Muslim Prancis: Perjuangan Di atas Sajadah Salat Jumat
Sebelum memulai Salat Jumat, gulungan tikar diikat dengan tali yang disandarkan pada tiang trotoar. Pengeras suara menyiarkan lantunan doa-doa ke jalan. Ketika Salat Jumat dimulai, jalanan tumpah ruah oleh jamaah. Itu adalah adegan khas setiap Jumat di Masjid Al-Fath, Paris. Adegan yang terus terjadi setiap pekan ini telah menjadi simbol dalam perdebatan sengit atas upaya mendamaikan Islam dengan tradisi sekuler Prancis.
Dari 2.000 masjid dan ruangan salat di Prancis, jamaah membludak hanya terjadi di Paris dan Marseille. Di balik pelarangan jilbab (termasuk juga cadar) di wilayah umum, maraknya bar-bar di jalanan, dan terutama negara yang kuat akan sekularismenya, Prancis adalah rumah untuk Muslim terbesar di Eropa.
Partai UMP, yang merupakan kendaraan Nicolas Sarkozy untuk jadi presiden, meningkatkan suhu dengan mengadakan debat kontroversial tentang hal ini. Partai ini mengutak-atik hukum tahun 1905 untuk membuat 26 langkah yang dinilai terus mempersempit ruang gerak orang-orang Islam di Prancis.
Jean-François Copé, pemimpin UMP, mengatakan dia menanggapi berbagai masalah, untuk guru atau dokter, yang terus diremehkan oleh kaum elit Paris. Dia mengundang perwakilan dari agama-agama lain dalam perdebatan. Dia ingin menegaskan kembali prinsip-prinsip sekuler untuk mengirim pesan kepada golongan Islam.
Namun, pihak lain memandang wacana perdebatan itu sebagai upaya untuk menstigmatisasi umat Islam untuk tujuan pemilu, karena masalahnya hanya melulu menyentil Islam. Mohammed Moussaoui, kepala Dewan Prancis untuk Agama Islam, menolak untuk bergabung dengan debat UMP. Bahkan François Fillon, perdana menteri, memboikot debat ini.
UMP terbagi atas seberapa jauh menekan masalah ini. Banyak orang lebih suka berbicara hal-hal yang lebih mendesak seperti pekerjaan. Lainnya mengatakan bahwa mereka tidak bisa meninggalkan lapangan untuk Marine Le Pen, pemimpin sayap kanan Front Nasional, yang telah membandingkan jamaah Salat Jumat di Paris dengan zaman pendudukan Nazi.
Beberapa jajak pendapat menunjukkan ia bisa mengalahkan Sarkozy dalam putaran pertama pemilihan presiden tahun depan. Sarkozy, tentu saja mendukung perdebatan dan tampaknya akan terus menyimpannya sebagai berita utama. Awal tahun ini dia mengatakan multikulturalisme telah "gagal", bahwa imigran perlu untuk "bersikap cair" di masyarakat Prancis, dan bahwa "kami tidak ingin (melihat) pelaksanaan Salat Jumat doa di jalanan di Prancis."
Kembali ke jalanan Paris No 18 itu—yang dipakai untuk melakukan Salat Jumat—tidak jauh dari jalanan Montmartre, prinsip-prinsip sekuler Prancis tampak lebih rapi dalam teori daripada praktek. Setiap Jumat, polisi mengizinkan jalan-jalan ditutup untuk Salat Jumat di luar ruangan. Mereka bahkan berdiri sebagai petugas resmi yang memasang tali pembatas untuk pejalan kaki dan para jamaah. Beberapa warga melihat ini sebagai provokasi. Daniel Vaillant, seorang Sosialis lokal, menyebutnya pragmatis. "Ada pelanggaran yang lebih buruk daripada jalan di sini, seperti pelacuran atau narkoba," katanya. "Saya menentang pelaksanaan Salat Jumat di jalan, tapi saya juga tidak setuju jika hanya melarang mereka tanpa memberikan solusi."
Balai kota Prancis melihat Salat Jumat sebagai masalah kapasitas yang temporer. Dua masjid lokal yang ada sangat jauh dan memakan waktu yang lama untuk para jamaah jika harus melaju ke sana. Sebenarnya pemerintah daerah dan kota telah menghabiskan € 22m ($ 32m) untuk membangun sebuah pusat budaya baru Islam di dua lokasi, dengan ruang untuk konser dan pameran. Asosiasi Muslim akan menggunakan keuangan swasta untuk membeli ruangan yang akan digunakan sebagai mushola.
