Harga Kedelai Dimainkan Kartel?
Kelangkaan kedelai yang mengakibatkan tingginya harga bahan baku pembuat tahu dan tempe itu diduga akibat permainan kartel. Solusi pembebasan bea masuk impor kedelai disebut akan menguntungkan kartel dan merugikan petani kedelai lokal.
“Dengan posisi bea masuk nol persen, yang diuntungkan adalah pelaku kartel. Saya meyakini bahwa yang namanya komoditi kedelai, mereka sudah siapkan sedemikian rupa, bahwa akan terjadi peningkatan kebutuhan kedelai di bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Di waktu yang relatif pendek itu bagaimana meraih untung setinggi-tingginya,” kata politisi Partai Golkar (PG) Firman Soebagyo saat jumpa pers di ruang Fraksi Golkar di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (27/7/2012).
Seperti diberitakan, pemerintah mengambil kebijakan memfasilitasi dan memberikan keleluasaan kepada koperasi serta perajin tahu dan tempe untuk melakukan impor langsung. Pemerintah juga menerapkan pembebasan bea masuk impor kedelai hingga akhir tahun ini. Kebijakan itu disebut untuk mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga kedelai saat ini.
Firman menilai solusi pemerintah itu layaknya pemadam kebakaran yang mencoba mengatasi masalah dengan cara instan. Padahal, Wakil Ketua Komisi IV DPR itu, situasi itu selalu terjadi setiap tahun. Nyatanya, pemerintah tak menyiapkap solusi untuk jangka panjang agar tak terus terjadi kelangkaan kedelai.
Seperti diketahui, produksi kedelai nasional tahun ini diperkirakan 900 ribu ton. Namun, kebutuhan nasional saat ini mencapai 2,6 juta ton sehingga harus ditutupi dengan impor. Kelangkaan kedelai belakangan ini disebut akibat kekeringan di Amerika Serikat sehingga produksi kedelai menurun.
Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto menambahkan, ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan, salah satunya kedelai, merupakan cermin dari ketidakmampuan pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kata Setya, selama bulan Januari-Juni 2011, impor pangan Indonesia mencapai 11,33 juta ton dengan nilai sekitar Rp 45 triliun. Komoditas impor itu bervariasi seperti beras, jagung, kedelai, terigu, dan lainnya.
“Ketergantungan terhadap impor dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial mengingat pangan merupakan hal yang fundamental bagi kita,” kata Setya. [kompas/HTIPress/al-khilafah.org]
“Dengan posisi bea masuk nol persen, yang diuntungkan adalah pelaku kartel. Saya meyakini bahwa yang namanya komoditi kedelai, mereka sudah siapkan sedemikian rupa, bahwa akan terjadi peningkatan kebutuhan kedelai di bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Di waktu yang relatif pendek itu bagaimana meraih untung setinggi-tingginya,” kata politisi Partai Golkar (PG) Firman Soebagyo saat jumpa pers di ruang Fraksi Golkar di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (27/7/2012).
Seperti diberitakan, pemerintah mengambil kebijakan memfasilitasi dan memberikan keleluasaan kepada koperasi serta perajin tahu dan tempe untuk melakukan impor langsung. Pemerintah juga menerapkan pembebasan bea masuk impor kedelai hingga akhir tahun ini. Kebijakan itu disebut untuk mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga kedelai saat ini.
Firman menilai solusi pemerintah itu layaknya pemadam kebakaran yang mencoba mengatasi masalah dengan cara instan. Padahal, Wakil Ketua Komisi IV DPR itu, situasi itu selalu terjadi setiap tahun. Nyatanya, pemerintah tak menyiapkap solusi untuk jangka panjang agar tak terus terjadi kelangkaan kedelai.
Seperti diketahui, produksi kedelai nasional tahun ini diperkirakan 900 ribu ton. Namun, kebutuhan nasional saat ini mencapai 2,6 juta ton sehingga harus ditutupi dengan impor. Kelangkaan kedelai belakangan ini disebut akibat kekeringan di Amerika Serikat sehingga produksi kedelai menurun.
Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto menambahkan, ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan, salah satunya kedelai, merupakan cermin dari ketidakmampuan pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kata Setya, selama bulan Januari-Juni 2011, impor pangan Indonesia mencapai 11,33 juta ton dengan nilai sekitar Rp 45 triliun. Komoditas impor itu bervariasi seperti beras, jagung, kedelai, terigu, dan lainnya.
“Ketergantungan terhadap impor dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial mengingat pangan merupakan hal yang fundamental bagi kita,” kata Setya. [kompas/HTIPress/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar