Prospek Syariat Paska Pilkada Aceh?
Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Akhirnya Komisi Independen Pemilihan Aceh menetapkan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk periode 2012-2017.Penetapan itu dilakukan dalam sebuah rapat pleno terbuka di gedung DPRA di Banda Aceh, Selasa (17/4). Ini adalah kemenangan kedua kalinya Partai Aceh (PA) dalam laga pemilihan gubernur dan wakil gubernur paska MoU Helsinski.
Zaini dan Muzakir meraup final dukungan 1.327.695 suara( 55,78%). Sementara calon gubernur Irwandi Yusuf hanya mampu mengumpulkan 694.515 suara (29,18%), Muhammad Nazar-Nova Iriansyah mengumpulkan 182.876 suara(7,65%). Dan dua pasang calon Darni M. Daud dan Teungku Ahmad Tajuddin hanya memperoleh masing-masing 96.767 suara (4,07 %) dan 79.330 suara (3,33%). Dari prosentase perolehan suara mengindikasikan rakyat Aceh masih menaruh kepercayaan dan harapan kepada mantan para tokoh GAM untuk mewujudkan impian masyarakat Aceh. Namun fenomena apatisme masyarakat terhadap pesta demokrasi juga terlihat tinggi jika dilihat dari angka golput. Dibandingkan antara total pemilih tetap (3.244.680 orang) dengan jumlah suara yang sah (2.381.183 suara), maka jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak suara (termasuk suara rusak) mencapai 863.497 orang atau 26,6 persen (http://kip-acehprov.go.id). Angka tersebut juga menunjukkan peningkatan jumlah pemilih yang golput jika dibandingkan dengan Pilkada 2006 lalu, jumlah golput di Aceh saat itu mencapai angka 528.196 atau 20,06 persen dari jumlah DPT 2.632.935 orang.
Pilkada kedua paska konflik ini dilaksanakan serentak di 17 Kabupaten/Kota dengan menelan biaya sekitar Rp 202 miliar. Pemerintah Aceh menanggung 40% (Rp 80 miliar), sisanya 60% (Rp 121,2 miliar) ditanggung 17 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada, dengan di ikuti 115 pasangan kandidat.
Di pilkada sebelumnya Partai Aceh menjadi pemenang di 8 kabupaten/kota, dan kali ini (2012) Partai Aceh dengan mengusung 15 pasangan calon dari total 17 kabupaten/kota mampu meraih kemenangan di 6 kabupaten/kota dalam satu putaran dan mengantarkan 4 pasangan calon lainya masuk dalam putaran kedua. Pesta demokrasi di Aceh juga menarik bagi pihak asing dengan hadirnya pemantau dari luar negeri, paling tidak ada 3 yang tercatat di KIP; Asian Network for Free Election (Anfrel), Kedutaan Uni Eropa dan Kedutaan Amerika. Selain itu, ada 15 lembaga lokal dan nasional yang mengawasi Pilkada Aceh.
Visi pemimpin baru Aceh?
Sekilas, seorang Zaini Abdullah adalah bekas Menteri Luar Negeri GAM. Pria kelahiran Sigli, 24 April 1940 itu adalah pengikut pertama deklarator GAM, Tgk Hasan Muhammad di Tiro. Lama menetap di Swedia setelah melarikan diri usai ikut mendeklarasikan GAM di Gunong Halimon Pidie pada 4 Desember 1976. Mengasingkan diri ke salah satu negeri Skandinavia itu karena menjadi buronan kelas kakap aparat keamanan di Indonesia, Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 1972 ini mengabdikan dirinya sebagai dokter pribadi Hasan Tiro. Zaini juga merupakan abang kandung dari Ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah. Di Swedia, tepatnya di Nordsborg, Zaini bekerja sebagai dokter umum. Ia berkali-kali menjadi juru runding ketika Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka duduk satu meja untuk membahas perdamaian di Aceh. Termasuk, perundingan lima tahap yang difasilitasi Presiden Martti Ahtisaari dari Crisis Management Initiative di Helsinki, Finlandia. Pada 15 Agustus 2005, kedua belah pihak mencapai kata sepakat untuk mengakhiri konflik yang menewaskan tak kurang dari 15.000 jiwa. Zaini lantas kembali ke Aceh dan menjadi warga negara Indonesia.
Sementara wakilnya Muzakir Manaf adalah ketua Partai Aceh. Pria kelahiran Aceh Timur, 3 April 1964 dulunya adalah panglima GAM. Jabatan itu disematnya setelah Tengku Abdullah Syafie, panglima GAM pertama meninggal dunia dalam sebuah pertempuran di Jiem-jiem Pidie, pada tahun 2002.
Dalam sidang istimewa di DPR Aceh, 22 Maret, Zaini-Muzakir menyampaikan visi-misi kepemimpinannya untuk Aceh. Zaini menyorot sembilan permasalahan yang dihadapi masyarakat Aceh ke depan, yaitu: belum optimalnya pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki; masih tingginya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; pelaksanaan nilai-nilai dinul Islam di Aceh yang belum maksimal.
Selain itu, Zaini juga menilai angka kemiskinan di Aceh masih tinggi; tingkat pengangguran terbuka juga masih tinggi; keterlibatan swasta dalam pembangunan masih rendah; sektor koperasi dan usaha kecil menengah belum berkembang dengan baik; rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam; dan pertumbuhan ekonomi Aceh yang masih rendah.
Karena itu, jika nanti terpilih, pasangan ini berjanji akan memperbaiki tata kelola pemerintahan Aceh yang amanah melalui implementasi dan penyelesaian turunan UU Pemerintahan Aceh untuk menjaga perdamaian yang abadi.
Kemudian, Zaini berjanji akan menerapkan budaya Aceh dan nilai-nilai Islam di semua sektor masyarakat; memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia; melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi, dan berkelanjutan; mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam.
Zaini berkali-kali menekankan pentingnya menjalankan roda pemerintahan Aceh berlandaskan Undang-undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki. “Ini untuk mewujudkan pelaksanaan pemerintahan Aceh yang efektif dan efisien sebagaimana yang telah dituangkan dalam undang-undang tersebut, guna tercapainya masyarakat Aceh yang mandiri, makmur, dan sejahtera dalam bingkai NKRI,” kata dia. [Pernah dipublikasikan di acehkita.com, 22 Maret 2012]
Dinamika Syariat ditangan pemimpin baru?
Secara politik pasangan Zaini dan Muzakir Manaf memiliki modal dukungan dari rakyat cukup signifikan untuk memimpin Aceh sampai 5 tahun kedepan. Namun disini penulis ingin spesifik mendialogkan bagaimanakah nasib dan prospek syariat paska pilkada dengan kemenangan di tangan mantan para pejuang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) itu?
Apakah pilkada yang telah menelan biaya ratusan miliar ini hanya akan menghasilkan “sopir” baru tanpa bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik? Apakah penguasa baru memiliki kompetensi dan visi untuk membangun Aceh, bukan sekedar artikulasi “syahwat kekuasaan” yang kehilangan substansi amanah kekuasaan.
Point penting, UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kafah di Aceh. Sebelum lahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang huklum keluarga dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya belum sama sekali tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan pijakan penting dalam rangka menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat formalisasi syariát Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah berbagai aturan syariát Islam dapat ditegakkan dalam kehiupan bermasyarakat dan berbangsa. Di dalam Qanun No 11 Tahun 2002 juga ditegaskan ulang tentang pelaksanaan Syariát Islam bidang Akidah, mua’malah, Ibadah, peradilan dan Syiar Islam. Begitu juga di dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai penjabaran dari MoU Helsinki (15 Agustus 2005) ditegaskan dalam Bab XVII Pasal 125; (1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak.(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal lsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Apakah pemimpin baru Aceh (Zaini-Muzakir) mampu menterjemahkan visi-misinya dalam masalah penerapan syariat di Aceh?, fakta empirik ia mendapat dukungan besar rakyat Aceh, dan modal besar adanya regulasi yang bisa menjadi payung artikulasi visinya dalam bidang syariat. Jika benar Zaini-Muzakir punya komitmen terhadap penerapan syariat, maka tinggal revitalisasi semua variabel yang dibutuhkan untuk implementasi syariat. Sadar atau tidak, otonomi khusus yang dimiliki Aceh dengan memberikan legitimasi penerapan syariat secara kafah itu artinya menjadikan Islam sebagai “ideologi” bagi kehidupan sosial politik masyarakat Aceh.
Upaya dilapangan selama ini, penerapan syariat Islam secara kafah di Aceh baru menyentuh pada aspek-aspek ubudiyah, akhwal syakhsiyah dan syi’ar. Tapi belum terlihat maksimal di wilayah yang justru krusial yakni penegakan hukum dengan peradilan Islam dan pengaturan ekonomi yang berkeadilan berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Pada masa pemerintahan Irwandi yang notabene saat itu representasi dari PA (Partai Aceh/mantan GAM) justru mengganjal Qanun Jinazat. Dan selama periode kepemimpinannya produk legislasi dari DPRA dalam bidang syariat baru menyangkut masalah sekunder (khomer dan Khalwat) yang Irwandi tanda-tangani. Syariat Islam menjadi momok bagi Irwandi dengan berbagai dalih, baik pertimbangan ekonomi (investasi asing) maupun paradigm HAM yang hakikatnya tidak relevan dijadikan parameter penilaian implentasi syariat Islam di Aceh dalam berbagai bidangnya.
Stagnasi dinamika penerapan syariat sangat besar kemungkinannya, sekalipun Gubernurnya adalah representasi dari GAM masa lalu. Atau bahkan dengan hampir 10 kepala daerah kabupaten/kota juga dari unsur GAM masa lalu. Berangkat dari pengalaman empirik yang ada, hampir tidak menemukan korelasi atau relevansi antara kedudukan mereka sebagai penguasa dengan progress penerapan syariat yang signifikan. Ditambah lagi titik lemah yang paling krusial, tidak adanya kesiapan dan kematangan konsep dalam diri mereka tentang bangunan politik bagi Aceh dengan menjadikan Islam sebagai pijakan ideologinya.
Harapan tentu ada asalkan pemimpin baru ini mampu meninggalkan jebakan demokrasi; tidak menghabiskan waktu berkuasanya dengan sibuk bagi-bagi kue kekuasaan kepada tim sukses dan penyandang dananya. Tidak menambah deretan “musuh baru” dengan main bongkar pasang birokrasi hanya berdasarkan like and dislike. Bahkan membuang jauh-jauh mental hipokrit sebagai penguasa, keluar dari pakem demokrasi ala kombatan GAM “power to money and money to power”. Berani mengakomodir setiap potensi dari berbagai kalangan yang tervalidasi kepentinganya bukan opuntunir tapi demi Aceh yang bermartabat dengan ideologi Islam. Jika tidak, banyak ruang kosong yang memungkinkan Asing dan para pemodal komprador dengan segala kepentinganya menjadi “supervisi” dari jalanya kehidupan sosial politik masyarakat Aceh melalui para pejabat yang baru.
Ditahun 2013 Aceh direncanakan mendapatkan anggaran dari APBN sebesar Rp 7,5 triliun.Sebuah modal yang cukup besar, jika benar dan tepat pengelolaannya maka akan terhindar dari defisit anggaran seperti halnya kasus dua tahun terakhir di Aceh. Hampir setengah dari kabupaten/kota di provinsi Aceh defisit anggaran dan tidak mampu mengcover biaya operasional pegawai apalagi belanja untuk kepentingan rakyat. Dan problem anggaran ini juga yang pada akhirnya menjadikan proyek penerapan syariat mengalami stagnasi.
Sekalipun gubernur baru dengan paparan visi-misinya seolah terlihat telah mampu memetakan persoalan, tantangan dan hambatan membangun Aceh, namun bagi penulis akan menjadi masghul jika gubernur baru tidak mampu mengeksplorasi kapabilitas Islam sebagai sistem yang dijadikan frame dari semua proses menuju Aceh yang adil dan makmur serta dibawah payung barakah Allah swt. Karena sampai hari ini syariat Islam di Aceh seolah seperti “proyek gagal” yang disengaja oleh tangan-tangan jahat yang tidak menginginkan Islam tegak di Aceh dan menginspiriasi dibelahan NKRI yang lain. Betapa tidak, ada simpul-simpul persoalan hingga kini tidak terurai padahal perkara tersebut adalah variabel pokok yang menjadi sebab langsung atau tidak langsung keberlangsungan syariat bisa tegak atau tidak di Aceh secara kafah. Variabel tersebut antara lain;
Pertama, untuk penerapan syariat Islam di Aceh belum terkonstruksi dalam konsep yang holistic integral serta matang. Ketidaksiapan konsep masih membuka ruang perdebatan tidak berujung.Bahkan bisa membuka peluang masuknya inflitrasi asing untuk melahirkan regulasi (qanun) di Aceh yang ujung-ujungnya Aceh menjadi daerah potensial dan destinasi untuk ketamakan para imperialis.
Kedua, penerapan syariat Islam di Aceh dihadapkan kepada dilema “split sistem” atau “double sistem” ini bisa dilihat dalam ranah peradilan. Islam hendak diterapkan dalam bingkai demokrasi, dan benturan regulasi dengan paradigma yang berbeda secara diametrikal menjadi ganjalan setiap saat. Islam tidak pernah mengejawantah menjadi sistem kehidupan masyarakat Aceh jika hanya menjadi nilai substitusi atau sub sistem dari sistem demokrasi ala NKRI.
Ketiga, penerapan syariat membutuhkan SDM dan aparatur pemerintahan dari tingkat gubernur hingga geciuk (Lurah/kepala Desa) yang memahami syariat Islam dan implementasinya. Dan di Aceh para aparatur birokratnya hidup dalam mindstream sekuler-demokrasi, produk pendidikan sekuler yang minus pemahaman akan tata pemerintahan Islam dan prinsip-prinsip birokrasi Islam.
Keempat, Problem kelembagaan juga menjadikan penerapan syariat menjadi sektoral. Syariat di tangani oleh sebuah dinas syariat dipimpin oleh seorang dari eselon IIa, dan hubungan antar dinas dalam ruang lingkup provinsi hanya kordinasi. Ini justru mencerminkan ada upaya pengkerdilan dan mengucilkan syariat.Seharusnya struktur gubernur hingga kebawah adalah dinas syariat itu sendiri, jika benar-benar Islam menjadi ideologi daerah Aceh.
Kelima, problem anggaran juga masih menjadi lagu lama. Minimnya anggaran untuk proyek penerapan syariat akan menganjal otomatis, dan ini tidak sepadan dengan kebijakan anggaran untuk persoalan-persaoalan yang tidak lebih krusial di Aceh. Dulu masih sering terdengar, polisi syariat (Wilayah hisbah) yang sekarang di lebur kedalam Satpol PP tidak bisa menjalankan fungsinya hanya karena anggaran.
Keenam, tantangan gerakan sekulerisasi terselebung dan terang-terangan dikalangan intelektual dan akademisi belum mendapatkan perhatian secara serius. Paska tsunami Aceh menjadi perhatian asing, dan banyak proyek caracter building di desain untuk melahirkan generasi sekuler di Aceh untuk masa mendatang.
Maka kita akan melihat selama 5 tahun mendatang, apakah benar GAM masa lalu yang sekarang bermetamorfosa menjadi PA (Partai Aceh) dan berkuasa pada saat ini betul-betul perjuangannya adalah demi rakyat dan Islam atau sebaliknya demi asing dan kaum opuntunir feodal atas nama “bangsa Aceh”.Wallahu a’lam bisshowab[][al-khilafah.org]
Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Akhirnya Komisi Independen Pemilihan Aceh menetapkan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk periode 2012-2017.Penetapan itu dilakukan dalam sebuah rapat pleno terbuka di gedung DPRA di Banda Aceh, Selasa (17/4). Ini adalah kemenangan kedua kalinya Partai Aceh (PA) dalam laga pemilihan gubernur dan wakil gubernur paska MoU Helsinski.
Zaini dan Muzakir meraup final dukungan 1.327.695 suara( 55,78%). Sementara calon gubernur Irwandi Yusuf hanya mampu mengumpulkan 694.515 suara (29,18%), Muhammad Nazar-Nova Iriansyah mengumpulkan 182.876 suara(7,65%). Dan dua pasang calon Darni M. Daud dan Teungku Ahmad Tajuddin hanya memperoleh masing-masing 96.767 suara (4,07 %) dan 79.330 suara (3,33%). Dari prosentase perolehan suara mengindikasikan rakyat Aceh masih menaruh kepercayaan dan harapan kepada mantan para tokoh GAM untuk mewujudkan impian masyarakat Aceh. Namun fenomena apatisme masyarakat terhadap pesta demokrasi juga terlihat tinggi jika dilihat dari angka golput. Dibandingkan antara total pemilih tetap (3.244.680 orang) dengan jumlah suara yang sah (2.381.183 suara), maka jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak suara (termasuk suara rusak) mencapai 863.497 orang atau 26,6 persen (http://kip-acehprov.go.id). Angka tersebut juga menunjukkan peningkatan jumlah pemilih yang golput jika dibandingkan dengan Pilkada 2006 lalu, jumlah golput di Aceh saat itu mencapai angka 528.196 atau 20,06 persen dari jumlah DPT 2.632.935 orang.
Pilkada kedua paska konflik ini dilaksanakan serentak di 17 Kabupaten/Kota dengan menelan biaya sekitar Rp 202 miliar. Pemerintah Aceh menanggung 40% (Rp 80 miliar), sisanya 60% (Rp 121,2 miliar) ditanggung 17 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada, dengan di ikuti 115 pasangan kandidat.
Di pilkada sebelumnya Partai Aceh menjadi pemenang di 8 kabupaten/kota, dan kali ini (2012) Partai Aceh dengan mengusung 15 pasangan calon dari total 17 kabupaten/kota mampu meraih kemenangan di 6 kabupaten/kota dalam satu putaran dan mengantarkan 4 pasangan calon lainya masuk dalam putaran kedua. Pesta demokrasi di Aceh juga menarik bagi pihak asing dengan hadirnya pemantau dari luar negeri, paling tidak ada 3 yang tercatat di KIP; Asian Network for Free Election (Anfrel), Kedutaan Uni Eropa dan Kedutaan Amerika. Selain itu, ada 15 lembaga lokal dan nasional yang mengawasi Pilkada Aceh.
Visi pemimpin baru Aceh?
Sekilas, seorang Zaini Abdullah adalah bekas Menteri Luar Negeri GAM. Pria kelahiran Sigli, 24 April 1940 itu adalah pengikut pertama deklarator GAM, Tgk Hasan Muhammad di Tiro. Lama menetap di Swedia setelah melarikan diri usai ikut mendeklarasikan GAM di Gunong Halimon Pidie pada 4 Desember 1976. Mengasingkan diri ke salah satu negeri Skandinavia itu karena menjadi buronan kelas kakap aparat keamanan di Indonesia, Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 1972 ini mengabdikan dirinya sebagai dokter pribadi Hasan Tiro. Zaini juga merupakan abang kandung dari Ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah. Di Swedia, tepatnya di Nordsborg, Zaini bekerja sebagai dokter umum. Ia berkali-kali menjadi juru runding ketika Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka duduk satu meja untuk membahas perdamaian di Aceh. Termasuk, perundingan lima tahap yang difasilitasi Presiden Martti Ahtisaari dari Crisis Management Initiative di Helsinki, Finlandia. Pada 15 Agustus 2005, kedua belah pihak mencapai kata sepakat untuk mengakhiri konflik yang menewaskan tak kurang dari 15.000 jiwa. Zaini lantas kembali ke Aceh dan menjadi warga negara Indonesia.