Kaum puritan Prancis, terus melihat hal ini sebagai pelanggaran langsung. Untuk balai kota, sebaliknya hal ini merupakan harapan terbaik untuk memecahkan masalah dengan damai, meskipun satu masjid belum terdaftar. Seperti di kota-kota Prancis lainnya, di mana pemerintah mengatur ritual selama Idul Fitri atau pemakaman Muslim di pemakaman umum, fleksibilitas lokal tampaknya merupakan kemenangan atas teori nasional Prancis yang kaku. Ketika pusat-pusat Islam yang baru siap dalam satu atau dua tahun, Vaillant berjanji, "tidak akan ada lagi Salat Jumat di jalanan, dan mereka akan memberikan ruang publik kembali kepada warga." Semoga! (sa/theeconomist/eramuslim)
Dari 2.000 masjid dan ruangan salat di Prancis, jamaah membludak hanya terjadi di Paris dan Marseille. Di balik pelarangan jilbab (termasuk juga cadar) di wilayah umum, maraknya bar-bar di jalanan, dan terutama negara yang kuat akan sekularismenya, Prancis adalah rumah untuk Muslim terbesar di Eropa.
Partai UMP, yang merupakan kendaraan Nicolas Sarkozy untuk jadi presiden, meningkatkan suhu dengan mengadakan debat kontroversial tentang hal ini. Partai ini mengutak-atik hukum tahun 1905 untuk membuat 26 langkah yang dinilai terus mempersempit ruang gerak orang-orang Islam di Prancis.
Jean-François Copé, pemimpin UMP, mengatakan dia menanggapi berbagai masalah, untuk guru atau dokter, yang terus diremehkan oleh kaum elit Paris. Dia mengundang perwakilan dari agama-agama lain dalam perdebatan. Dia ingin menegaskan kembali prinsip-prinsip sekuler untuk mengirim pesan kepada golongan Islam.
Namun, pihak lain memandang wacana perdebatan itu sebagai upaya untuk menstigmatisasi umat Islam untuk tujuan pemilu, karena masalahnya hanya melulu menyentil Islam. Mohammed Moussaoui, kepala Dewan Prancis untuk Agama Islam, menolak untuk bergabung dengan debat UMP. Bahkan François Fillon, perdana menteri, memboikot debat ini.
UMP terbagi atas seberapa jauh menekan masalah ini. Banyak orang lebih suka berbicara hal-hal yang lebih mendesak seperti pekerjaan. Lainnya mengatakan bahwa mereka tidak bisa meninggalkan lapangan untuk Marine Le Pen, pemimpin sayap kanan Front Nasional, yang telah membandingkan jamaah Salat Jumat di Paris dengan zaman pendudukan Nazi.
Beberapa jajak pendapat menunjukkan ia bisa mengalahkan Sarkozy dalam putaran pertama pemilihan presiden tahun depan. Sarkozy, tentu saja mendukung perdebatan dan tampaknya akan terus menyimpannya sebagai berita utama. Awal tahun ini dia mengatakan multikulturalisme telah "gagal", bahwa imigran perlu untuk "bersikap cair" di masyarakat Prancis, dan bahwa "kami tidak ingin (melihat) pelaksanaan Salat Jumat doa di jalanan di Prancis."
Kembali ke jalanan Paris No 18 itu—yang dipakai untuk melakukan Salat Jumat—tidak jauh dari jalanan Montmartre, prinsip-prinsip sekuler Prancis tampak lebih rapi dalam teori daripada praktek. Setiap Jumat, polisi mengizinkan jalan-jalan ditutup untuk Salat Jumat di luar ruangan. Mereka bahkan berdiri sebagai petugas resmi yang memasang tali pembatas untuk pejalan kaki dan para jamaah. Beberapa warga melihat ini sebagai provokasi. Daniel Vaillant, seorang Sosialis lokal, menyebutnya pragmatis. "Ada pelanggaran yang lebih buruk daripada jalan di sini, seperti pelacuran atau narkoba," katanya. "Saya menentang pelaksanaan Salat Jumat di jalan, tapi saya juga tidak setuju jika hanya melarang mereka tanpa memberikan solusi."
Balai kota Prancis melihat Salat Jumat sebagai masalah kapasitas yang temporer. Dua masjid lokal yang ada sangat jauh dan memakan waktu yang lama untuk para jamaah jika harus melaju ke sana. Sebenarnya pemerintah daerah dan kota telah menghabiskan € 22m ($ 32m) untuk membangun sebuah pusat budaya baru Islam di dua lokasi, dengan ruang untuk konser dan pameran. Asosiasi Muslim akan menggunakan keuangan swasta untuk membeli ruangan yang akan digunakan sebagai mushola.
Kaum puritan Prancis, terus melihat hal ini sebagai pelanggaran langsung. Untuk balai kota, sebaliknya hal ini merupakan harapan terbaik untuk memecahkan masalah dengan damai, meskipun satu masjid belum terdaftar. Seperti di kota-kota Prancis lainnya, di mana pemerintah mengatur ritual selama Idul Fitri atau pemakaman Muslim di pemakaman umum, fleksibilitas lokal tampaknya merupakan kemenangan atas teori nasional Prancis yang kaku. Ketika pusat-pusat Islam yang baru siap dalam satu atau dua tahun, Vaillant berjanji, "tidak akan ada lagi Salat Jumat di jalanan, dan mereka akan memberikan ruang publik kembali kepada warga." Semoga! (sa/theeconomist/eramuslim)
Tidak ada komentar