Pernyataan Marzuki Alie Sungguh Menyakiti Warga Miskin, Cerminan Penguasa Yang Tidak Melayani Masyarakat
Ketua DPR RI Marzuki Ali beranggapan bahwa orang menjadi miskin itu karena malas bekerja. Jika seseorang tidak malas bekerja, kemiskinan tidak akan menghinggapi. “Orang miskin itu karena salahnya sendiri dia malas bekerja. Jadi bukan salah siapapun kalau ada orang miskin,” ujar Marzuki saat berbicara dalam acara seminar di Kongres BEM PTNU (Badan Eksekutif Mahasiswa-Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama) se-nusantara di kampus Unipdu Rejoso, Peterongan, Jombang, Minggu (8/7/2012).
Pernyataan Marzuki Ali ini sangat memprihatinkan. Mencerminkan ketidakpekaannya terhadap jumlah warga miskin yang jumlahnya masih puluhan juta, menandakan ketidakpantasannya sebagai bagian dari penguasa yang seharusnya melayani masyarakat, dan menunjukkan ketidakpahamannya terhadap sistem politik ekonomi di tanah air.
Marzuki mengabaikan kenyataan bahwa 50 % orang miskin yang pendapatannya telah naik dari garis kemiskinan kini telah kembali miskin. Dia juga mengabaikan realita bahwa jumlah warga yang bunuh diri akibat himpitan ekonomi terjadi hampir setiap bulan. Bahkan bunuh diri ini dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga.
Ketua DPR ini menutup mata bahwa bertambahnya banyak warga miskin telah bekerja keras membanting tulang bahkan bekerja lebih dari satu pekerjaan untuk bisa bertahan hidup tapi tetap berada dalam jurang kemiskinan. Klaim pemerintah bahwa mereka berhasil menurunkan angka pengangguran hanyalah retorika. Banyak ekonom yang menyatakan bahwa pemerintah hanya melihat kemiskinan mutlak, tapi tidak kemiskinan relatif akibat kesenjangan sosial.
Apakah ia tidak melihat bahwa jumlah angkatan kerja terdidik di tanah air yang menganggur masih di atas lima persen. Bagaimana ia bisa menyatakan bahwa mereka malas padahal mereka adalah tenaga kerja yang terdidik? Apakah ia juga tidak tahu bahwa banyak tenaga kerja yang tidak bekerja sesuai dengan bidang pendidikannya? Bahkan ada sarjana lulusan terbaik di Riau yang justru bekerja sebagai cleaning service? Apakah ia mengatakan ini karena kemalasannya?
Marzuki Ali menerapkan peribahasa; buruk muka cermin dibelah. Ketidakmampuan para penguasa dalam menyejahterakan dan buruknya sistem ekonomi liberal ia tutupi dengan menyalahkan warga yang justru menjadi korbannya.
Ekonomi liberal telah menciptakan kesenjangan sosial. Penumpukkan kekayaan pada sebagian kecil orang sedangkan mayoritas rakyat kelimpungan mengais-ngais penghidupan. Hal ini dibela oleh para penguasa melalui undang-undang liberalisasi SDA, memberikan suku bunga tinggi kepada para nasabah bank, dan menyelamatkan para bankir yang kolaps seperti dalam kasus Century.
Bukan rakyat miskin yang malas bekerja, tapi para penguasalah yang malas memakmurkan rakyatnya. Para penguasa lebih senang memanjakan kaum kapitalis asing maupun domestik sambil menumpuk kekayaan untuk diri mereka sendiri. Ucapan Marzuki Ali hanya mempertegas tabiat penguasa dan kaum kapitalis di negeri ini.
Komentar dan tabiat seperti itu akan terus ada ke depan nanti. Sebab selain karena ketidakpekaan, hal itu muncul lebih karena yang dijadikan pedoman dan tolok ukur adalah akidah sekulerisme dan pandangan ekonomi kapitalisme. Sikap, tabiat dan komentar sepert itu hanya mungkin muncul dari politisi yang berideologikan sekulerisme kapitalisme. Islam yang dipeluknya hanya diambil dari aspek spiritualisme.
