Grasi Corby Peredaran Narkoba Makin Menggila
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi lima tahun kepada
Schapelle Leigh Corby (34 th) warga Australia narapidana narkoba di LP
Kerobokan Bali. Corby dihukum 20 tahun karena terbukti menyelundupkan
ganja seberat 4,2 kilogram ke Indonesia melalui Bandar Udara
Internasional, Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004. Pemberian grasi
kepada Corby itu, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 22/G Tahun
2012 tanggal 15 Mei 2012. Hukuman Corby pun berkurang dari 20 tahun
penjara menjadi 15 tahun (180 bulan) penjara.
Corby sebelumnya juga telah mendapat sejumlah remisi (pengurangan
masa menjalani pidana), totalnya 25 bulan (2 tahun 1 bulan). Dengan
semua grasi dan remisi itu masa hukuman Corby menyusut dari vonis awal
yang 20 tahun (240 bulan) menjadi 155 bulan (12 tahun 11 bulan).
Sesuai KUHP, seorang narapidana bisa mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) setelah menjalani 2/3 masa hukumannya. Artinya, Corby bisa mendapat PB setelah menjalani hukuman 103 bulan. Saat ini Corby telah menjalani hukuman 91 bulan (7 tahun 7 bulan). Karena itu Corby mungkin menghirup udara bebas sekitar delapan bulan lagi.
Melemahkan Pemberantasan Narkoba
Meski Presiden memiliki hak memberikan grasi, tak sepantasnya hak itu digunakan untuk terpidana narkoba. Langkah itu justru menunjukkan pemerintah tidak konsisten. Sebab sebelumnya pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM membuat kebijakan pengetatan remisi bagi narapidana kasus terorisme, narkoba dan korupsi.
Grasi Corby itu membuka celah bagi keringanan hukuman bagi narapidana narkoba lainnya. Julian Mc Mahon pengacara the Bali Nine (julukan sembilan warga Australia yang tertangkap menyelundupkan 8,2 kg heroin pada 17 April 2005) seperti dikutip laman The Sydney Morning Herald (24/5) menilai, grasi Corby itu membuka celah baru untuk mengurangi masa tahanan kliennya. Menurutnya, Presiden SBY sebelumnya tegas tidak mau memberi grasi kepada pengedar narkoba, “sekarang dia memberi grasi. Ini menunjukkan fleksibilitas” (lihat, vivanews.com, 25/5).
Hukuman bagi pengedar narkoba masih dinilai ringan. Yang dihukum pun masih bisa mendapat remisi hingga beberapa kali. Bahkan yang divonis hukuman mati sekalipun bisa mendapat keringanan hukuman. Dari 57 terpidana mati kasus narkoba, Mabes Polri mendapati 7 (tujuh) diantaranya mendapatkan keringanan. Semua itu masih ditambah lagi dengan ketentuan pembebasan bersyarat jika telah menjalani 2/3 masa hukuman. Akhirnya, tak jarang narapidana cukup menjalani hukuman setengah dari masa hukuman vonis pengadilan.
Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek jera itu makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Disitulah terlihat pemberian grasi itu kontraproduktif. Wajar saja jika pemberian grasi itu dinilai bisa melemahkan pemberantasan narkoba.
Pemberantasan kejahatan narkoba mestinya digencarkan. Sebab Indonesia terus menjadi incaran sindikat narkoba sehingga jumlah kasus narkoba terus meningkat. Jumlah kasus yang ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2010 ada 61 kasus dengan 65 tersangka. Tahun 2011 naik menjadi 97 kasus narkoba dengan 159 tersangka. Uang yang beredar dari kejahatan narkoba pada tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 48 triliun (lihat, kompas, 25/5). Sementara itu menurut Kalakhar BNN Komjen Pol Gories Mere sesuai data gabungan dengan Polri, jumlah kasus narkoba yang diungkap tahun 2011 sebanyak 26.560 dengan tersangka 32.876 orang (news.detik.com, 27/12/2011).
Mengerikannya, kejahatan narkoba bahkan juga mengancam anak-anak. Menurut data BNN, pada tahun 2011 terdapat 959 siswa SD yang mengonsumsi narkoba, meningkat dari tahun 2010 yang berjumlah 897 kasus. Sementara di kalangan siswa SMP mencapai 1.345 kasus dan siswa SMU sebanyak 3.187 pelajar (republika, 27/5).
Karena itu masyarakat pantas makin khawatir kejahatan narkoba akan makin menggila pasca keluarnya grasi untuk Corby. Apalagi, belum lama setelah pemberian grasi untuk Corby itu, BNN pada tanggal 28/5 mengumumkan telah membongkar sindikat penyelundupan 1.412.476 (hampir 1,5 juta) butir pil ekstasi di pelabuhan Tanjung Priok. Pada hari yang sama, petugas Bea dan Cukai Ngurah Rai Bali menggagalkan upaya penyelundupan kokain seberat 4,791 kg (ditaksir nilainya hampir Rp 24 miliar) oleh seorang warga negara Inggris, Lindsay June Sandiford, 56 (lihat, mediaindonesia.com, 29/5).
Islam Membasmi Kejahatan Narkoba
Memberantas kejahatan narkoba harus dilakukan dengan membongkar landasan hidup masyarakat yang rusak dan menggantikannya dengan yang benar yaitu dengan menanamkan akidah Islam. Sehingga orang takut melakukan kejahatan karena takut akan siksa dan mengharap keridhaan Allah di akhirat. Berikutnya, negara wajib memupuk keimanan dan membina ketakwaan masyarakat. Kuncinya adalah penerapan sistem Islam secara total.
Ketika Sistem Islam diterapkan hanya orang yang pengaruh imannya lemah atau terpedaya oleh setan yang akan melakukan dosa atau kriminal, termasuk kejahatan narkoba. Jika pun demikian, maka peluang untuk itu dipersempit atau bahkan ditutup oleh Syariah Islam melalui penerapan sistem pidana dan sanksi dimana sanksi hukum bisa membuat jera dan mencegah dilakukannya kejahatan.
Islam melarang dan mengharamkan narkoba. Ummu Salamah menuturkan:
Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Al-‘Iraqi dan Ibn Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ganja (lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi. 1379).
Mengkonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan kriminal yang termasuk jenis ta’zir, dimana bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi. Sanksinya bisa dalam bentuk diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Dalam konteks hukuman ta’zir, saat kasus itu diproses maka Khalifah boleh meringankan hukuman bagi pelakunya bahkan memaafkannya. Rasul saw bersabda:
Ringankan hukuman orang yang tergelincir melakukan kesalahan kecuali hudud (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Bukhari di Adab al-Mufrad)
Maksud ‘aqâla ‘atsarah adalah membantu orang yang tergelincir melakukan kesalahan dengan memaafkan atau meringankan hukumannya. Dalam hal ini di Subulus Salam (hadits no 1174) dinyatakan, “seruan ini adalah untuk Imam sebab kepada imamlah diserahkan (penentuan sanksi) ta’zir sesuai keumuman wewenangnya. Maka imam wajib berijtihad dalam memilih yang paling baik karena hal itu berbeda-beda sesuai perbedaan tingkat masyarakat dan perbedaan kemaksiyatan.” Adapun Qadhi (Hakim) maka ia tidak boleh meringankan sanksi lebih dari apa yang diadopsi oleh Khalifah. Semua itu sebelum vonis dijatuhkan.
Sanksi yang ringan ini bisa diberikan kepada orang yang tergelincir hingga mengkonsumsi narkoba untuk pertama kalinya, selain bahwa ia harus diobati dan ikut program rehabilitasi. Bagi pecandu yang berulang-ulang mengkonsumsi narkoba, sanksinya bisa lebih berat lagi, tentu selain harus menjalani pengobatan dan ikut program rehabilitasi. Sedangkan bagi pengedar narkoba, tentu mereka tidak layak mendapat keringanan hukuman, sebab selain melakukan kejahatan narkoba ini, mereka juga melakukan kejahatan membahayakan masyarakat. Bahkan demi kemaslahatan umat, maka para pengedar narkoba harus dijatuhi hukuman yang berat, bisa sampai hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera.
Adapun jika vonis telah dijatuhkan, syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. Ii. 1990) menyatakan, pemaafan atau pengurangan hukuman oleh Imam itu tidak boleh. Beliau menyatakan, “sedangkan untuk ta’zir dan mukhalafat, karena vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan maka telah mengikat seluruh kaum muslim sehingga tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah atau diringankan ataupun yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ducapkan oleh Qadhi maka tidak bisa diangkat sama sekali, sementara pemaafan itu adalah pembatalan vonis (sebagian atau total) dan karena itu tidak boleh’.
Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama dari waktu kejahatan dan dijatuhkannya vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina (lihat QS an-Nur[24]: 2). Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejatahan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Maka dengan itu kejahatan penyalahgunaan narkoba akan bisa diselesaikan tuntas melalui penerapan syariah Islam.
Wahai Kaum Muslim
Pemberantasan kejahatan narkoba hampir mustahil diharapkan bisa dilakukan dalam sistem saat ini. Pemberian grasi untuk Corby adalah buktinya. Itu artinya, kejahatan narkoba akan terus mengancam masyarakat khususnya generasi muda harapan umat.
Kejahatan narkoba itu hanya bisa dibasmi ketika syariah Islam diterapkan secara total dan sempurna dalam institusi negara. Untuk mewujudkan mimpi masyarakat bebas narkoba dan sebagai bukti keimanan kita, saatnya melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan syariah dalam bingkai al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam
Sengketa lahan yang dapat berujung ada konflik sosial, bukan persoalan baru. Namun sengketa itu cenderung dibiarkan, tanpa penyelesaian yang berarti. Rakyat tetap tersisihkan. (Kompas, 29/5)
Komentar :
Sesuai KUHP, seorang narapidana bisa mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) setelah menjalani 2/3 masa hukumannya. Artinya, Corby bisa mendapat PB setelah menjalani hukuman 103 bulan. Saat ini Corby telah menjalani hukuman 91 bulan (7 tahun 7 bulan). Karena itu Corby mungkin menghirup udara bebas sekitar delapan bulan lagi.
Melemahkan Pemberantasan Narkoba
Meski Presiden memiliki hak memberikan grasi, tak sepantasnya hak itu digunakan untuk terpidana narkoba. Langkah itu justru menunjukkan pemerintah tidak konsisten. Sebab sebelumnya pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM membuat kebijakan pengetatan remisi bagi narapidana kasus terorisme, narkoba dan korupsi.
Grasi Corby itu membuka celah bagi keringanan hukuman bagi narapidana narkoba lainnya. Julian Mc Mahon pengacara the Bali Nine (julukan sembilan warga Australia yang tertangkap menyelundupkan 8,2 kg heroin pada 17 April 2005) seperti dikutip laman The Sydney Morning Herald (24/5) menilai, grasi Corby itu membuka celah baru untuk mengurangi masa tahanan kliennya. Menurutnya, Presiden SBY sebelumnya tegas tidak mau memberi grasi kepada pengedar narkoba, “sekarang dia memberi grasi. Ini menunjukkan fleksibilitas” (lihat, vivanews.com, 25/5).
Hukuman bagi pengedar narkoba masih dinilai ringan. Yang dihukum pun masih bisa mendapat remisi hingga beberapa kali. Bahkan yang divonis hukuman mati sekalipun bisa mendapat keringanan hukuman. Dari 57 terpidana mati kasus narkoba, Mabes Polri mendapati 7 (tujuh) diantaranya mendapatkan keringanan. Semua itu masih ditambah lagi dengan ketentuan pembebasan bersyarat jika telah menjalani 2/3 masa hukuman. Akhirnya, tak jarang narapidana cukup menjalani hukuman setengah dari masa hukuman vonis pengadilan.
Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek jera itu makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Disitulah terlihat pemberian grasi itu kontraproduktif. Wajar saja jika pemberian grasi itu dinilai bisa melemahkan pemberantasan narkoba.
Pemberantasan kejahatan narkoba mestinya digencarkan. Sebab Indonesia terus menjadi incaran sindikat narkoba sehingga jumlah kasus narkoba terus meningkat. Jumlah kasus yang ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2010 ada 61 kasus dengan 65 tersangka. Tahun 2011 naik menjadi 97 kasus narkoba dengan 159 tersangka. Uang yang beredar dari kejahatan narkoba pada tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 48 triliun (lihat, kompas, 25/5). Sementara itu menurut Kalakhar BNN Komjen Pol Gories Mere sesuai data gabungan dengan Polri, jumlah kasus narkoba yang diungkap tahun 2011 sebanyak 26.560 dengan tersangka 32.876 orang (news.detik.com, 27/12/2011).
Mengerikannya, kejahatan narkoba bahkan juga mengancam anak-anak. Menurut data BNN, pada tahun 2011 terdapat 959 siswa SD yang mengonsumsi narkoba, meningkat dari tahun 2010 yang berjumlah 897 kasus. Sementara di kalangan siswa SMP mencapai 1.345 kasus dan siswa SMU sebanyak 3.187 pelajar (republika, 27/5).
Karena itu masyarakat pantas makin khawatir kejahatan narkoba akan makin menggila pasca keluarnya grasi untuk Corby. Apalagi, belum lama setelah pemberian grasi untuk Corby itu, BNN pada tanggal 28/5 mengumumkan telah membongkar sindikat penyelundupan 1.412.476 (hampir 1,5 juta) butir pil ekstasi di pelabuhan Tanjung Priok. Pada hari yang sama, petugas Bea dan Cukai Ngurah Rai Bali menggagalkan upaya penyelundupan kokain seberat 4,791 kg (ditaksir nilainya hampir Rp 24 miliar) oleh seorang warga negara Inggris, Lindsay June Sandiford, 56 (lihat, mediaindonesia.com, 29/5).
Islam Membasmi Kejahatan Narkoba
Memberantas kejahatan narkoba harus dilakukan dengan membongkar landasan hidup masyarakat yang rusak dan menggantikannya dengan yang benar yaitu dengan menanamkan akidah Islam. Sehingga orang takut melakukan kejahatan karena takut akan siksa dan mengharap keridhaan Allah di akhirat. Berikutnya, negara wajib memupuk keimanan dan membina ketakwaan masyarakat. Kuncinya adalah penerapan sistem Islam secara total.
Ketika Sistem Islam diterapkan hanya orang yang pengaruh imannya lemah atau terpedaya oleh setan yang akan melakukan dosa atau kriminal, termasuk kejahatan narkoba. Jika pun demikian, maka peluang untuk itu dipersempit atau bahkan ditutup oleh Syariah Islam melalui penerapan sistem pidana dan sanksi dimana sanksi hukum bisa membuat jera dan mencegah dilakukannya kejahatan.
Islam melarang dan mengharamkan narkoba. Ummu Salamah menuturkan:
« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ»
Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Al-‘Iraqi dan Ibn Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ganja (lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi. 1379).
Mengkonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan kriminal yang termasuk jenis ta’zir, dimana bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi. Sanksinya bisa dalam bentuk diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Dalam konteks hukuman ta’zir, saat kasus itu diproses maka Khalifah boleh meringankan hukuman bagi pelakunya bahkan memaafkannya. Rasul saw bersabda:
« أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إلَّا الْحُدُودَ »
Ringankan hukuman orang yang tergelincir melakukan kesalahan kecuali hudud (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Bukhari di Adab al-Mufrad)
Maksud ‘aqâla ‘atsarah adalah membantu orang yang tergelincir melakukan kesalahan dengan memaafkan atau meringankan hukumannya. Dalam hal ini di Subulus Salam (hadits no 1174) dinyatakan, “seruan ini adalah untuk Imam sebab kepada imamlah diserahkan (penentuan sanksi) ta’zir sesuai keumuman wewenangnya. Maka imam wajib berijtihad dalam memilih yang paling baik karena hal itu berbeda-beda sesuai perbedaan tingkat masyarakat dan perbedaan kemaksiyatan.” Adapun Qadhi (Hakim) maka ia tidak boleh meringankan sanksi lebih dari apa yang diadopsi oleh Khalifah. Semua itu sebelum vonis dijatuhkan.
Sanksi yang ringan ini bisa diberikan kepada orang yang tergelincir hingga mengkonsumsi narkoba untuk pertama kalinya, selain bahwa ia harus diobati dan ikut program rehabilitasi. Bagi pecandu yang berulang-ulang mengkonsumsi narkoba, sanksinya bisa lebih berat lagi, tentu selain harus menjalani pengobatan dan ikut program rehabilitasi. Sedangkan bagi pengedar narkoba, tentu mereka tidak layak mendapat keringanan hukuman, sebab selain melakukan kejahatan narkoba ini, mereka juga melakukan kejahatan membahayakan masyarakat. Bahkan demi kemaslahatan umat, maka para pengedar narkoba harus dijatuhi hukuman yang berat, bisa sampai hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera.
Adapun jika vonis telah dijatuhkan, syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. Ii. 1990) menyatakan, pemaafan atau pengurangan hukuman oleh Imam itu tidak boleh. Beliau menyatakan, “sedangkan untuk ta’zir dan mukhalafat, karena vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan maka telah mengikat seluruh kaum muslim sehingga tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah atau diringankan ataupun yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ducapkan oleh Qadhi maka tidak bisa diangkat sama sekali, sementara pemaafan itu adalah pembatalan vonis (sebagian atau total) dan karena itu tidak boleh’.
Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama dari waktu kejahatan dan dijatuhkannya vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina (lihat QS an-Nur[24]: 2). Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejatahan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Maka dengan itu kejahatan penyalahgunaan narkoba akan bisa diselesaikan tuntas melalui penerapan syariah Islam.
Wahai Kaum Muslim
Pemberantasan kejahatan narkoba hampir mustahil diharapkan bisa dilakukan dalam sistem saat ini. Pemberian grasi untuk Corby adalah buktinya. Itu artinya, kejahatan narkoba akan terus mengancam masyarakat khususnya generasi muda harapan umat.
Kejahatan narkoba itu hanya bisa dibasmi ketika syariah Islam diterapkan secara total dan sempurna dalam institusi negara. Untuk mewujudkan mimpi masyarakat bebas narkoba dan sebagai bukti keimanan kita, saatnya melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan syariah dalam bingkai al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam
Sengketa lahan yang dapat berujung ada konflik sosial, bukan persoalan baru. Namun sengketa itu cenderung dibiarkan, tanpa penyelesaian yang berarti. Rakyat tetap tersisihkan. (Kompas, 29/5)
Komentar :
- Sebab mendasarnya adalah penerapan sistem kapitalisme demokrasi. Kepentingan kapitalis dan modal lebih diutamakan.
- Selama sistem ini masih diterapkan, sengketa lahan sulit diselesaikan dan rakyat akan tetap tersisihkan.
- Sengketa lahan hanya bisa diselesaikan dengan penerapan Syariah Islam secara total dan sempurna khususnya hukum syara’ tentang pertanahan. Wujudkan keadilan melalui penarapan syariah dalam bingkai al-Khilafah.
Tidak ada komentar