Ironi Negeri Tempe
Dalam beberapa hari terakhir, tempe dan tahu mencuat menjadi isu nasional. Makanan rakyat berharga murah tetapi kaya gizi itu langka di pasaran lantaran mahalnya kedelai sebagai bahan baku.
Harga kedelai memang kian liar tak terkendali. Kenaikannya gila-gilaan, bahkan menembus Rp8.000 dari biasanya Rp5.000 per kilogram. Dengan harga bahan baku semahal itu, pengusaha tempe dan tahu memilih mogok produksi selama tiga hari mulai Rabu (25/7) hingga kemarin.
Mereka tak punya pilihan lain untuk menyatakan sikap. Segala kiat, segala cara, termasuk memperkecil ukuran tahu dan tempe, demi menyiasati mahalnya harga kedelai tak lagi ampuh untuk bertahan.
Bagi mereka, mogok produksi adalah pilihan terbaik. Efeknya pun luar biasa. Ketika tempe dan tahu absen di warung, pasar, hingga pasar swalayan, rakyat ternyata merasa sangat kehilangan.
Tempe dan tahu yang selama ini dipandang sebelah mata kini menunjukkan eksistensi. Keduanya memicu silang pendapat, memantik polemik panas terkait dengan ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebutuhan rakyat.
Kelangkaan tempe dan tahu terjadi karena ketidakberdayaan negeri ini melepas ketergantungan impor kedelai. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, stok kedelai masih bergantung pada negara lain.
Untuk urusan kedelai saja, kita tak punya kedaulatan. Kita takluk pada serbuan kedelai dari mancanegara karena produksi dalam negeri tak bisa lagi diandalkan.
Produksi kedelai pada 2012 bahkan diperkirakan turun drastis ketimbang 2010 dari 907.300 ton menjadi 779.800 ton. Jumlah sebanyak itu terlampau sedikit untuk mencukupi kebutuhan 2,2 juta ton per tahun.
Selama pasokan kedelai masih bergantung pada asing, selama itu pula masalah kelangkaan tempe dan tahu akan terjadi. Ironisnya, pemerintah tak memandang persoalan secara utuh. Mereka lebih suka menyikapi gejolak harga kedelai dengan cara instan, yakni menghapus bea masuk.
Itulah solusi gampangan tanpa harus pusing-pusing berpikir. Penghapusan bea masuk impor kedelai hanyalah obat sesaat yang mustahil bisa menyembuhkan akar penyakit. Khasiatnya juga tak terlalu mujarab, cuma mampu menurunkan harga sebesar Rp400 per kilogram. Kebijakan itu bahkan membuat impor kedelai kian deras membanjir dan kian ganas melindas produksi dalam negeri.
Masalah kedelai adalah masalah ketidakmampuan negeri ini mencukupi kebutuhan sendiri. Itulah persoalan pokok yang harus diselesaikan pemerintah. Tindakan nyata wajib segera dilakukan agar petani dengan senang hati menanam kedelai. Pemberian insentif dan jaminan harga kepada mereka tak bisa lagi ditawar-tawar.
Indonesia yang kini dalam situasi darurat tempe merupakan konfirmasi bahwa pengelola negeri ini sudah lama mengabaikan urusan pangan sehingga beras, gula, kedelai, jagung, sampai singkong mesti diimpor. Untuk urusan pangan dan banyak urusan lain, pemerintah sering mengeluh kesulitan. Lah, pemerintah justru hadir untuk mengurusi yang sulit kok! Disorientasi beginilah menyebabkan yang gampang pun jadi sulit. [mediaindonesia/HTIPress/al-khilafah.org]
Harga kedelai memang kian liar tak terkendali. Kenaikannya gila-gilaan, bahkan menembus Rp8.000 dari biasanya Rp5.000 per kilogram. Dengan harga bahan baku semahal itu, pengusaha tempe dan tahu memilih mogok produksi selama tiga hari mulai Rabu (25/7) hingga kemarin.
Mereka tak punya pilihan lain untuk menyatakan sikap. Segala kiat, segala cara, termasuk memperkecil ukuran tahu dan tempe, demi menyiasati mahalnya harga kedelai tak lagi ampuh untuk bertahan.
Bagi mereka, mogok produksi adalah pilihan terbaik. Efeknya pun luar biasa. Ketika tempe dan tahu absen di warung, pasar, hingga pasar swalayan, rakyat ternyata merasa sangat kehilangan.
Tempe dan tahu yang selama ini dipandang sebelah mata kini menunjukkan eksistensi. Keduanya memicu silang pendapat, memantik polemik panas terkait dengan ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebutuhan rakyat.
Kelangkaan tempe dan tahu terjadi karena ketidakberdayaan negeri ini melepas ketergantungan impor kedelai. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, stok kedelai masih bergantung pada negara lain.
Untuk urusan kedelai saja, kita tak punya kedaulatan. Kita takluk pada serbuan kedelai dari mancanegara karena produksi dalam negeri tak bisa lagi diandalkan.
Produksi kedelai pada 2012 bahkan diperkirakan turun drastis ketimbang 2010 dari 907.300 ton menjadi 779.800 ton. Jumlah sebanyak itu terlampau sedikit untuk mencukupi kebutuhan 2,2 juta ton per tahun.
Selama pasokan kedelai masih bergantung pada asing, selama itu pula masalah kelangkaan tempe dan tahu akan terjadi. Ironisnya, pemerintah tak memandang persoalan secara utuh. Mereka lebih suka menyikapi gejolak harga kedelai dengan cara instan, yakni menghapus bea masuk.
Itulah solusi gampangan tanpa harus pusing-pusing berpikir. Penghapusan bea masuk impor kedelai hanyalah obat sesaat yang mustahil bisa menyembuhkan akar penyakit. Khasiatnya juga tak terlalu mujarab, cuma mampu menurunkan harga sebesar Rp400 per kilogram. Kebijakan itu bahkan membuat impor kedelai kian deras membanjir dan kian ganas melindas produksi dalam negeri.
Masalah kedelai adalah masalah ketidakmampuan negeri ini mencukupi kebutuhan sendiri. Itulah persoalan pokok yang harus diselesaikan pemerintah. Tindakan nyata wajib segera dilakukan agar petani dengan senang hati menanam kedelai. Pemberian insentif dan jaminan harga kepada mereka tak bisa lagi ditawar-tawar.
Indonesia yang kini dalam situasi darurat tempe merupakan konfirmasi bahwa pengelola negeri ini sudah lama mengabaikan urusan pangan sehingga beras, gula, kedelai, jagung, sampai singkong mesti diimpor. Untuk urusan pangan dan banyak urusan lain, pemerintah sering mengeluh kesulitan. Lah, pemerintah justru hadir untuk mengurusi yang sulit kok! Disorientasi beginilah menyebabkan yang gampang pun jadi sulit. [mediaindonesia/HTIPress/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar