Agenda Terselubung Kedatangan Kapal Perang AS di Tanjung Perak
“Agenda Terselubung Kedatangan Kapal Perang US Navy di Tanjung Perak”
Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jatim)
Tiga kapal perang AS (US CG WAESCHE, US Navy USS Vandegrift FFG-48 dan
USS GPN LSD 42) akan merapat dan bersandar di Dermaga Jamrud Utara, Pelabuhan
Tanjung Perak, Surabaya. Pihak TNI-AL
sudah sibuk menyambut kedatangannya. Kedatangan kapal perang AS dijadwalkan
hadir 28 Mei – 6 Juni 2012.
Terkait kedatangan
kapal perang AS terdapat berbagai persoalan antara yang pro dan kontra. Pihak
yang dibuat tidak setuju adalah pengusaha laut yang ada di Tanjung Perak. Hal
ini sebagaimana yang dilansir beberapa media on line. Menurut Ketua DPC INSA (Indonesia National Ship-owner Asociation) Surabaya
Steven H Lasawengen, sandarnya tiga kapal perang AS dalam waktu cukup lama,
bisa mengganggu arus bongkar muat barang di Pelabuhan Tanjung Perak. Selain itu
jika dihitung kasar, kerugian logistik dari terhambatnya arus bongkar muat
barang bisa mencapai US$ 4,5 juta dan menimbulkan dampak biaya ekonomi
tinggi. (www.suarapembaharuan.com,4/5/2012)
Peryataan keberatan
dari pengusaha tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari TNI-AL. Pihak TNI-AL
berharap Kapal perang dari negeri Paman Sam itu bersandar selama 2 hari dan
melanjutkan kegiatan bakti sosial (baksos) dan latihan bersama dengan TNI AL.
"Kami meluruskan, bahwa itu tidak benar 10 hari standby di sana (Dermaga
Jamrud). Paling hanya 2-3 hari di sana, karena ada kegiatan di laut (Latihan
bersama TNI AL-US Navy)," kata Kadispen Armatim Letkol (Laut) Yayan
Sugiyana, Rabu (detiksurabaya.com,16/5/2012).
Gubernur Jatim, Soekarwo juga
menyetujui kedatangan kapal perang US Navy. Pada prinsipnya, Pakde Karwo kepada
wartawan di gedung negara Grahadi Surabaya, Selasa (15/5/2012) mengatakan,
tidak menjadi permasalahan jika kapal perang AS bersandar di Pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya. "Ya rundingan, daripada para pengusaha itu teriak-teriak.
Kalau menolak kapal perang Amerika sandar itu tak bisa, sebab pelabuhan Tanjung
Perak itu bukan hanya untuk kapal niaga, tetapi juga angkatan perang,"
tegasnya. Pakde Karwo juga mempertanyakan letak kerugiannya. Padahal biasanya
kapal perang itu tidak sandar di dermaga bongkar muat barang,
(www.beritajatim.com )
Pihak Amerika Serikat
(AS) tidak tinggal diam. AS yang diwakili Konsulat Jenderal AS di Surabaya
menegaskan bahwa kapal perang milik Angkatan Laut (AL) AS yang sandar di
Dermaga Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, bukanlah keinginan AS, melainkan
atas undangan militer Indonesia. Akan diadakan juga latihan militer
bersama dengan sandi CARAT (Cooperation
of Afloat Readiness and Training). Selain itu juga akan mengadakan bakti
sosial bersama. (www.republika.co.id, 17/5/2012).
Berlepas dari pro dan
kontra antara pengusaha dengan TNI AL yang saat ini sedang dibahas win-win
solution. Ada hal yang menarik dicermati dan dikaji lebih mendalam yaitu
bentuk kerjasama US Navy dan TNI-AL sebagai bagian kerjasama dengan RI dengan AS. Jika memang pengusaha merasa dirugikan
karena menggangu aktifitas bisnis yang hanya beberapa hari. Maka ada kerugian
besar yang harus ditanggung negeri ini, yaitu penjajahan militer dan hegemoni
AS di dunia muslim. Selain itu juga akan mengokohkan pengaruh AS di Asia
Pasifik termasuk di Indonesia.
Misi Militer AS di Asia Pasifik
Situs resmi US Navy (www.navy.mil) merilis “Blue
Ridge Builds Friendship with Indonesia 15/5/2012 NNS120515-03” menjelaskan
bahwa Armada USS Blue Ridge ditugaskan untuk Armada Pasifik antiterorisme dan
membina hubungan positif dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Selain itu juga ada bakti sosial dan interaksi dengan
warga Indonesia.
Rilis yang lain (USNS
Mercy Deploying for Pacific Partnership 2012 'Preparing in Calm to Respond in
Crisis' 26/4/2012 NNS120426-16) menjelaskan beberapa agenda untuk
memperkuat hubungan AS dan negara yang dikunjungi. Hubungan juga dilakukan
dengan bidang militer, organisasi, dan LSM yang ada di negara tersebut. Tujuan
pentingnya adalah untuk mengatasi krisis dan bencana alam.
Sesungguhnya berbagai
bentuk kebijakan US Navy berupa—bakti sosial, kerjasama militer, bentuan medis,
latihan bersama—tidak terlepas dari misinya. “The mission of the Navy is to
maintain, train and equip combat-ready Naval forces capable of winning wars,
deterring aggression and maintaining freedom of the seas.” (misi
Angkatan Laut adalah untuk memelihara, melatih dan melengkapi siap-tempur
Angkatan Laut sehingga mampu memenangkan perang, menghalangi agresi dan
memelihara kebebasan lautan (www.navy.mil)).
Jika
TNI-AL tetap berambisi melakukan latihan militer dengan US Navy yang dibungkus
dengan kegiatan kemanusiaan. Apalagi alasan TNI-AL untuk meningkatkan kemampuan
dan kemandirian dalam menjaga wilayah Indonesia. Maka ambisi dan alasan itu
sulit diterima akal. Pasalnya militer AS mempunyai tugas pokok melakukan operasi militer
seberang lautan untuk menjaga kepentingan AS di luar wilayah negerinya.
Wilayah Asia-Pasifik khususnya Indonesia
merupakan wilayah strategis. Indonesia dengan wilayah lautan dan
berpulau-pulau, serta jumlah penduduk yang banyak. AS tidak ingin Indonesia
jatuh dalam hegemoni China. Ketakutan AS ini wajar. Hal itu dikarenakan ada kebangkitan
dan agresivitas militer China. China telah
mengklaim kedaulatannya atas Laut China
Selatan.
Peningkatan kekuatan AS di
Asia-Pasifik mulai dilakukan belakangan setelah menyusutnya belanja militer AS
sebesar US$487 miliar dan pengurangan gelar pasukan di Eropa dan Timur-Tengah,
yang mulai mengalami transisi demokratis. Menurunnya belanja militer AS membuat
para pengambil keputusan memberikan prioritas tinggi bagi kawasan di mana
kepentingan AS terancam. Istilah smart power pun dipakai sebagai bagian
dari peningkatan kekuatan militer AS di Asia-Pasifik.
Obama sebagai pemimpin tertinggi
militer AS belajar dari pengalaman AS pasca-PD II yang mementingkan pre-emptive
strike, untuk menghancurkan kekuatan musuh di sarangnya sebelum ia dapat
menyerang kepentingan AS di mana-mana. Serangan militer Jepang di Pearl Harbour
dan aksi terorisme 9/11 telah mengubah sikap para pengambil keputusan di AS.
Sehingga, strategi pertahanan AS ada di luar wilayahnya, dan perlu pangkalan
militer dan gelar pasukan seperti di Jepang dan Korsel, selain Guam dan
Singapura untuk perawatan kapal-kapal perang yang melayani kepentingan AS di
Asia-Pasifik. Sedangkan gelar pasukan dengan mobilitas tinggi dilakukan melalui
operasi kapal induk yang memuat pasukan dan senjata tempur canggih militer AS
secara masif.
Kesungguhan AS untuk Asia Pasifik
dibuktikan dengan menempatkan pasukan marinir di Pangkalan Militer AS, Darwin
Australia. Sekitar 200-250 marinir AS akan mulai ditempatkan pada pertengahan
tahun 2012 hingga tahun 2016, total 2.500 marinir AS akan ditempatkan di sana.
Saat ini memang AS fokus pada
Asia-Pasifik setelah adanya pengurangan dana militer dan kekalahan di Irak,
Afghanistan, dan negeri lainnya. Untuk itulah AS mencoba cara baru di
Indonesia. Indonesia yang memang secara politik mengekor pada AS tidak ingin
kehilangan kepercayaannya dari tuannya. Indonesia sebetulnya sudah bersiap diri
untuk membantu pendirian pangkalan Militer AS. Sementara itu, militer Indonesia
secara kekuatan pasukan, dana, dan persenjataan mengalami penurunan. Ketiadaan
pemerintah pada perhatian militer inilah yang menyebabkan militer mencoba
caranya sendiri. Caranya dengan bekerjasama secara militer baik dalam latihan
bersama militer asing, maupun bertukar data-informasi, pengiriman pelajar
militer dan bantuan dana. Hal ini sangat berbahaya untuk kedaulatan Indonesia.
Misi
militer AS di Asia Pasifik berdampak bagi kepentingan ekonominya. Jika dicermati dari sisi kepentingan ekonomi
ini sebagian besar kekayaan AS bergantung pada perusahaan-perusahaan multi
nasional yang menyebar di kawasan ini, seperti di antaranya; industri
manufaktur (Ford, General Motors, Honeyway, Intel dan lainnya), departement
stores (K-Mart, JC Penney, Federal Dep Stores), energi (Exxon Mobil, Unocal,
Freeport, Newmont Mining, Eron, dan lainnya), industri jasa (UPS, FedEx,
American International Groups, Citigroup, kelompok pebisnis hotel, dan
lainnya). Pada intinya misi militer AS di Indonesia untuk mengamankan
aset-asetnya.
Untung-Rugi
Kerjasama Militer
Negara super-power (AS dan sekutunya) selain menggunakan politik
dan ekonomi juga menggunakan militer untuk menjajah suatu negeri. Penjajah
militer yang nyata merupakan bentuk hard power jika negara tidak bersedia tunduk pada kepentingan AS. Hal itu
ditunjukan di Afghanistan, Irak, dan negeri lainnya. Negara itu hancur dan
porak poranda.
Penjajahan militer AS
di Indonesia terlihat dari embargo yang dilakukannya. Embargo ini dimaksudkan
untuk memperlemah militer secara persenjataan. Baru beberapa kali ini saja AS
membuka diri melihat ada kepentingan di Indonesia. Kepentingan ini erat
kaitannya dengan ekonomi AS. Kehancuran ekonomi AS karena bawaan sistem ekonomi
kapitalisnya. Selain itu pula AS telah melakukan Comprehensip-Partnership 2011 ketika Obama datang pertama kali di Indonesia.
Kerjasama dalam semua sektor yang sesungguhnya semakin mengokohkan hegemoni
penjajahan di Indonesia.
Kalaupun TNI AL
berkeinginan meningkatkan skill pasukan dan menyontoh keahlian militer
AS, sungguh berakibat fatal. Hal ini menunjukkan kekalahan militer Indonesia.
Akibatnya akan mudah dipengaruhi dan diintervensi. Unsur ekonomi juga ada
terkait dengan penjualan perangkat militer dan persenjataan perang. Maka ada
dua keuntungan yang akan didapat AS secara ekonomi-militer. Militer Indonesia
tunduk pada kepentingannya dan AS dengan mudah menjual persenjataan militer ke
Indonesia. Karena AS tahu jika Indonesia juga berkerjasama dengan Rusia dan
dijadikan pangsa pasar ekonomi China.
Kehadiran militer AS
dan kerjasama dengannya menunjukkan bangsa ini sebagai inlander
(terjajah). Beberapa kali ketika melakukan latihan perang militer Indonesia
tidak dapat mengimbangi militer AS. Hal yang perlu diingat adalah peralatan
militer yang tidak sebanding. Lihatlah saja ketika dulu Obama datang di
Indonesia, militer AS senantiasa mengawal baik darat, udara, maupun laut.
Kecongkaan dan kesombongan militer AS menginjak kedaulatan Indonesia. Militer
Indonesia merasa tak berdaya walaupun sebagai tuan rumah. Dengan seenaknya
sendiri militer AS tidak menghormati sama sekali militer Indonesia.
Walaupun saat ini
dengan wajah manis datang dengan tiga kapal perang tentu ada agenda
terselubung. Hal yang patut dicatat bahwa politik militer AS selaras dengan
politik luar negeri AS. Politik luar negeri AS yaitu hegemoni dan pengamanan
kepentingan di negara lain.
Ada fakta menarik terkait penjajahan militer AS yang disampaikan Frida
Berrigan (Associate at the World Policy Institute's Arms Trade Resource Center.
