Header Ads

Minyak INDONESIA; di Expor Lantas di Impor

FAHRUR ROZI

Memalukan sekaligus memilukan, dua kata yang mewakili kondisi negeri ini. Salah satunya dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Ironis bukan? Indonesia yang merupakan satu negara penghasil minyak, ternyata mengimpor minyak dari negara yang bukan penghasil minyak utama semisal Singapura dan Malaysia.

Tetapi telisik punya telisik, hal tersebut ternyata rasional mengingat 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas (minyak dan gas) dimiliki oleh perusahaan asing (multinasional) semacam ExxonMobil, Caltex, Shell, Atlantic, Mobil Oil, dan lain-lain. Hanya 14,6 persen saja yang dikelola oleh perusahaan nasional. Itupun sebagian besar perusahan lokal tersebut pemodalnya adalah asing.

Hal itu sejalan dengan ide gila pemerintah yang ingin melibralisasi 100 % industri migas. Pemerintah dari sejak zaman orde baru gencar mengobral blok-blok pertambangan minyak kita pada investor asing. Bahkan investor asing jauh lebih diprioritaskan daripada Pertamina sendiri yang notebene merupakan perusahaan minyak Negara. Dalam kasus pengelolaan blok Cepu yang deposit minyaknya mencapai milyaran balel misalnya, pemerintah lebih menyukai perusahaan Amerika Exxon Mobil daripada Pertamina. Ini merupkan sinyalemen bahwa pemerintah benar-benar ingin meliberalisasi sektor energy. Ujung-ujungnya tentu pemerintah ingin berlepas tangan dari kewajiban memberikan subsidi energi. subsidi yang selama ini diterima Pertamina harus dicabut sampai 0 persen. Ujung-ujungnya masyarakat juag lah yang harus merasaknnya.

Akibat penganak-tirian ini, nasib tragis dialami oleh pertamina. Untuk bulan Maret 2011 ini misalnya, Pertamina harus mengimpor premium sebanyak 5 juta barel. Tentu pembelian mnyak impor tersebut harus sesuai dengan harga pasaran yang makin hari makin melonjak.

Selain ironis, kebijakan impor minyak ini juga ditengarai bermasalah. Pemain yang biasa mendatangkan minyak impor di Indonesia tidak terlalu banyak. Dengan harga minyak yang semakin licin, tentu keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut berlipat-berlipat.

Masalah impor minyak ini sebenarnya bermula dari terbatasnya kapasitas produksi kilang-kilang minyak milik Pertamina. Saat ini Kapasitas produksi kilang Pertamina hanya sekitar 720 ribu barel per hari. Padahal, kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1,03 juta barel per hari. Kilang yang terakhir yang dibuat adalah Balongan, itupun umurnya sudah 24 tahun. Dibandingkan dengan Vietnam, pembangunan kilang di Indonesia sudah jauh tertinggal.

Kenapa negara produsen minyak seperti Indonesia tidak juga memiliki kebijakan untuk membangun kilang tambahan?, alih-alih membangun kilang baru, yang ada pemerintah justru membuat kebijakan yang aneh, Indonesia justru membuat kontrak sewa kilang di Singapura. Minyak mentah yang diimpor oleh Pemerintah tidak langsung datang ke Indonesia, melainkan mampir dulu di Singapura dan diolah dulu menjadi BBM di sana. Setelah itu, minyak tersebut kita impor lagi dari Singapura dalam bentuk BBM. Siapa yang diuntungkan oleh kebijakan ini, jelas Singapura yang untung. Kontrak dengan Singapura tersebut masih akan berjalan selama puluhan tahun lagi. Impor minyak dari Singapura memang sudah lama, pada tahun 2000 saja Indonesia sudah mengimpor minyak dari Singapura sebesar 6500 ribu ton. Impor minyak dari Singapura dan negara lain tersebut nilainya Rp 17 trilyun lebih.

Ada yang bilang bahwa jika mendirikan kilang penyulingan minyak tidak ekonomis. Apa benar? Di Singapura, harga tanah sangat mahal, demikian pula gaji buruh. Jika dengan kondisi seperti itu Singapura yang bukan negara penghasil minyak berani mendirikan kilang penyulingan minyak dan menjual ke Indonesia, kenapa Indonesia tidak.

Ada yang bilang ada unsur permainan di sini, dan ini mungkin alasan yang paling masuk akal. Pada saat menjual minyak, pemain di Indonesia dapat komisi, begitu pula dari ongkos transportnya. Begitu mengimpor balik, dapat lagi komisi serta dari ongkos transportnya.

Sayang sekali jika per tahun, Indonesia harus kehilangan Rp 17 trilyun hanya untuk mengimpor minyak dari Singapura dan negara yang lain. Seharusnya, Indonesia dengan dana Rp 5 trilyun saja sudah bisa membuat dan mengoperasikan pengilangan minyak sendiri sehingga bisa menghemat devisa. Entah apa yang ada di benak para pejabat pemerintah kita ini ?

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.