Petani Tebu Tak Pernah Rasakan Manisnya Gula
Sejak beberapa bulan terakhir ini, harga gula di pasaran melambung tinggi, bahkan di sejumlah daerah harganya mencapai Rp12 ribu perkilogram (kg).
Kenaikan harga gula di Indonesia juga disebabkan minimnya persediaan (stok) gula internasional, bahkan negara-negara produsen gula melakukan kebijakan impor gula.
Banyak orang beranggapan naiknya harga gula akan berdampak pada kesejahteraan petani tebu, namun hal tersebut tidak dirasakan oleh petani tebu di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Salah seorang petani Tebu di Kecamatan Semboro, Samuji Zarkasih, mengatakan tingginya harga gula di pasaran hanya dinikmati oleh pedagang dan investor saja, sedangkan petani tebu tetap terpuruk.
Harga tebu dari petani ditentukan melalui proses lelang, yang dikelola oleh koperasi, asosiasi petani, dan pabrik gula. Tahun ini, harga tebu melalui proses lelang disepakati Rp6.600,00 perkilogram.
"Meski harga di pasaran sekitar Rp11 ribu sampai Rp12 ribu, petani tetap mendapatkan harga tebu Rp6.600,00 per kg," kata petani yang menjadi anggota DPRD Jember periode 2009-2014 ini.
Ia menjelaskan, biaya produksi satu hektare dan sewa lahan petani tebu di Jember mencapai Rp24 juta, namun setelah panen petani bisa mendapatkan Rp30 juta.
"Petani bisa mendapatkan keuntungan menanam tebu, asalkan lahan tebu tidak diserang hama dan panen di lahan itu berhasil 100 persen," kata politsi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Namun, tidak jarang petani tebu harus gulung tikar dan bangkrut karena lahan tanaman tebu terkena penyakit dan terendam banjir seperti yang terjadi di Jember pada tahun 2008 lalu.
"Banyak orang yang berpendapat hidup petani tebu semanis rasa gula, namun tidak demikian, selama kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada petani," tuturnya.
Saat harga gula tinggi di pasaran, petani tebu tidak memiliki persediaan, sehingga para petani tetap membeli gula dengan harga tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Ini sangat menyakitkan bagi petani tebu, kami tidak merasakan manisnya harga tebu yang melambung kisaran Rp12 ribu. Kami juga mengeluhkan tingginya harga gula yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin," ujarnya lirih.
Ketua Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) Jember, Mohammad Ali Fikri, mengatakan, petani tebu tidak pernah merasakan manisnya harga gula, seiring dengan melambung harga gula di sejumlah daerah.
"Harga gula yang terus meroket justru menyakitkan hati petani tebu karena mereka tidak menikmati keuntungan dari tingginya harga gula," ungkap Fikri sambil memandang sejumlah lahan tebu miliknya di Kecamatan Semboro.
Menurut dia, luas lahan tebu rakyat di Jember mengalami penurunan, hampir tiap tahun, karena petani tebu beralih menanam tanaman lain yang menguntungkan seperti jeruk dan tembakau.
"Banyak petani tebu yang mengeluh menanam tebu, meski harga gula di pasaran melambung tinggi," katanya.
Luas lahan tebu rakyat di Jember pada tahun 2008 mencapai 7.638 hektare (ha), tahun 2009 seluas 6.058 ha dan tahun 2010 menurun hingga 4.400 ha saja.
"Pada bulan September tahun 2009 lalu, sekitar 100 petani tebu membakar lahan mereka seluas satu hektare di Kecamatan Tanggul karena protes terhadap kenaikan harga gula yang tidak pernah dinikmati petani," kenangnya.
Ia menjelaskan, petani tebu menerima Rp6.600,00 per kg gula, padahal harga di pasaran melambung tinggi. Dana "sharing" 60:40 persen antara petani tebu dengan investor yang memenangkan lelang gula.
Selain itu, tata niaga gula di Indonesia tidak mampu menjaga stabilitas harga gula di dalam negeri, bahkan aturan dalam tata niaga tersebut terkesan merugikan petani tebu.
"Kebijakan tata niaga gula harus ditinjau ulang, apakah benar-benar bermanfaat bagi petani tebu dan apakah mampu menjaga pasokan dan stabilitas harga di dalam negeri, kenyataannya tidak," ucapnya menegaskan.
Tata niaga gula yang diterapkan sejak september 2002 hanya menguntungkan perusahaan yang mendapat ijin impor gula dalam bentuk Impor Terdaftar (IT) atau yang dikenal dengan "Sembilan Samuari" di antaranya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, dan PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
"Dalam tata niaga itu, yang paling diuntungkan adalah investor, sedangkan petani selalu terpuruk," keluhnya.