Sumber http://www.commondreams.org/views05/0218-32.htm). Tulisannya berjudul “After
the Tsunami: Military Aid For Indonesia?”. Penjelasannya ada beberapa
point: pertama, peristiwa Tsunami di Aceh dijadikan sebagai pemulihan
hubungan militer Indonesia-AS. Kedua, jangka waktu yang lama AS dengan
sekutu, menjadikan Indonesia telah berada di bawah embargo militer selama lebih
dari satu dekade karena track record kebrutalan militer dari represi dan
pelanggaran HAM. Setelah serangan 11 September, Jakarta berjanji untuk
bekerjasama dalam perang melawan terorisme. Pemerintahan Bush berusaha untuk
memulihkan hubungan militer sebagai hadiah. Ketiga, Dalam
tanggapan tertulis atas pertanyaan dari Senator Joe Biden selama sidang
konfirmasi nya, Condoleezza Rice, mengatakan bahwa pelatihan militer bagi
tentara Indonesia adalah demi kepentingan AS. Laksamana Thomas Fargo, yang
memimpin Komando Pasifik, sedang mencari persetujuan Pentagon. untuk meningkatkan sejumlah konferensi antara perintah
dan perwira militer Indonesia tentang hubungan sipil-militer, lembaga
demokratis dan pelatihan senjata tidak mematikan.
Sementara itu, pemerintahan Obama
menjadikan Aceh sebagai strategis untuk menempatkan kapal perang AS di selat
Malaka dan dapat dengan cepat bergerak menuju Laut Cina Selatan untuk
melindungi kepentingannya. Hal ini sangat mungkin terjadi, setelah melihat
perkembangan Aceh terkini dimana menjelang pemilukada Aceh yang lalu, AS
melalui kedutaannya telah mengutusVincent Cooper, Asisten Keamanan Regional AS
yang juga merupakan anggota CIA dengan menunjukkan perhatian khusus kepada
salah satu kandidat Gubernur asal Partai Aceh yang memang akhirnya memenangkan
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Kalau memang tidak ada maksud
tertentu, kenapa hanya kandidat dari Partai Aceh yang menerima kunjungan
tersebut? Demikian pula setelah kemenangan pasangan ZIKIR, road show
dilakukan oleh Gubernur dan Pemangku Wali ke kedutaan-kedutaan besar di
Jakarta.Salah satunya Kedutaan AS. Apakah pemimpin terpilih Aceh nantinya akan
menjadi “corong-corong” kepentingan yang dibawa oleh AS yang gemar memberikan
buaian mimpi kekayaan dan kekuasaan?
Oleh karena itu tidak ada keuntungan sama sekali kerja sama dalam aspek
militer. Karena akan merugikan Indonesia dan membuat ketergantungan pada
militer AS. Jika militer Indonesia mempunyai niatan baik. Maka militer bisa
mandiri dan berdaulat tidak mengekor pada asing. Pada faktanya nanti juga
dijadikan kambing hitam. Bahkan yang lebih naif lagi perpecahan wilayah
Indonesia dan penjajahan sistemik oleh AS.
Kedaulatan Militer dan Polugri Islam
Kerja sama militer ini patut ditanggapi dan dilihat dari sudut pandang
Syariah. Islam sebagai sebuah sistem telah mengatur hubungan militer dan
kebijakan politik luar negeri. AS dalam pandagan syariah merupakan negara kafir
harbi fi’lan (kafir yang nyata memerangi kaum muslim). Maka apa pun bentuk
kerjasamanya baik militer, politik, maupun kemanusiaan harus ditolak. Tidak
layak Indonesia bergembira menyambut kedatangan US Navy yang seharusnya menjadi
lawan tempurnya. Bukan malah dijadikan lawan dalam latihan biasa. Selayaknya US
Navy dibombardir dan dihancurkan. Tidakkah bangsa Indonesia melihat saudara
mereka—Afghanista, Irak. Libiya, dll—diinvasi militer AS. Tiga kapal perang US
Navy merupakan kapal perang pengangkut persenjataan yang digunakan membunuh
kaum muslim di kawasan Timur Tengah.
Selayaknya Indonesia berdaulat dalam militer secara syariah. Syariah
menjelaskan pengaturan militer dalam Departemen Peperangan dan namanya
berhubungan dengan perang dan pertempuran. Departemen Peperangan menyiapkan
pasukan dan pelatihan, baik fisik maupun teknik yang mencakup teknik
menggunakan senjata. Pelatihan ini berkembang seiring berkembannya
persenjataan. Karena itu, kajian enginering dan kemiliteran adalah suatu
keharusan. Latihan dengan berbagai teknik perang dan berbagai persenjataan
termasuk hal yang sangat penting (Struktur Negara Khilafah Bab Amirul Jihad).
Kemandirian dan
kedaulatan bidang militer ini didukung dengan politik luar negeri yang kuat.
Islam melarang menampakan loyalitas dan kerjasama lebih-lebih pada negara kafir
harbi fi’lan (AS, Australia, dan sekutunya).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ
خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا
تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُون
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar
kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan
bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar
lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya”. (Ali Imron: 118)
Tidak ada komentar