MS Ka’ban : Mendagri terjebak opini Islamophobia
Mantan menteri kehutanan, MS Ka’ban menilai penolakan Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi terhadap peraturan daerah (Perda)
kewajiban memakai jilbab bagi Muslimah di Kota tasikmalaya sebagai sikap
yang keliru dan terjebak dengan wacana yang membenci Islam.
“Mendagri keblinger, dia berarti termasuk terperangkap opini Islamophobia. DPRD Tasik sah-sah saja, bahkan menguatkan apa yang selama ini sudah dialami,” kata Ka’ban kepada arrahmah.com seusai acara temu pembaca Suara Islam bertajuk ‘Presiden Syariah untuk Indonesia lebih baik’ di Masjid Baiturrahman, Tebet, Jakarta, Sabtu (16/6).
Artinya, lanjut Ka’ban, ketika tidak ada larangan memakai jilbab dan kemudian ada suatu daerah yang mengharuskan masyarakatnya memakai jilbab hal tersebut bukanlah persoalan.
"Saya fikir kan tidak ada masalah. Dan itu kan yang disahkan oleh DPRD Tasikmalaya," ujarnya.
Ia turut menghimbau agar masyarakat jangan terjebak dalam terminologi, apakah suatu peraturan yang membawa maslahat itu perda syariat atau bukan. Tapi, menurutnya yang menjadi ukuran adalah, apakah peraturan tersebut bertentangan dengan Islam itu sendiri.
“Kenapa kita harus terperangkap ke dalam istilah. Karena prinsipnya, Islam itu apapun peraturan yang tidak bertentangan dengan tauhid dan syariat tidak ada masalah,” jelas Ka’ban.
Contohnya, menurut Ka’ban, fenomena di Vietnam sebagai negara komunis yang di seluruh wilayahnya melarang adanya aktifitas mengemis dan minum-minuman keras merupakan hal yang selaras dengan nilai-nilai Islam meskipun bukanlah produk syariah.
"Apakah itu perda syariah? Kita hanya mengatakan bahwa itu tidak bertentangan dengan apa yang diinginkan Islam atau ternyata ketika mereka mengatakan melarang orang minum-minuman keras itu membawa kebaikan. Jadi, Islam itu mengajarkan kebaikan. Jadi, Kenapa terperangkap dengan idiom?" jelasnya.
Begitu pula menurutnya, contoh dengan adanya larangan membuka tempat prostitusi yang menurutnya merupakan amanat undang-undang terkait pelarangan tersebut. Akan tetapi dapat diakui juga sebagai nilai dari keislaman.
“Islam kan juga menginginkan dilarangnya prostitusi. Mengapa disebut produk syariah padahal itu produk DPRD,” tambahnya.
Berkaitan dengan penolakan keberadaan Polisi syariah di Tasikmalaya karena dianggap bertentangan dengan otonomi daerah yang mengatur urusan keamanan diserahkan ke pemerintah Pusat. Ka’ban menilai keberadaan Polisi yang bersifat khusus hanya ada di wilayah tertentu tidak bertentangan dengan peraturan apapun, sebab hal tersebut juga dipraktekkan di wilayah lain.
“Mengapa ada polisi Papua? Mengapa jika ada pemilihan polisi di Papua harus melapor kepada gubernur? Dan ini hanya ada di Papua, polisi diangkat berdasarkan putra daerah. Jadi jangan istilah syariah itu dipojokkan sebagai sesuatu, padahal itukan aspirasi,” tuturnya.
Lebih dari itu, memahami perda bertentangan dengan konstitusi menurutnya justru hal itu bentuk ketidak fahaman mendagri terhadap perda tersebut.
“Jadi menurut saya, Mendagri itu keliru memahami perda. Semua yang rujukannya Undang-undang Dasar 1945 dan perundang-undangan yang ada di Indonesia itu konstitusional,” pungkas Ka’ban. [arrahmah/al-khilafah.org]
“Mendagri keblinger, dia berarti termasuk terperangkap opini Islamophobia. DPRD Tasik sah-sah saja, bahkan menguatkan apa yang selama ini sudah dialami,” kata Ka’ban kepada arrahmah.com seusai acara temu pembaca Suara Islam bertajuk ‘Presiden Syariah untuk Indonesia lebih baik’ di Masjid Baiturrahman, Tebet, Jakarta, Sabtu (16/6).
Artinya, lanjut Ka’ban, ketika tidak ada larangan memakai jilbab dan kemudian ada suatu daerah yang mengharuskan masyarakatnya memakai jilbab hal tersebut bukanlah persoalan.
"Saya fikir kan tidak ada masalah. Dan itu kan yang disahkan oleh DPRD Tasikmalaya," ujarnya.
Ia turut menghimbau agar masyarakat jangan terjebak dalam terminologi, apakah suatu peraturan yang membawa maslahat itu perda syariat atau bukan. Tapi, menurutnya yang menjadi ukuran adalah, apakah peraturan tersebut bertentangan dengan Islam itu sendiri.
“Kenapa kita harus terperangkap ke dalam istilah. Karena prinsipnya, Islam itu apapun peraturan yang tidak bertentangan dengan tauhid dan syariat tidak ada masalah,” jelas Ka’ban.
Contohnya, menurut Ka’ban, fenomena di Vietnam sebagai negara komunis yang di seluruh wilayahnya melarang adanya aktifitas mengemis dan minum-minuman keras merupakan hal yang selaras dengan nilai-nilai Islam meskipun bukanlah produk syariah.
"Apakah itu perda syariah? Kita hanya mengatakan bahwa itu tidak bertentangan dengan apa yang diinginkan Islam atau ternyata ketika mereka mengatakan melarang orang minum-minuman keras itu membawa kebaikan. Jadi, Islam itu mengajarkan kebaikan. Jadi, Kenapa terperangkap dengan idiom?" jelasnya.
Begitu pula menurutnya, contoh dengan adanya larangan membuka tempat prostitusi yang menurutnya merupakan amanat undang-undang terkait pelarangan tersebut. Akan tetapi dapat diakui juga sebagai nilai dari keislaman.
“Islam kan juga menginginkan dilarangnya prostitusi. Mengapa disebut produk syariah padahal itu produk DPRD,” tambahnya.
Berkaitan dengan penolakan keberadaan Polisi syariah di Tasikmalaya karena dianggap bertentangan dengan otonomi daerah yang mengatur urusan keamanan diserahkan ke pemerintah Pusat. Ka’ban menilai keberadaan Polisi yang bersifat khusus hanya ada di wilayah tertentu tidak bertentangan dengan peraturan apapun, sebab hal tersebut juga dipraktekkan di wilayah lain.
“Mengapa ada polisi Papua? Mengapa jika ada pemilihan polisi di Papua harus melapor kepada gubernur? Dan ini hanya ada di Papua, polisi diangkat berdasarkan putra daerah. Jadi jangan istilah syariah itu dipojokkan sebagai sesuatu, padahal itukan aspirasi,” tuturnya.
Lebih dari itu, memahami perda bertentangan dengan konstitusi menurutnya justru hal itu bentuk ketidak fahaman mendagri terhadap perda tersebut.
“Jadi menurut saya, Mendagri itu keliru memahami perda. Semua yang rujukannya Undang-undang Dasar 1945 dan perundang-undangan yang ada di Indonesia itu konstitusional,” pungkas Ka’ban. [arrahmah/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar