Header Ads

Ta'sir (Penetapan Kebijakan Harga)

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengertian Tas’ir

Tas’ir dalam bahasa Arab berasal dari sa’ara (fi’il madhi), yusa’iru (fi’il mudhari’), tas’iiran (mashdar). Artinya menurut pengertian bahasa Arab adalah kesepakatan atas suatu harga (al-ittifaq ‘ala si’rin). [1] .

Adapun menurut pengertian syariah, terdapat beberapa pengertian. Menurut Imam Ibnu Irfah (ulama Malikiyah) :
هو تحديد حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم
“Tas’ir adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang dilakukan penguasa kepada penjual makanan di pasar dengan sejumlah dirham tertentu.” (Muhammad bin Qasim Al-Anshari, Syarah Hudud Ibnu Irfah, II/35). [2]

Menurut Syaikh Zakariya Al-Anshari (ulama Syafi’iyah) :
أن يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا
“Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhah Ath-Thalib, II/38). [3]

Menurut Imam Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :
التسعير أن يسعر الإمام أو نائبه على الناس سعراً ويجبرهم على التبايع به
“Tas’ir adalah penetapan suatu harga oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya atas masyarakat dan Imam memaksa mereka untuk berjual beli pada harga itu.” (Al-Bahuti, Syarah Muntaha Al-Iradat, II/26).[4]

Menurut Imam Syaukani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا فينمع من الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة
“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada tambahan atau pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, V/335).[5]

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا السلع إلا بسعر كذا فينمعوا من الزيادة عليه حتى لا يغلوا الأسعار أو النقصان عنه حتى لا يضاربوا غيرهم، أي ينمعون من الزيادة أوالنقص عن السعر لمصلحة الناس
“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat.” [6]

Dari berbagai definisi tersebut, sebenarnya maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan.

Namun kami memilih definisi Imam Taqiyuddin An-Nabhani, karena lebih komprehensif (syumuliah). Sebenarnya definisi Imam An-Nabhani ini sama dengan definisi Imam Syaukani. Hanya saja Imam An-Nabhani sedikit memberikan tambahan berupa uraian makna “karena alasan maslahat” (li maslahatin) dalam definisi Imam Syaukani. Imam An-Nabhani menguraikan bahwa alasan maslahat yang dimaksud adalah bahwa tujuan kebijakan tas’ir adalah agar harga tidak melonjak atau tidak merugikan masyarakat umum.

Hukum Tas’ir

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tas’ir menjadi 2 (dua) madzhab sebagai berikut :

Pertama, yang mengharamkan secara mutlak. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Ini juga pendapat ulama muta`akkhirin seperti Imam Syaukani dan Imam An-Nabhani. Namun sebagian ulama Hanabilah ada yang mengharamkan secara mutlak seperti Ibnu Qudamah, sementara ulama lainnya ada yang memberikan rincian (tafshil) seperti Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Artinya, menurut Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim jika tas’ir mengandung kezhaliman, hukumnya haram. Jika untuk menegakkan keadilan, hukumnya boleh bahkan wajib.[7]

Kedua, yang membolehkan, meski tidak membolehkan secara mutlak. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan tas’ir jika para pedagang melambungkan harga secara tidak wajar. Sebagian ulama Malikiyah membolehkan tas’ir jika sebagian kecil pedagang di pasar sengaja menjual dengan harga sangat murah, sedang umumnya pedagang memasang harga lebih mahal. Maka tas’ir dibolehkan untuk menaikkan harga agar sesuai dengan harga umumnya pedagang.[8]

Pendapat pertama, berdalil dengan hadits-hadits Nabi SAW, misalnya hadits Anas bin Malik RA :
عن أنس رضى الله عنه قال: غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا : يارسول الله : سعر لنا ، فقال : إن الله هو المسعر القابض الباسط الرازق ، وإنى لأرجو أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة فى دم ولا مال
Dari Anas RA, dia berkata,”Harga melonjak pada masa Rasulullah SAW. Maka berkatalah orang-orang,’Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami.’ Maka bersabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Menetapkan Harga, Yang Memegang Rizki, Yang Melapangkan Rizki, Yang Maha Pemberi Rizki. Dan sungguh akan betul-betul berharap berjumpa dengan Tuhanku sementara tak ada seorang pun dari kalian yang akan menuntutku karena suatu kezhaliman dalam urusan harta atau nyawa.(HR Abu Dawud, hadits no 3450).

Imam Syaukani berkata,”Hadits ini dan yang semisalnya dijadikan dalil untuk keharaman tas’ir dan bahwasanya tas’ir itu adalah suatu kezhaliman (mazhlimah)[9]

Semakna dengan pernyataan Imam Syaukani, Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata,”Hadits-hadits tentang tas’ir menunjukkan keharaman tas’ir. Juga menunjukkan bahwa tas’ir adalah suatu kezhaliman (madzlimah) yang dapat diajukan kepada penguasa untuk dihilangkan. Maka jika justru penguasa melakukan tas’ir, dia berdosa di hadapan Allah, karena dia telah melakukan perbuatan yang haram.” [10]

Pendapat kedua, berdalil antara lain dengan ayat QS An-Nisa` : 29 :
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.” (QS An-Nisa` [4] : 29)

Wajhul istidlal dari ayat ini ialah, bahwa ayat ini melarang memakan harta secara batil. Jika ada pedagang yang menjual dagangan dengan harga yang melambung tinggi yang merugikan masyarakat, maka itu termasuk memakan harta secara batil. Maka hal itu harus dicegah oleh penguasa dengan cara melakukan tas’ir.[11]

Dalil lainnya, hadits Nabi SAW :
لا يبيع حاضر لباد ، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض
“Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.”

Wajhul istidlal dari hadits ini, bahwa Rasulullah melarang orang kota yang tahu harga menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi pelonjakan harga.[12]

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, padahal saat masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi seperti ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini berarti mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.[13]

Tarjih

Pendapat yang rajih (kuat), menurut kami adalah pendapat jumhur yang mengharamkan tas’ir secara mutlak, baik itu tas’ir untuk melindungi kepentingan pedagang maupun tas’ir untuk melindungi kepentingan pembeli. Hal itu dikarenakan dalil-dalil yang mengharamkan tas’ir bersifat mutlak, atau tanpa disertai dengan taqyid, yaitu pemberian sifat atau syarat atau batasan tertentu. Jadi tidak ada dalil yang menerangkan tas’ir yang diharamkan hanyalah yang bersifat zhalim, sedang tas’ir yang bersifat adil dibolehkan. Dalil taqyid seperti ini ini tidak ada. Yang ada justru adalah dalil mutlak dari hadits Anas RA di atas, yaitu bahwa tas’ir adalah kezhaliman (mazhlimah), tanpa ada rincian dari Nabi SAW bagaimana sifat tas’ir itu.

Maka dari itu, segala bentuk tas’ir adalah haram secara mutlak, sesuai kaidah ushul fiqih :
الإطلاق يبقى على إطلاقه ما لم يرد دليل التقييد
“Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang mentaqyidkan (memberikan sifat/syarat/batasan).”

Adapun dalil-dalil lainnya yang diajukan pihak yang membolehkan tas'ir, sebenarnya tidak layak menjadi dalil. Karena QS An-Nisa` : 29 tidak ada hubungannya dengan persoalan tas'ir, mengingat maudhu' (topik) dari ayat tersebut tidak sama dengan hadits Anas RA. Begitu pula hadits larangan orang kota menjual kepada orang dusun juga tidak ada hubungannya dengan persoalan tas'ir, karena maudhu' (topik) hadits ini beda dengan topik hadits Anas RA.

Perbedaan maudhu' (topik) ini dalam Ushul Fiqih khususnya pembahasan Mutlak–Muqayyad disebut perbedaan “sebab”. Adanya perbedaan “sebab” ini menyebabkan nash yang mutlak tidak dapat dibawa kepada nash yang muqayyad. Atau dengan kata lain, nash yang dianggap muqayyad itu sebenarnya tidak ada relevansinya dengan nash yang mutlak, sehingga nash yang mutlak sebenarnya tetap dalam kemutlakannya..

Bagaimana Mengatasi Lonjakan Harga Tanpa Tas’ir?


Jika tas’ir tidak boleh, lalu bagaimanakah solusinya jika terjadi kenaikan harga di pasar? Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, harus dilihat dan diinvestigasi dulu apa yang menjadi penyebab melonjaknya harga di pasar.

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, kemungkinan penyebab melonjaknya harga ada dua :
 
Pertama, karena terjadi ihtikar (penimbunan). Jika sebabnya adalah ihtikar, maka tindakan yang dilakukan negara adalah menindak tegas orang yang melakukan ihtikar, sebab ihtikar adalah haram menurut syara’.

Kedua, karena kelangkaan barang. Jika sebabnya adalah faktor kelangkaan barang, maka tindakan negara adalah menambah persediaan (supply) agar ketersediaan barang di pasar mencukupi dan harga barang tidak melonjak. Ini seperti yang dilakukan Khalifah Umar, ketika di Madinah terjadi lonjakan harga gandum karena gandum langka. Maka Khalifah Umar lalu membeli gandum dari Mesir dan Syam, lalu menjualnya di Madinah.[14]

Dengan demikian persoalan melonjaknya harga dapat terselesaikan tanpa perlu melakukan tas’ir. Inilah kiranya pendapat terkuat yang patut dipegangi.Wallahu a’lam.

CATATAN AKHIR :

[1] Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, IV/35. Dikutip oleh Ahmad Irfah, At-Tas’ir Ahkamuhu Dirasah Fiqhiyah Muqaranah, hlm. 4

[2] Ahmad Irfah, ibid.

[3] Ahmad Irfah, ibid

[4] Ahmad Irfah, ibid

[5] Ahmad Irfah, ibid., hlm. 5

[6] Taqiyuddin An-Nabhani , An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, hlm. 199.

[7] Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmiyah fi As-Siyasah Al-Syar’iyah, (Riyadh : Maktabah Nazar Musthofa Al-Baz), 1996, hlm. 290-291

[8] Rincian pendapat masing-masing madzhab lihat Ahmad Irfah, ibid. hlm. 6. Lihat juga Yusuf Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami, hlm. 426-429.

[9] Imam Syaukani, Nailul Authar, V/334. Dikutip oleh Yusuf Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami, hlm. 427

[10] Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, hlm. 200

[11] Ahmad Irfah, ibid., hlm. 9

[12] Ahmad Irfah, ibid., hlm. 9

[13] Ibnul Qayyim, Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 291. Pendapat ini adalah juga pendapat gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam kitab Majmu’ul Fatawa, Juz 28 hlm. 76-77. Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami, hlm. 429.

[14] Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, hlm. 201.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.