyian” Nazaruddin atau hasil survai Lingkaran Survei Indonesia (LSI) per Juni 2011. Apakah tidak terlalu sederhana jika itu yang menjadi sandaran prasangka? Sebab, integritas KPK sejak priode 2007 hingga 2011 sangat jelas tidak memihak partai penguasa. KPK memang mengalami degradai kualitas kerja pasca kasus Antasari Azhar. Sekarang tidak segalak dulu. Namun, fakta itu juga terlalu sederhana dijadikan pertimbangan prasangka karena kasus kriminalisasi terhadap Antasari Azhar menyerupai tsunami di tubuh KPK.

Setidaknya, ada beberapa data penting yang perlu kita perhatikan. KPK, misalnya, tidak memihak penguasa. Selama periode 2007 hingga 2011, KPK telah menetapkan dua orang tersangka dari Partai Demokrat, yakni Amrun Daulay dalam kasus korupsi pengadaan sarung, sapi dan mesin jahit Depsos dan M. Nazaruddin dalam kasus suap Sesmenpora. Selain itu, ada dua bupati yang masih aktif (dari Partai Demokrat) yang juga dijadikan tersangka, yakni Bupati Pematang Siantar RE Siahaan dan Bupati Seluma, Bengkulu, Murwan Effendi.

Independensi KPK juga bisa kita dari keberaniannya menetapkan 44 orang anggota DPR. Sekarang juga KPK sedang memproses delapan mantan menteri, delapan gubernur, enam komisioner dari KPU, KY dan KPPU; 26 bupati atau walikota, empat orang hakim, empat duta besar, empat konsul jenderal, satu gubernur BI dan empat deputi senior BI, dua jaksa, dua pengacara, satu kurator; banyak direktur utama BUMN juga sudah ditangani KPK kasus-kasusnya.

Di balik sikap KPK yang terkesan tertutup bisa diterka dengan logika sederhana. Sepertinya KPK berniat untuk menanggulangi kemungkinan masuknya pihak-pihak yang akan menyelinapkan kepentingan politik. Karena kasus yang melilit Nazaruddin sangat rentan dengan upaya politisasi. Jika kasus Nazaruddin diseret-seret dalam wacana politik, langkah KPK seharusnya mendapat dukungan, bukan justru dipertanyakan.

Pada akhir bulan Ramadhan 1432 H parsel korupsi Kementrans muncul; sampai sekarang masih dalam proses tentang dana perbaikan kesejahteraaan daerah transmigrasi di daerah.

Rongrongan Terhadap KPK

Dalam beberapa kasus suap yang ditangani KPK memang masih banyak masalah. Yang paling utama adalah political will baik dari pemerintah pusat maupun daerah masih rendah. DPR juga setali tiga uang. Semuanya masih sebatas lip service.

Di sisi lain KPK memang belum mampu bekerja secara optimal lantaran jumlah SDM yang masih sangat terbatas. Komitmen pimpinan KPK juga diuji dalam keterlibatan kode etik dengan adanya pertemuan pejabat negara, khususnya dalam kasus Nazaruddin. Selain itu, independensi KPK masih dipertanyakan dari berbagai pihak, baik kalangan LSM, pengamat, akademisi bahkan sampai pada masyarakat umum. Boleh jadi karena banyaknya deal politik dengan partai politik dan anggota dewan dalam penanganan banyak kasus korupsi di Indonesia. Saat ini 8 calon pimpinan KPK akan diseleksi dan dilakukan fit and propet test oleh DPR. Yang akan keluar adalah 4 nama, yang akan menggantikan pimpinan KPK yang sekarang.

Namun, DPR kembali mempertontonkan tabiat buruk. Sebagaimana disinggung Media Indonesia dalam Editorial-nya, (12/9/2011), melalui Komisi III, tanpa secuil pun rasa malu, sebagian besar anggota komisi yang membidangi hukum itu mewacanakan penolakan delapan nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah diajukan Pemerintah. Mereka menghendaki Pemerintah mengirimkan 10 nama calon.

Penolakan delapan calon pimpinan KPK itu semakin menunjukkan bahwa Komisi III DPR punya agenda terselubung untuk membonsai pimpinan KPK dengan keinginan memilih orang yang dapat dikendalikan dan dijinakkan.

Dalam proses pemilihan calon pimpinan KPK oleh DPR memang terbuka ruang transaksional yang dapat merusak independensi KPK. Itulah sebabnya, panitia seleksi yang beranggotakan kaum profesional membuat peringkat delapan calon pimpinan KPK.

Empat nama peringkat atas versi panitia seleksi ialah Bambang Widjojanto (advokat), Yunus Hussein (Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), Abdullah Hehamahua (Penasihat KPK), dan Handoyo Sudrajat (Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK). Sisanya adalah Abraham Samad (aktivis antikorupsi), Zulkarnain (mantan jaksa), Adnan Pandupraja (anggota Komisi Kepolisian Nasional), dan Aryanto Sutadi (purnawirawan polisi).

Dengan adanya berbagai carut-marut dalam penanganan korupsi, termasuk rongrongan terhadap KPK, bahkan itu dilakukan oleh DPR sendiri yang notabene wakil rakyat, sangat jelas bahwa penanganan banyak kasus korupsi di alam demokrasi di negeri ini seperti menegakkan benang basah, alias susah. Pasalnya, dalam sistem demokrasi yang berkuasa adalah para pemilik modal atau mereka yang punya banyak uang. Dengan kekuatan uang, hukum dan keadilan bisa dibeli. Aparat penegak hukumnya bisa dipilih sesuka hati. Akibatnya, kasus-kasus korupsi pun bisa dengan mudah menguap begitu saja.

Keadaan ini harusnya makin menyadarkan kita semua bahwa: Pertama, hukum produk manusia melalui mekanisme demokrasi sesungguhnya hanya akan berpihak pada orang-orang yang punya duit. Kedua, sistem demokrasi justru melahirkan orang-orang yang bermasalah, termasuk di DPR yang notabene anggotanya adalah pilihan rakyat. Dengan hukum seperti ini, juga dengan orang-orangnya yang bermasalah, mustahil korupsi bisa tuntas diberantas, dan keadilan bisa ditegakkan. Hanya dengan penegakkan hukum Allah (syariah Islam) melalui tangan-tangan orang yang bertakwa dan amanahlah, korupsi bisa dibabat habis, dan keadilan bisa diciptakan. Wallahu a’lam. [Alimuddin Yasir- LS-HTI]


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.