Fakta seperti tidak mungkin muncul dari seorang politisi Islam yang menjadikan Islam sebagai tolok ukur berpolitiknya. Sebab politik Islam itu adalah pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat yang diurus sesuai hukum-hukum Islam. Keberhasilan diukur dari seberapa besar dan sebaik apa kepentingan dan kemashalatan rakyat bisa terpelihara dan terjamin. Bagi seorang penguasa, pejabat dan politisi muslim sejati, jika masih ada kemaslahatan rakyat meski hanya beberapa orang atau bahkan satu orang saja, dia tidak akan menyalahkan rakyat yang diurusnya sebaliknya hal itu menjadi cambuk bagi dirinya untuk bekerja keras agar kemaslahatan rakyat itu bisa dipelihara dan dijamin sebab dia yakin sekecil apapun pengabaian terhadap kepentingan rakyat yang pemeliharaannya telah dipercayakan kepadanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Begitu pula tabiat, sikap dan komentar seperti di atas hanya muncul ketika yang dijadikan pedoman adalah politik ekonomi kapitalisme yang mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi secara agregat dan lebih melihat angka-angka. Sebaliknya, hal itu tidak mungkinmuncul jika yang dijadikan pedoman adalah politik ekonomi Islam. Sebab politik ekonomi Islam adalah jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan asasi rakyat individu per individu dan pemberian kemungkinan bagi tiap individu rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam bingkai masyarakat yang khas yaitu masyarakat Islam. Adanya rakyat miskin yang kebutuhan pokoknya belum terpenuhi meski hanya beberapa orang atau bahkan satu orang, apalagi masih 29 juta orang seperti saat ini itupun dengan batas angka kemiskinan yang tidak realistis dan tak manusawi, maka penguasa dan politisi muslim sejati tidak akan berbangga apalagi menyalahkan rakyat yang semestinya dia urusi dan jamin pemenuhan kebutuhan pokoknya. Sebaliknya hal itu justru akan melecut dirinya untuk lebih giat dan keras mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang dia pimpin.
Agar rakyat tidak mendengar komentar menyakitkan seperti komentar di atas, dan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan pandangan, tolok ukur dan sistem politik dalam politik, dan menerapkan pandangan, tolok ukur dan sistem ekonomi Islam untuk mengatur perekonomian. Semua itu hanya mungkin diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam secata toal dan utuh dalam bingkai sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [IJ & YA - LS HTI][al-khilafah.org]
Pernyataan Marzuki Ali ini sangat memprihatinkan. Mencerminkan ketidakpekaannya terhadap jumlah warga miskin yang jumlahnya masih puluhan juta, menandakan ketidakpantasannya sebagai bagian dari penguasa yang seharusnya melayani masyarakat, dan menunjukkan ketidakpahamannya terhadap sistem politik ekonomi di tanah air.
Marzuki mengabaikan kenyataan bahwa 50 % orang miskin yang pendapatannya telah naik dari garis kemiskinan kini telah kembali miskin. Dia juga mengabaikan realita bahwa jumlah warga yang bunuh diri akibat himpitan ekonomi terjadi hampir setiap bulan. Bahkan bunuh diri ini dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga.
Ketua DPR ini menutup mata bahwa bertambahnya banyak warga miskin telah bekerja keras membanting tulang bahkan bekerja lebih dari satu pekerjaan untuk bisa bertahan hidup tapi tetap berada dalam jurang kemiskinan. Klaim pemerintah bahwa mereka berhasil menurunkan angka pengangguran hanyalah retorika. Banyak ekonom yang menyatakan bahwa pemerintah hanya melihat kemiskinan mutlak, tapi tidak kemiskinan relatif akibat kesenjangan sosial.
Apakah ia tidak melihat bahwa jumlah angkatan kerja terdidik di tanah air yang menganggur masih di atas lima persen. Bagaimana ia bisa menyatakan bahwa mereka malas padahal mereka adalah tenaga kerja yang terdidik? Apakah ia juga tidak tahu bahwa banyak tenaga kerja yang tidak bekerja sesuai dengan bidang pendidikannya? Bahkan ada sarjana lulusan terbaik di Riau yang justru bekerja sebagai cleaning service? Apakah ia mengatakan ini karena kemalasannya?
Marzuki Ali menerapkan peribahasa; buruk muka cermin dibelah. Ketidakmampuan para penguasa dalam menyejahterakan dan buruknya sistem ekonomi liberal ia tutupi dengan menyalahkan warga yang justru menjadi korbannya.
Ekonomi liberal telah menciptakan kesenjangan sosial. Penumpukkan kekayaan pada sebagian kecil orang sedangkan mayoritas rakyat kelimpungan mengais-ngais penghidupan. Hal ini dibela oleh para penguasa melalui undang-undang liberalisasi SDA, memberikan suku bunga tinggi kepada para nasabah bank, dan menyelamatkan para bankir yang kolaps seperti dalam kasus Century.
Bukan rakyat miskin yang malas bekerja, tapi para penguasalah yang malas memakmurkan rakyatnya. Para penguasa lebih senang memanjakan kaum kapitalis asing maupun domestik sambil menumpuk kekayaan untuk diri mereka sendiri. Ucapan Marzuki Ali hanya mempertegas tabiat penguasa dan kaum kapitalis di negeri ini.
Komentar dan tabiat seperti itu akan terus ada ke depan nanti. Sebab selain karena ketidakpekaan, hal itu muncul lebih karena yang dijadikan pedoman dan tolok ukur adalah akidah sekulerisme dan pandangan ekonomi kapitalisme. Sikap, tabiat dan komentar sepert itu hanya mungkin muncul dari politisi yang berideologikan sekulerisme kapitalisme. Islam yang dipeluknya hanya diambil dari aspek spiritualisme.
Fakta seperti tidak mungkin muncul dari seorang politisi Islam yang menjadikan Islam sebagai tolok ukur berpolitiknya. Sebab politik Islam itu adalah pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat yang diurus sesuai hukum-hukum Islam. Keberhasilan diukur dari seberapa besar dan sebaik apa kepentingan dan kemashalatan rakyat bisa terpelihara dan terjamin. Bagi seorang penguasa, pejabat dan politisi muslim sejati, jika masih ada kemaslahatan rakyat meski hanya beberapa orang atau bahkan satu orang saja, dia tidak akan menyalahkan rakyat yang diurusnya sebaliknya hal itu menjadi cambuk bagi dirinya untuk bekerja keras agar kemaslahatan rakyat itu bisa dipelihara dan dijamin sebab dia yakin sekecil apapun pengabaian terhadap kepentingan rakyat yang pemeliharaannya telah dipercayakan kepadanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Begitu pula tabiat, sikap dan komentar seperti di atas hanya muncul ketika yang dijadikan pedoman adalah politik ekonomi kapitalisme yang mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi secara agregat dan lebih melihat angka-angka. Sebaliknya, hal itu tidak mungkinmuncul jika yang dijadikan pedoman adalah politik ekonomi Islam. Sebab politik ekonomi Islam adalah jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan asasi rakyat individu per individu dan pemberian kemungkinan bagi tiap individu rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam bingkai masyarakat yang khas yaitu masyarakat Islam. Adanya rakyat miskin yang kebutuhan pokoknya belum terpenuhi meski hanya beberapa orang atau bahkan satu orang, apalagi masih 29 juta orang seperti saat ini itupun dengan batas angka kemiskinan yang tidak realistis dan tak manusawi, maka penguasa dan politisi muslim sejati tidak akan berbangga apalagi menyalahkan rakyat yang semestinya dia urusi dan jamin pemenuhan kebutuhan pokoknya. Sebaliknya hal itu justru akan melecut dirinya untuk lebih giat dan keras mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang dia pimpin.
Agar rakyat tidak mendengar komentar menyakitkan seperti komentar di atas, dan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan pandangan, tolok ukur dan sistem politik dalam politik, dan menerapkan pandangan, tolok ukur dan sistem ekonomi Islam untuk mengatur perekonomian. Semua itu hanya mungkin diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam secata toal dan utuh dalam bingkai sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [IJ & YA - LS HTI][al-khilafah.org]
Tidak ada komentar