Header Ads

Demi Asing Rakyat Ditindas

Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana memberlakukan pembatasan BBM subsidi mulai 1 April 2012. Hal tersebut merupakan hasil kesepakatan DPR dan pemerintah terkait UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang mengamanatkan pembatasan konsumsi BBM. Namun belakangan muncul opsi lain pemerintah yang lebih ‘menggigit’ yaitu menaikkan harga BBM, karena pembatasan BBM bersubsidi tersebut dinilai akan mengalami banyak kendala. Pemerintah akan segera bertemu dengan Komisi VII DPR untuk membahas masalah opsi kenaikan harga BBM subsidi ini (kontan.co.id (24/01/12). Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo bahkan sudah memiliki skenario menaikkan harga BBM premium untuk mobil pribadi setiap tahun hingga menjadi harga pasar pada 2014 mendatang. Yaitu per 1 April 2012 naik menjadi Rp 6.000 per liter, 2013 menjadi Rp 7.000 per liter, dan 2014 menjadi harga pasar sekitar Rp 8.000 per liter.


Manis Tapi Menyesatkan

Pembatasan BBM bersubsidi ini sebenarnya hanyalah istilah lain dari pencabutan subsidi BBM yang pernah digulirkan oleh pemerintah. Intinya pemerintah secara bertahap akan menghapus berbagai komponen subsidi bagi rakyat. Pemerintah bersama lembaga pendukungnya telah menyampaikan berbagai alasan ’manis’ agar masyarakat dapat menerima kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini ataupun kenaikan harga BBM bersubsidi. Beberapa alasan tersebut perlu dicermati karena berpotensi menyesatkan pola pikir masyarakat.

Pertama, subsidi BBM dianggap telah membebani APBN, sehingga secara bertahap subsidi akan terus dikurangi. Alasan ini sebenarnya sangat ganjil, karena memberikan subsidi bagi rakyat sebenarnya memang merupakan kewajiban negara dalam menjalankan fungsinya. Di samping itu, jika dicermati dalam APBN 2012 justru yang menjadi beban utamanya adalah pembayaran cicilan bunga utang dan pokoknya, bukan subsidi BBM.

Dibandingkan dengan APBN-P 2011, pada APBN 2012 subsidi energi mengalami penurunan signifikan yaitu turun sebesar Rp. 26,7 trilyun atau turun 13,7 persen, sementara pembayaran utang meningkat signifikan yaitu naik sebesar Rp. 16,4 trilyun atau naik 10,6 persen (Tabel 1). Artinya, pengurangan subsidi bagi rakyat dalam APBN 2012 itu dialihkan pada penambahan pembayaran utang khususnya utang luar negeri. Padahal subsidi energi tersebut merupakan stimulus utama perekonomian rakyat yang jumlahnya saat ini mencapai 259 juta jiwa.



Berdasarkan data-data ini terlihat beban utama APBN sebenarnya bukan subsidi energi sehingga perlu dikeluarkan kebijakan pembatasan subsidi BBM. Namun yang menjadi beban utamanya adalah cicilan bunga utang dan pokoknya yang porsinya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Anehnya, pemerintah tidak pernah menuding utang ini sebagai biang kerok yang terus menggerogoti keuangan negara, bahkan terkesan berusaha menutupinya. Sementara subsidi energi senantiasa dijadikan kambing hitam sebagai elemen yang memboroskan APBN, padahal itu untuk energi perekonomian rakyatnya. Mungkin saja karena hal itu merupakan bagian ’pengabdian’ pemerintah kepada para rentenir raksasa seperti IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya.

Kedua, menurut pemerintah, kebijakan pembatasan subsidi BBM merupakan langkah untuk menghemat keuangan negara yang nantinya akan dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan. Seperti yang diberitakan kompas.com (11/01/12), Wakil Menteri ESDM menyatakan bahwa adanya pembatasan subsidi BBM akan memajukan pembangunan nasional. Dana yang bisa dihemat melalui kebijakan pembatasan BBM bersubdi di Jawa dan Bali per 1 April 2012 diperkirakan mencapai Rp 8 trilyun.

Alasan ini juga tidak sesuai dengan fakta, karena berbagai mata anggaran pemerintah tidak mencerminkan upaya penghematan tersebut. Pemerintah berbicara penghematan kalau menyangkut masalah subsidi bagi rakyat tapi menganggap wajar penggunaan anggaran untuk renovasi istana yang mencapai Rp 72,8 milyar. Ditambah lagi anggaran untuk DPR, yaitu perawatan gedung yang mencapai 500 milyar, renovasi ruang rapat Anggota Banggar 20 milyar, papan selamat datang 4.8 milyar, renovasi tempat parkir motor 3 milyar, renovasi toilet 2 milyar, bahkan pembuatan Kalender 2012 yang bergambar Ketua DPR Marzuki Alie mencapai biaya 1,3 milyar rupiah. Semua anggaran tersebut sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan rakyat, tetapi sekedar sebagai sarana mewah bagi segelintir elite. Sehingga sulit untuk mengatakan bahwa pemerintah memiliki empati dan kepedulian terhadap rakyatnya yang saat ini sedang terhimpit secara ekonomi.

Ketiga, pemerintah juga memberikan alasan bahwa pembatasan BBM bersubsidi sangat tepat dilaksanakan karena selama ini BBM bersubsidi dinikmati orang kaya. BBM bersubsidi disinyalir dikonsumsi oleh para konsumen kendaraan pribadi yang nota-bene dianggap sebagai masyarakat yang mampu membeli BBM non-subsidi.

Perlu diketahui bahwa kendaraan bermotor di masyarakat termasuk kendaraan pribadi merupakan sarana produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Artinya kendaraan tersebut digunakan masyarakat untuk bekerja dan berproduksi. Sehingga kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ataupun kenaikan harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi. Dampak kenaikan biaya produksi ini akan meningkatkan inflasi yang akhirnya mengakibatkan daya beli masyarakat turun secara signifikan. Menurut Bank Indonesia inflasi non-inti akan naik sekitar 0,6 persen hingga 0,9 persen apabila pembatasan BBM bersubsidi dilaksanakan (mediaindonesia.com, 17/01/12).

Sehingga argumentasi pemerintah bahwa pembatasan BBM bersubsidi yang katanya hanya berpengaruh pada masyarakat mampu, yakni mereka yang memiliki kendaraan pribadi berplat hitam, adalah sangat naif. Karena sesungguhnya kebijakan tersebut akan mendongkrak inflasi yang akan menghantam perekonomian masyarakat menengah kebawah akibat harga-harga yang ikut merangkak naik.

Mengabdi pada Asing

Sebenarnya argumentasi paling logis dari kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ataupun kenaikan harga BBM bersubsidi adalah karena pemerintah memang ingin ’menyempurnakan’ target kebijakan ekonomi kapitalismenya, yaitu mencabut berbagai subsidi bagi rakyat. Pencabutan subsidi BBM itu adalah salah satu hasil kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota APEC di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat dan pertemuan G-20 di Prancis tahun lalu. Inilah sebenarnya alasan utama kenapa pemerintah sangat ’bergairah’ untuk melakukan pembatasan BBM bersubsidi atau menaikkan harga BBM bersubsidi. Lebih dari itu, pembatasan BBM bersubsidi merupakan satu bagian integral dari paket kebijakan liberalisasi migas yang menjadi amanat UU No. 22/2001 yang dikomandani oleh IMF melalui LoI.

Pembatasan BBM bersubsidi juga sebagai jalan untuk membuka pasar bagi perusahaan minyak asing yang memiliki stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) seperti Total, Shell, dan Petronas. Selama ini konsumen lebih memilih untuk menggunakan premium yang dijual Pertamina yang harganya lebih murah. Dengan adanya pembatasan BBM bersubsidi maka seluruh pengguna mobil pribadi terpaksa menggunakan bahan bakar seperti Pertamax atau bensin yang diproduksi oleh SPBU asing tersebut yang harganya mengikuti harga minyak dunia.

Fakta ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia, salah satu negeri Muslim terbesar, sedang dijajah secara ekonomi oleh negara Kapitalisme dunia. Parahnya, para pemimpin di negeri ini justru rela menindas rakyatnya sendiri demi mengabdi pada negara penjajah. Karenanya, seruan membebaskan negeri ini dari cengkeraman sistem Kapitalisme penjajah melalui tegaknya Syari’ah Islamiyah dan Khilafah Islamiyah semakin menemukan relevansinya. [al-khilafah.org]

Penulis:
Dr M Kusman Sadik (Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)

Sumber:
Media Umat edisi 75

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.