Sementara wakilnya Muzakir Manaf adalah ketua Partai Aceh. Pria kelahiran Aceh Timur, 3 April 1964 dulunya adalah panglima GAM. Jabatan itu disematnya setelah Tengku Abdullah Syafie, panglima GAM pertama meninggal dunia dalam sebuah pertempuran di Jiem-jiem Pidie, pada tahun 2002.
Dalam sidang istimewa di DPR Aceh, 22 Maret, Zaini-Muzakir menyampaikan visi-misi kepemimpinannya untuk Aceh. Zaini menyorot sembilan permasalahan yang dihadapi masyarakat Aceh ke depan, yaitu: belum optimalnya pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki; masih tingginya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; pelaksanaan nilai-nilai dinul Islam di Aceh yang belum maksimal.
Selain itu, Zaini juga menilai angka kemiskinan di Aceh masih tinggi; tingkat pengangguran terbuka juga masih tinggi; keterlibatan swasta dalam pembangunan masih rendah; sektor koperasi dan usaha kecil menengah belum berkembang dengan baik; rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam; dan pertumbuhan ekonomi Aceh yang masih rendah.
Karena itu, jika nanti terpilih, pasangan ini berjanji akan memperbaiki tata kelola pemerintahan Aceh yang amanah melalui implementasi dan penyelesaian turunan UU Pemerintahan Aceh untuk menjaga perdamaian yang abadi.
Kemudian, Zaini berjanji akan menerapkan budaya Aceh dan nilai-nilai Islam di semua sektor masyarakat; memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia; melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi, dan berkelanjutan; mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam.
Zaini berkali-kali menekankan pentingnya menjalankan roda pemerintahan Aceh berlandaskan Undang-undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki. “Ini untuk mewujudkan pelaksanaan pemerintahan Aceh yang efektif dan efisien sebagaimana yang telah dituangkan dalam undang-undang tersebut, guna tercapainya masyarakat Aceh yang mandiri, makmur, dan sejahtera dalam bingkai NKRI,” kata dia. [Pernah dipublikasikan di acehkita.com, 22 Maret 2012]
Dinamika Syariat ditangan pemimpin baru?
Secara politik pasangan Zaini dan Muzakir Manaf memiliki modal dukungan dari rakyat cukup signifikan untuk memimpin Aceh sampai 5 tahun kedepan. Namun disini penulis ingin spesifik mendialogkan bagaimanakah nasib dan prospek syariat paska pilkada dengan kemenangan di tangan mantan para pejuang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) itu?
Apakah pilkada yang telah menelan biaya ratusan miliar ini hanya akan menghasilkan “sopir” baru tanpa bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik? Apakah penguasa baru memiliki kompetensi dan visi untuk membangun Aceh, bukan sekedar artikulasi “syahwat kekuasaan” yang kehilangan substansi amanah kekuasaan.
Point penting, UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kafah di Aceh. Sebelum lahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang huklum keluarga dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya belum sama sekali tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan pijakan penting dalam rangka menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat formalisasi syariát Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah berbagai aturan syariát Islam dapat ditegakkan dalam kehiupan bermasyarakat dan berbangsa. Di dalam Qanun No 11 Tahun 2002 juga ditegaskan ulang tentang pelaksanaan Syariát Islam bidang Akidah, mua’malah, Ibadah, peradilan dan Syiar Islam. Begitu juga di dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai penjabaran dari MoU Helsinki (15 Agustus 2005) ditegaskan dalam Bab XVII Pasal 125; (1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak.(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal lsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Apakah pemimpin baru Aceh (Zaini-Muzakir) mampu menterjemahkan visi-misinya dalam masalah penerapan syariat di Aceh?, fakta empirik ia mendapat dukungan besar rakyat Aceh, dan modal besar adanya regulasi yang bisa menjadi payung artikulasi visinya dalam bidang syariat. Jika benar Zaini-Muzakir punya komitmen terhadap penerapan syariat, maka tinggal revitalisasi semua variabel yang dibutuhkan untuk implementasi syariat. Sadar atau tidak, otonomi khusus yang dimiliki Aceh dengan memberikan legitimasi penerapan syariat secara kafah itu artinya menjadikan Islam sebagai “ideologi” bagi kehidupan sosial politik masyarakat Aceh.
Upaya dilapangan selama ini, penerapan syariat Islam secara kafah di Aceh baru menyentuh pada aspek-aspek ubudiyah, akhwal syakhsiyah dan syi’ar. Tapi belum terlihat maksimal di wilayah yang justru krusial yakni penegakan hukum dengan peradilan Islam dan pengaturan ekonomi yang berkeadilan berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Pada masa pemerintahan Irwandi yang notabene saat itu representasi dari PA (Partai Aceh/mantan GAM) justru mengganjal Qanun Jinazat. Dan selama periode kepemimpinannya produk legislasi dari DPRA dalam bidang syariat baru menyangkut masalah sekunder (khomer dan Khalwat) yang Irwandi tanda-tangani. Syariat Islam menjadi momok bagi Irwandi dengan berbagai dalih, baik pertimbangan ekonomi (investasi asing) maupun paradigm HAM yang hakikatnya tidak relevan dijadikan parameter penilaian implentasi syariat Islam di Aceh dalam berbagai bidangnya.
Stagnasi dinamika penerapan syariat sangat besar kemungkinannya, sekalipun Gubernurnya adalah representasi dari GAM masa lalu. Atau bahkan dengan hampir 10 kepala daerah kabupaten/kota juga dari unsur GAM masa lalu. Berangkat dari pengalaman empirik yang ada, hampir tidak menemukan korelasi atau relevansi antara kedudukan mereka sebagai penguasa dengan progress penerapan syariat yang signifikan. Ditambah lagi titik lemah yang paling krusial, tidak adanya kesiapan dan kematangan konsep dalam diri mereka tentang bangunan politik bagi Aceh dengan menjadikan Islam sebagai pijakan ideologinya.
Harapan tentu ada asalkan pemimpin baru ini mampu meninggalkan jebakan demokrasi; tidak menghabiskan waktu berkuasanya dengan sibuk bagi-bagi kue kekuasaan kepada tim sukses dan penyandang dananya. Tidak menambah deretan “musuh baru” dengan main bongkar pasang birokrasi hanya berdasarkan like and dislike. Bahkan membuang jauh-jauh mental hipokrit sebagai penguasa, keluar dari pakem demokrasi ala kombatan GAM “power to money and money to power”. Berani mengakomodir setiap potensi dari berbagai kalangan yang tervalidasi kepentinganya bukan opuntunir tapi demi Aceh yang bermartabat dengan ideologi Islam. Jika tidak, banyak ruang kosong yang memungkinkan Asing dan para pemodal komprador dengan segala kepentinganya menjadi “supervisi” dari jalanya kehidupan sosial politik masyarakat Aceh melalui para pejabat yang baru.
Ditahun 2013 Aceh direncanakan mendapatkan anggaran dari APBN sebesar Rp 7,5 triliun.Sebuah modal yang cukup besar, jika benar dan tepat pengelolaannya maka akan terhindar dari defisit anggaran seperti halnya kasus dua tahun terakhir di Aceh. Hampir setengah dari kabupaten/kota di provinsi Aceh defisit anggaran dan tidak mampu mengcover biaya operasional pegawai apalagi belanja untuk kepentingan rakyat. Dan problem anggaran ini juga yang pada akhirnya menjadikan proyek penerapan syariat mengalami stagnasi.
Sekalipun gubernur baru dengan paparan visi-misinya seolah terlihat telah mampu memetakan persoalan, tantangan dan hambatan membangun Aceh, namun bagi penulis akan menjadi masghul jika gubernur baru tidak mampu mengeksplorasi kapabilitas Islam sebagai sistem yang dijadikan frame dari semua proses menuju Aceh yang adil dan makmur serta dibawah payung barakah Allah swt. Karena sampai hari ini syariat Islam di Aceh seolah seperti “proyek gagal” yang disengaja oleh tangan-tangan jahat yang tidak menginginkan Islam tegak di Aceh dan menginspiriasi dibelahan NKRI yang lain. Betapa tidak, ada simpul-simpul persoalan hingga kini tidak terurai padahal perkara tersebut adalah variabel pokok yang menjadi sebab langsung atau tidak langsung keberlangsungan syariat bisa tegak atau tidak di Aceh secara kafah. Variabel tersebut antara lain;
Pertama, untuk penerapan syariat Islam di Aceh belum terkonstruksi dalam konsep yang holistic integral serta matang. Ketidaksiapan konsep masih membuka ruang perdebatan tidak berujung.Bahkan bisa membuka peluang masuknya inflitrasi asing untuk melahirkan regulasi (qanun) di Aceh yang ujung-ujungnya Aceh menjadi daerah potensial dan destinasi untuk ketamakan para imperialis.
Kedua, penerapan syariat Islam di Aceh dihadapkan kepada dilema “split sistem” atau “double sistem” ini bisa dilihat dalam ranah peradilan. Islam hendak diterapkan dalam bingkai demokrasi, dan benturan regulasi dengan paradigma yang berbeda secara diametrikal menjadi ganjalan setiap saat. Islam tidak pernah mengejawantah menjadi sistem kehidupan masyarakat Aceh jika hanya menjadi nilai substitusi atau sub sistem dari sistem demokrasi ala NKRI.
Ketiga, penerapan syariat membutuhkan SDM dan aparatur pemerintahan dari tingkat gubernur hingga geciuk (Lurah/kepala Desa) yang memahami syariat Islam dan implementasinya. Dan di Aceh para aparatur birokratnya hidup dalam mindstream sekuler-demokrasi, produk pendidikan sekuler yang minus pemahaman akan tata pemerintahan Islam dan prinsip-prinsip birokrasi Islam.
Keempat, Problem kelembagaan juga menjadikan penerapan syariat menjadi sektoral. Syariat di tangani oleh sebuah dinas syariat dipimpin oleh seorang dari eselon IIa, dan hubungan antar dinas dalam ruang lingkup provinsi hanya kordinasi. Ini justru mencerminkan ada upaya pengkerdilan dan mengucilkan syariat.Seharusnya struktur gubernur hingga kebawah adalah dinas syariat itu sendiri, jika benar-benar Islam menjadi ideologi daerah Aceh.
Kelima, problem anggaran juga masih menjadi lagu lama. Minimnya anggaran untuk proyek penerapan syariat akan menganjal otomatis, dan ini tidak sepadan dengan kebijakan anggaran untuk persoalan-persaoalan yang tidak lebih krusial di Aceh. Dulu masih sering terdengar, polisi syariat (Wilayah hisbah) yang sekarang di lebur kedalam Satpol PP tidak bisa menjalankan fungsinya hanya karena anggaran.
Keenam, tantangan gerakan sekulerisasi terselebung dan terang-terangan dikalangan intelektual dan akademisi belum mendapatkan perhatian secara serius. Paska tsunami Aceh menjadi perhatian asing, dan banyak proyek caracter building di desain untuk melahirkan generasi sekuler di Aceh untuk masa mendatang.
Maka kita akan melihat selama 5 tahun mendatang, apakah benar GAM masa lalu yang sekarang bermetamorfosa menjadi PA (Partai Aceh) dan berkuasa pada saat ini betul-betul perjuangannya adalah demi rakyat dan Islam atau sebaliknya demi asing dan kaum opuntunir feodal atas nama “bangsa Aceh”.Wallahu a’lam bisshowab[][al-khilafah.org]
Tidak ada komentar