Ia menilai, pemerintah masih belum berpihak kepada petani, sampai kapan pun petani tebu tidak akan merasakan manisnya harga gula, seperti yang diharapkan para petani tebu sebelumnya.
Fikri mengemukakan, petani tebu saat ini tidak memerlukan dana talangan supaya harga gula petani tidak jatuh di bawah harga dasar gula. Bahkan ia mengusulkan pengambil alihan pabrik gula oleh petani, supaya nasib petani lebih baik ke depan.
"Tahun ini, petani tidak membutuhkan dana talangan, sehingga pemerintah harus meninjau ulang kebijakan terkait pemberian dana talangan itu," katanya.
Sebagian kalangan menilai kenaikan harga gula yang terjadi pada saat ini merupakan peluang untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri, sehingga Indonesia tidak lagi melakukan kebijakan impor gula.
Tentu hal tersebut harus didukung oleh industri gula dalam negeri, khususnya milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memperbaiki pabrik gula (revitalisasi pabrik) dan petani diharapkan memperluas areal tanam tebu.
"Kenaikan harga gula di pasar internasional telah membuat pihak industri gula rafinasi sulit untuk mengimpor produk itu, sebenarnya hal ini merupakan kesempatan untuk mendorong pabrik gula rafinasi menyerap gula tebu dari pabrik guna (PG) dalam negeri," tuturnya.
Dengan carut marutnya tata niaga gula dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani, menyebabkan petani tebu di Jember semakin mempersempit luas lahan tebu yang ada.
"Hampir tiap tahun di Jember ada 1.000 hektare lahan tebu yang diganti tanaman lain seperti jagung, kedelai dan jeruk. Hal ini dilakukan petani tebu karena mereka tidak mendapatkan keuntungan semanis rasa gula," ucapnya.
Stop Impor Gula
Pemerintah mengeluarkan kebijakan impor gula pasir putih sebanyak 500 ribu ton pada bulan Januari hingga 15 April 2010, untuk memenuhi kebutuhan gula nasional.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menuturkan, pemerintah terpaksa membuka "keran" impor gula karena produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan untuk beberapa bulan ke depan.
Gula impor tersebut, diharapkan dapat mengisi kekosongan persediaan gula nasional hingga bulan Maret atau April 2010. Setelah periode itu, persediaan gula diperkirakan aman karena sudah memasuki musim giling tebu di sejumlah daerah di Indonesia.
Stok gula kristal putih hingga akhir Januari 2010 tercatat sebanyak 200 ribu ton dan mampu memenuhi 15 hari kebutuhan gula nasional. Hal ini disebabkan produksi gula lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan gula nasional.
Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) Jember, Marzuki Abdul Ghafur, menilai kebijakan impor yang dilakukan pemerintah sangat merugikan petani, meski pemerintah sudah mengatur tentang kuota dan alokasi waktu gula impor.
"Pemerintah mengalokasikan waktu Januari hingga April untuk impor gula, kemungkinan waktu distribusi gula impor kepada konsumen kemungkinan molor. Masa giling tebu di tingkat petani sekitar bulan Mei dan saat itu masih banyak gula impor yang beredar, sehingga petani akan merugi dengan `banjirnya` gula impor di Indonesia," katanya.
Produksi gula lokal memang tidak mencukupi kebutuhan gula nasional, namun pemerintah seharusnya melakukan kebijakan yang bisa meningkatkan produksi gula lokal dan dinikmati para petani tebu. Kebijakan impor gula tentu akan merugikan petani tebu karena harga gula lokal akan jatuh.
"Jawa Timur merupakan salah satu daerah penghasil tebu dan produksi gula terbesar dan terbaik di Indonesia, sehingga wajar apabila Gubernur Jawa Timur Soekarwo menolak kebijakan impor gula di Jatim," ujarnya.
Akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani tebu, luas lahan tanaman tebu terus mengalami penurunan di berbagai daerah, sehingga target produksi gula lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan gula nasional.
"Data luas lahan tebu anggota KPTR pada tahun 2009 tercatat 5.500 ha, sedangkan tahun ini seluas 4.500 ha. Ada penurunan sekitar 1.000 ha dari tahun kemarin," kata petani yang juga politisi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Jember ini.
Pemerintah, seharusnya memperhatikan kesejahteraan para petani tebu dengan memberikan sejumlah program yang akan membantu petani tebu untuk meningkatkan kualitas tanam dan produksi tebu di beberapa daerah penghasil tebu.
"Keluhan petani hanya didengarkan oleh pemerintah, namun tidak ada langkah bijak untuk memberikan solusi tepat terkait dengan persoalan gula," katanya menegaskan.
Apabila gula lokal tidak mencukupi, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan impor gula, tanpa mempertimbangkan hal tersebut dengan tepat.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, Arum Sabil juga tidak setuju terhadap kebijakan impor gula karena akan merugikan petani tebu.
"Pembukaan `keran` impor dengan berbagai kemudahan fasilitas, seperti pembebasan bea masuk dan pajak akan membuat nasib petani sengsara," ujarnya.
Ia menjelaskan, seharusnya pemerintah berani melakukan kebijakan yang radikal seperti "revitalisasi" pabrik gula karena peralatan pabrik gula di Indonesia masih sangat tua. Hanya sekitar 25 persen peralatan Pabrik Gula (PG) Semboro di Jember yang tergolong baru, sisanya adalah peninggalan Belanda. Kemungkinan PG yang lain juga seperti itu.
"Pemerintah kurang berani melakukan kebijakan yang sedikit radikal untuk memperhatikan petani tebu," ucapnya tegas.
Sejauh ini, pemerintah selalu terburu-buru untuk mengeluarkan kebijakan impor gula, padahal sejumlah daerah merupakan penghasil gula terbaik di Indonesia.
"Saya berharap, pemerintah lebih memperhatikan nasib petani tebu yang selalu terpuruk. Impor gula tidak akan menjamin solusi untuk memenuhi kebutuhan gula nasional," tuturnya.
Bangsa Indonesia menyadari sudah berabad-abad perkebunan tebu dan pabrik gula khususnya di Jawa menjadi sektor ekonomi yang menguntungkan. Gula hasil produksi Pulau Jawa pada masa kolonial Belanda pernah mendominasi pasaran gula dunia.
Namun di Indonesia saat ini, produksi gula terus menurun seiring dengan luas lahan tebu yang semakin sempit, penyebabnya tentu berbagai faktor.
Sungguh sangat disayangkan, apabila negeri tercinta Indonesia yang "gemah ripah loh jinawi" ini harus menjadi pengimpor gula. Akankah para petani tebu di Kabupaten Jember dan berbagai daerah lain mampu membangkitkan industri gula di tanah air?[antara/020312/al-khilafah.org]
Kenaikan harga gula di Indonesia juga disebabkan minimnya persediaan (stok) gula internasional, bahkan negara-negara produsen gula melakukan kebijakan impor gula.
Banyak orang beranggapan naiknya harga gula akan berdampak pada kesejahteraan petani tebu, namun hal tersebut tidak dirasakan oleh petani tebu di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Salah seorang petani Tebu di Kecamatan Semboro, Samuji Zarkasih, mengatakan tingginya harga gula di pasaran hanya dinikmati oleh pedagang dan investor saja, sedangkan petani tebu tetap terpuruk.
Harga tebu dari petani ditentukan melalui proses lelang, yang dikelola oleh koperasi, asosiasi petani, dan pabrik gula. Tahun ini, harga tebu melalui proses lelang disepakati Rp6.600,00 perkilogram.
"Meski harga di pasaran sekitar Rp11 ribu sampai Rp12 ribu, petani tetap mendapatkan harga tebu Rp6.600,00 per kg," kata petani yang menjadi anggota DPRD Jember periode 2009-2014 ini.
Ia menjelaskan, biaya produksi satu hektare dan sewa lahan petani tebu di Jember mencapai Rp24 juta, namun setelah panen petani bisa mendapatkan Rp30 juta.
"Petani bisa mendapatkan keuntungan menanam tebu, asalkan lahan tebu tidak diserang hama dan panen di lahan itu berhasil 100 persen," kata politsi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Namun, tidak jarang petani tebu harus gulung tikar dan bangkrut karena lahan tanaman tebu terkena penyakit dan terendam banjir seperti yang terjadi di Jember pada tahun 2008 lalu.
"Banyak orang yang berpendapat hidup petani tebu semanis rasa gula, namun tidak demikian, selama kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada petani," tuturnya.
Saat harga gula tinggi di pasaran, petani tebu tidak memiliki persediaan, sehingga para petani tetap membeli gula dengan harga tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Ini sangat menyakitkan bagi petani tebu, kami tidak merasakan manisnya harga tebu yang melambung kisaran Rp12 ribu. Kami juga mengeluhkan tingginya harga gula yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin," ujarnya lirih.
Ketua Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) Jember, Mohammad Ali Fikri, mengatakan, petani tebu tidak pernah merasakan manisnya harga gula, seiring dengan melambung harga gula di sejumlah daerah.
"Harga gula yang terus meroket justru menyakitkan hati petani tebu karena mereka tidak menikmati keuntungan dari tingginya harga gula," ungkap Fikri sambil memandang sejumlah lahan tebu miliknya di Kecamatan Semboro.
Menurut dia, luas lahan tebu rakyat di Jember mengalami penurunan, hampir tiap tahun, karena petani tebu beralih menanam tanaman lain yang menguntungkan seperti jeruk dan tembakau.
"Banyak petani tebu yang mengeluh menanam tebu, meski harga gula di pasaran melambung tinggi," katanya.
Luas lahan tebu rakyat di Jember pada tahun 2008 mencapai 7.638 hektare (ha), tahun 2009 seluas 6.058 ha dan tahun 2010 menurun hingga 4.400 ha saja.
"Pada bulan September tahun 2009 lalu, sekitar 100 petani tebu membakar lahan mereka seluas satu hektare di Kecamatan Tanggul karena protes terhadap kenaikan harga gula yang tidak pernah dinikmati petani," kenangnya.
Ia menjelaskan, petani tebu menerima Rp6.600,00 per kg gula, padahal harga di pasaran melambung tinggi. Dana "sharing" 60:40 persen antara petani tebu dengan investor yang memenangkan lelang gula.
Selain itu, tata niaga gula di Indonesia tidak mampu menjaga stabilitas harga gula di dalam negeri, bahkan aturan dalam tata niaga tersebut terkesan merugikan petani tebu.
"Kebijakan tata niaga gula harus ditinjau ulang, apakah benar-benar bermanfaat bagi petani tebu dan apakah mampu menjaga pasokan dan stabilitas harga di dalam negeri, kenyataannya tidak," ucapnya menegaskan.
Tata niaga gula yang diterapkan sejak september 2002 hanya menguntungkan perusahaan yang mendapat ijin impor gula dalam bentuk Impor Terdaftar (IT) atau yang dikenal dengan "Sembilan Samuari" di antaranya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, dan PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
"Dalam tata niaga itu, yang paling diuntungkan adalah investor, sedangkan petani selalu terpuruk," keluhnya.
Ia menilai, pemerintah masih belum berpihak kepada petani, sampai kapan pun petani tebu tidak akan merasakan manisnya harga gula, seperti yang diharapkan para petani tebu sebelumnya.
Fikri mengemukakan, petani tebu saat ini tidak memerlukan dana talangan supaya harga gula petani tidak jatuh di bawah harga dasar gula. Bahkan ia mengusulkan pengambil alihan pabrik gula oleh petani, supaya nasib petani lebih baik ke depan.
"Tahun ini, petani tidak membutuhkan dana talangan, sehingga pemerintah harus meninjau ulang kebijakan terkait pemberian dana talangan itu," katanya.
Sebagian kalangan menilai kenaikan harga gula yang terjadi pada saat ini merupakan peluang untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri, sehingga Indonesia tidak lagi melakukan kebijakan impor gula.
Tentu hal tersebut harus didukung oleh industri gula dalam negeri, khususnya milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memperbaiki pabrik gula (revitalisasi pabrik) dan petani diharapkan memperluas areal tanam tebu.
"Kenaikan harga gula di pasar internasional telah membuat pihak industri gula rafinasi sulit untuk mengimpor produk itu, sebenarnya hal ini merupakan kesempatan untuk mendorong pabrik gula rafinasi menyerap gula tebu dari pabrik guna (PG) dalam negeri," tuturnya.
Dengan carut marutnya tata niaga gula dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani, menyebabkan petani tebu di Jember semakin mempersempit luas lahan tebu yang ada.
"Hampir tiap tahun di Jember ada 1.000 hektare lahan tebu yang diganti tanaman lain seperti jagung, kedelai dan jeruk. Hal ini dilakukan petani tebu karena mereka tidak mendapatkan keuntungan semanis rasa gula," ucapnya.
Stop Impor Gula
Pemerintah mengeluarkan kebijakan impor gula pasir putih sebanyak 500 ribu ton pada bulan Januari hingga 15 April 2010, untuk memenuhi kebutuhan gula nasional.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menuturkan, pemerintah terpaksa membuka "keran" impor gula karena produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan untuk beberapa bulan ke depan.
Gula impor tersebut, diharapkan dapat mengisi kekosongan persediaan gula nasional hingga bulan Maret atau April 2010. Setelah periode itu, persediaan gula diperkirakan aman karena sudah memasuki musim giling tebu di sejumlah daerah di Indonesia.
Stok gula kristal putih hingga akhir Januari 2010 tercatat sebanyak 200 ribu ton dan mampu memenuhi 15 hari kebutuhan gula nasional. Hal ini disebabkan produksi gula lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan gula nasional.
Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) Jember, Marzuki Abdul Ghafur, menilai kebijakan impor yang dilakukan pemerintah sangat merugikan petani, meski pemerintah sudah mengatur tentang kuota dan alokasi waktu gula impor.
"Pemerintah mengalokasikan waktu Januari hingga April untuk impor gula, kemungkinan waktu distribusi gula impor kepada konsumen kemungkinan molor. Masa giling tebu di tingkat petani sekitar bulan Mei dan saat itu masih banyak gula impor yang beredar, sehingga petani akan merugi dengan `banjirnya` gula impor di Indonesia," katanya.
Produksi gula lokal memang tidak mencukupi kebutuhan gula nasional, namun pemerintah seharusnya melakukan kebijakan yang bisa meningkatkan produksi gula lokal dan dinikmati para petani tebu. Kebijakan impor gula tentu akan merugikan petani tebu karena harga gula lokal akan jatuh.
"Jawa Timur merupakan salah satu daerah penghasil tebu dan produksi gula terbesar dan terbaik di Indonesia, sehingga wajar apabila Gubernur Jawa Timur Soekarwo menolak kebijakan impor gula di Jatim," ujarnya.
Akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani tebu, luas lahan tanaman tebu terus mengalami penurunan di berbagai daerah, sehingga target produksi gula lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan gula nasional.
"Data luas lahan tebu anggota KPTR pada tahun 2009 tercatat 5.500 ha, sedangkan tahun ini seluas 4.500 ha. Ada penurunan sekitar 1.000 ha dari tahun kemarin," kata petani yang juga politisi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Jember ini.
Pemerintah, seharusnya memperhatikan kesejahteraan para petani tebu dengan memberikan sejumlah program yang akan membantu petani tebu untuk meningkatkan kualitas tanam dan produksi tebu di beberapa daerah penghasil tebu.
"Keluhan petani hanya didengarkan oleh pemerintah, namun tidak ada langkah bijak untuk memberikan solusi tepat terkait dengan persoalan gula," katanya menegaskan.
Apabila gula lokal tidak mencukupi, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan impor gula, tanpa mempertimbangkan hal tersebut dengan tepat.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, Arum Sabil juga tidak setuju terhadap kebijakan impor gula karena akan merugikan petani tebu.
"Pembukaan `keran` impor dengan berbagai kemudahan fasilitas, seperti pembebasan bea masuk dan pajak akan membuat nasib petani sengsara," ujarnya.
Ia menjelaskan, seharusnya pemerintah berani melakukan kebijakan yang radikal seperti "revitalisasi" pabrik gula karena peralatan pabrik gula di Indonesia masih sangat tua. Hanya sekitar 25 persen peralatan Pabrik Gula (PG) Semboro di Jember yang tergolong baru, sisanya adalah peninggalan Belanda. Kemungkinan PG yang lain juga seperti itu.
"Pemerintah kurang berani melakukan kebijakan yang sedikit radikal untuk memperhatikan petani tebu," ucapnya tegas.
Sejauh ini, pemerintah selalu terburu-buru untuk mengeluarkan kebijakan impor gula, padahal sejumlah daerah merupakan penghasil gula terbaik di Indonesia.
"Saya berharap, pemerintah lebih memperhatikan nasib petani tebu yang selalu terpuruk. Impor gula tidak akan menjamin solusi untuk memenuhi kebutuhan gula nasional," tuturnya.
Bangsa Indonesia menyadari sudah berabad-abad perkebunan tebu dan pabrik gula khususnya di Jawa menjadi sektor ekonomi yang menguntungkan. Gula hasil produksi Pulau Jawa pada masa kolonial Belanda pernah mendominasi pasaran gula dunia.
Namun di Indonesia saat ini, produksi gula terus menurun seiring dengan luas lahan tebu yang semakin sempit, penyebabnya tentu berbagai faktor.
Sungguh sangat disayangkan, apabila negeri tercinta Indonesia yang "gemah ripah loh jinawi" ini harus menjadi pengimpor gula. Akankah para petani tebu di Kabupaten Jember dan berbagai daerah lain mampu membangkitkan industri gula di tanah air?[antara/020312/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar