Keabsahan Akad Khilafah
Pengantar
Khilafah
adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh
penjuru dunia. Khilafah adalah akad di antara akad-akad yang harus
dipehuni. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (QS al-Maidah [5] : 1).
Yang dimaksud dengan akad-akad di sini adalah semua kewajiban dan hukum-hukum agama yang telah diwajibkan oleh Allah atas hamba-Nya, dan Allah telah mengadakan akad dengannya, serta akad-akad terkait amanat, transaksi dan lainnya yang dilakukan oleh sesama manusia yang harus dipenuhinya (Al-Alusi, Tafsîr al-Alûsî, VI/46). Termasuk dalam hal ini adalah akad Khilafah.
Lalu bagaimana akad Khalifah ini bisa dikatakan absah sehingga semua pihak yang masuk di dalamnya wajib memenuhi dan menjaganya?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 25, yang berbunyi: “Khilafah
adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pilihan. Tidak ada
paksaan bagi seseorang untuk menerima jabatan Khilafah. Tidak ada
paksaan untuk memilih orang yang akan menduduki jabatan (Khalifah).” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).
Pengertian Akad
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada-ya’qidu-‘aqd[an] yang bentuk pluralnya adalah ‘uqûd. Akad menurut arti bahasa adalah ar-rabthu (ikatan), adh-dhamânu (jaminan) dan al-‘ahdu (perjanjian). Adapun akad dalam pengertian istilah adalah:
اِتِّفَاقُ بَيْنَ طَرْفَيْنِ يَلْتَزِمُ بِمُقْتَضَاهُ كُلٌّ مِنْهُمَا تَنْفِيْدَ مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ
Kesepakatan di antara dua pihak yang mengharuskan masing-masing menjalankan apa yang telah disepakati (Anis, Mu’jam al-Wasîth, hlm. 614).
Dalam istilah lain, Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan akad dengan “keterikatan (irtibâth) antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syariah yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi ikatan yang diinginkan. Adapun qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.” (Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, hlm. 65).
Dengan
memperhatikan pengertian-pengertian akad di atas, dapat diketahui bahwa
akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua belah pihak
berdasarkan kesediaan masing-masing dan mengikat pihak-pihak di
dalamnya dengan beberapa hukum syariah, yaitu hak dan kewajiban yang
diwujudkan oleh akad tersebut.
Terkait dengan apakah akad telah terwujud atau tidak, fuqâha’ (para ahli fiqih) bersepakat bahwa akad itu dinyatakan tidak terjadi kecuali jika telah ada: ‘âqid atau pihak-pihak yang berakad; shîghat, yakni ijab dan qabul; dan mahallu al-‘aqdi atau ma’qûd ‘alayh, yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum akad atau disebut juga dengan obyjek akad (Mawsû’ah al-Fiqhiyah, XXX/200).
Khilafah itu Akad
Dalil
bahwa Khilafah itu akad adalah hadis tentang orang Arab Badui yang
meminta kepada Rasulullah saw. untuk membatalkan baiat yang telah dia
berikan. Jabir bin Abdullah menuturkan bahwa orang Arab Badui pernah
membaiat Rasulullah saw. Kemudian dia menderita sakit dan demam yang
sangat tinggi di Madinah. Ia lalu mendatangi Nabi Saw, dan berkata,
“Wahai Muhammad, temui aku, lalu batalkan baiatku.” Rasulullah saw tidak
menemui dia. Orang Arab Badui itu datang kembali dan berkata, “Temui aku, lalu batalkan baiatku.” Rasulullah saw. masih tidak menemui dia. Kemudian ia kembali mendatangi Nabi saw. dan berkata, “Temui aku lalu batalkan baiatku.” Rasulullah saw masih tetap tidak menemui dia. Setelah orang Arab Badui itu pergi, Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا وَيَنْصَعُ طَيِّبُهَا
Sesungguhnya
Madinah itu layaknya seperti alat untuk meniup dan membakar besi, yang
akan menghilangkan kotorannya, dan memurnikan kebaikannya (HR al-Bukhari-Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa telah terjadi (ada) akad antara orang Arab Badui dan Nabi saw., yaitu berupa baiatnya kepada Rasulullah saw. (yang saat itu menjadi kepala Negara Islam di Madinah, red.) Ini menjadi dalil bahwa Khilafah itu merupakan sebuah akad sebagaimana akad-akad syar’i yang lain (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).
Kerelaan dan Pilihan
Mengingat Khilafah itu merupakan sebuah akad seperti akad-akad syar’i
lainnya yang dilakukan oleh dua pihak yang berakad maka harus dilakukan
atas dasar kerelaan dan pilihan. Lalu apa yang dimaksud dengan kerelaan
dan pilihan, maka dalam hal ini, jumhur ulama mendefinisikan kerelaan
dengan:
قَصْدُ الْفِعْلِ دُوْنَ أَنْ يَشُوْبَهُ إِكْرَاهٌ
Bermaksud melakukan perbuatan tanpa dicampuri (dipengaruhi) oleh sebuah paksaan (Mawsû’ah al-Fiqhiyah, 22/228).
Artinya, perbuatan itu dilakukan murni atas kesadaran sendiri.
Adapun pilihan (al-ikhtiyâr) menurut pengertian bahasa adalah “tafdhîlu asy-syay’[i] ‘ala ghayrihi (mengutamakan sesuatu atas yang lainnya)”. Pilihan (al-ikhtiyâr) dalam pengertian istilah adalah:
القَصْدُ
إِلَى أَمْرٍ مُتَرَدِّدٍ بَيْنَ الْوُجُوْدِ وَ الْعَدَمِ دَاخِلَ فِى
قُدْرَةِ الفَاعِلِ بِتَرْجِيْحِ أَحَدَ الجَانِبَيْنِ عَلَى الآخَرِ
Memilih
suatu perkara yang masih meragukan antara ada dan tidak ada yang masih
ada dalam kemampuan pelaku untuk menentukan salah satunya atas yang lain
(Mawsû’ah al-Fiqhiyah, 2/315).
Artinya adalah menetapkan salah satu dari sekian banyak pilihan dan siap menanggung semua konsekwensi atas pilihannya itu.
Tentang keharusan adanya kerelaan dalam akad, Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama
kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
dilakukan atas dasar kerelaan di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 29).
Rasululah saw. juga bersabda:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِىءٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبَةٍ مِنْ نَفْسِهِ
Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya (HR Bukhari dan Muslim).
Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mengambil sesuatu dari orang lain tanpa adanya kerelaan dirinya. Oleh karena itu, mayoritas fuqâha’ (para ahli fikih) menjelaskan bahwa kerelaan merupakan dasar, asas atau syarat bagi semua akad. Dengan demikian akad tidak diaggap ada jika belum ada kerelaan pada saat berlangsungnya akad, baik hal itu terkait akad harta atau yang selain harta (Mawsû’ah al-Fiqhiyah, 30/220).
Tak Ada Paksaan
Khilafah
adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pilihan, karena ia
merupakan baiat untuk taat kepada seseorang yang mempunyai hak untuk
ditaati dalam kekuasaan. Jadi, harus ada kerelaan dari pihak yang dibaiat untuk memegang tampuk kekuasaan dan kerelaan dari pihak yang membaiat dirinya.
Oleh
karena itu, apabila seseorang tidak bersedia menjadi khalifah dan
menolak jabatan khalifah, ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk
menerimannya, tetapi harus dicarikan orang lain untuk menduduki jabatan
tersebut. Demikian pula tidak boleh mengambil baiat dari kaum Muslim
dengan kekerasan dan pemaksaan, karena dalam keadaan demikian akad yang
dilakukan tidak dianggap sah. Sebab, Khilafah adalah akad yang dibangun
atas dasar kerelaan dan pilihan, tidak boleh ada unsur paksaan atau
tekanan sebagaimana pada akad-akad lain (An-Nabhani, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II, hlm. 125).
Rasululah saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah menggugurkan dari umatku (dampak hukum akibat perbuatan yang dilakukan karena) kesalahan, lupa dan terpaksa (HR Ibnu Majah dari jalan Ibnu Abbas).
Hadis ini berlaku umum untuk setiap akad, termasuk di antaranya adalah akad Khilafah. Dengan demikian setiap akad yang dilakukan dengan paksaan dinyatakan batal karena akad dianggap tidak terlaksana. Begitu halnya dengan akad Khilafah, juga dinyatakan batal sebagaimana akad-akad yang lainnya jika dilakukan dengan cara paksaan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).
Dengan demikian tidak benar pendapat sebagian fuqâha’
(para ahli fikih) dan ulama yang membolehkan pengangkatan Khalifah yang
dilakukan dengan cara paksaan. Abu Ya’la al-Farra’ mengklaim bahwa ini
merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya.
Beliau berkata terkait masalah ini bahwa, “Siapa saja yang
mengalahkan suatu kaum dengan menggunakan pedang sehingga ia menjadi
khalifah dan dinamakan Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi seorang
pun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, bahwa ia bermalam
sementara ia tidak melihatnya sebagai seorang imam (khalifah), apakah ia
seorang yang baik atau seorang yang zalim.” (Al-Farra’, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 20).
Yang
benar, akad Khilafah tidak sah dilakukan dengan cara pemaksaan dan
tekanan. Sebab, Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan
dan pilihan, tidak dengan memaksa orang yang dibaiat, dan tidak pula
memaksa orang yang membaiat dirinya (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233).
Khatimah
Dengan
demikian akad Khilafah bisa dikatakan sah jika telah memenuhi
rukun-rukun akad. Karena itu seseorang (calon khalifah) tidak akan
menjadi khalifah kecuali jika ada pihak (umat atau yang mewakili
kehendaknya) telah menyerahkan Khilafah kepada dirinya (membaiat
dirinya). Jadi, apabila ada seorang mengangkat dirinya sendiri menjadi
khalifah, tanpa ada baiat dari pihak yang dengan baiatnya akad Khilafah
dikatakan sah, maka ia bukanlah seorang khalifah. Sebab, seseorang akan
menjadi khalifah setelah ia dibaiat yang dilakukan atas dasar kerelaan
dan pilihan, serta sedikit pun tidak ada unsur paksaan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125)—baik paksaan itu dilakukan dengan cara yang soft (seperti politik uang) maupun yang dilakukan dengan cara yang hard (seperti dengan ancaman).
Walhasi,
dengan ketentuan UUD Negara Islam pasal 25 ini, maka akan tertutup
kemungkinan terjadinya kasus yang sering menimpa umat, yakni umat sering
salah memilih pemimpin, bahkan umat dipaksa membeli kucing dalam
karung, padalah di dalamnya berisi serigala yang siap setiap saat
menerkamnya, seperti yang diperankan oleh para penguasa di negeri-negeri
kaum Muslim saat ini.
WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan
Al-Alusi, Mahmud bin Abdullah al-Husaini, Tafsîr al-Alûsî, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press), 2000.
Anis, Ibrahim dkk, Mu’jam al-Wasîth, tanpa penerbit, tanpa tahun.
Al-Farra’, Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 2000.
Http://menaraislam.com/content/view/75/40/
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
Mawsû’ah al-Fiqhiyah, Kementerian Waqaf dan Urusan Islam Kuwait.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2003.
[al-khilafah.org]
Tidak ada komentar