Header Ads

100 Hari Pemerintahan Muhammad Mursyi

Sudah lebih 100 hari Muhammad Mursy menjadi presiden di Mesir. Inilah pertama kalinya Mesir dipimpin oleh presiden yang dipilih oleh rakyat secara lebih terbuka dan demokratis. Ia seorang sipil dan uniknya berasal dari Ikhwanul Muslimin, yang selama rezim militer berkuasa mengalami banyak tekanan dan penindasan.



Harapan besar ada pada pundak Mursi, untuk melakukan perubahan nyata di Mesir. Umat Islam Mesir yang merindukan syariah Islam juga berharap Mursy dengan sungguh-sungguh akan menerapkan syariah Islam. Apalagi selama ini Ikhwanul Muslimin menjadikan Islam sebagai solusi sebagai slogan penting. Namun 100 hari telah berlalu, harapan itu, meskipun masih ada, masih belum terwujud. “Islam sebagai solusi” masih jauh dari realita.

Dalam analisnya di khilafah.com, Adnan Khan menyebutkan beberapa kendala dan tantangan Mursi selama ini. Kendala utama yang dialami Mesir saat ini adalah masalah konstitusi. Hingga saat ini konsitutusi Mesir baru masih diperdebatkan. Ini artinya, yang berlaku masih konstitusi lama yang selama ini dipraktikkan rezim Mubarak. Tarik menarik kekuasaan terjadi antara Mursi, parlemen, dan militer. Namun, militer dengan senjata yang dimilikinya masih merupakan ‘the real power’ di Mesir. Sayangnya, militer Mesir masih tunduk kepada kepentingan Amerika.

Tantangan terbesar Mesir adalah ekonomi. Ini menjadi salah satu faktor utama bergeraknya rakyat Mesir menumbangkan Husni Mubarak. Ekonomi Mesir sangat tergantung pada pertanian, media, ekspor minyak bumi, ekspor gas alam, dan pariwisata. Terdapat pula lebih dari tiga juta orang Mesir bekerja di luar negeri, terutama di Arab Saudi, Teluk Persia dan Eropa. Jasa industri merupakan 49 persen dari perekonomian.

Masalahnya, sebagian besar sumber-sumber ekonomi Mesir masih dikuasai oleh rezim elite lama terutama rezim militer. Diperkirakan sekitar 40 persen ekonomi Mesir dikuasai oleh mereka. Bahkan ketika Mesir di masa Husni Mubarak melakukan kebijakan liberalisasi ekonomi Mesir, sebagian besar ya jatuh ke lingkaran elite pemerintah dan militer yang merupakan kroni Mubarak dan putranya Gamal.

Pengusaha besar seperti Ahmed Ezz (besi dan baja), keluarga Sawiris (multimedia, minuman, dan telekomunikasi), dan Mohamed Nosseir (minuman dan telekomunikasi) dikenal merupakan kroni Mubarak. Mereka bukan hanya menerimam perlindungan dari bank tapi juga kontrak-kontrak istimewa dan pinjaman besar dari bank-bank. Tidak mengherankan kalau kekayaan keluarga Mubarak diperkirakan sebesar 70 milyar dolar.

Ironisnya, untuk menyelesaikan persoalan ekonomi Mesir, Mursi memilih untuk meminjam dana dari IMF. Padahal semua tahu, meminta bantuan dari IMF bukan saja akan menghancurkan ekonomi negara tapi juga merupakan jebakan politik yang mematikan. Lebih-lebih lagi pinjaman itu mengandung riba yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam. IMF secara resmi memberikan pinjaman 4,9 milyar dolar. Perdana Menteri Mesir Hesham Qandil menyatakan pinjaman ini harus dibayar dalam waktu 5 tahun dengan suku bunga 1,1 persen.



Hisyam menyatakan pinjaman ini bermanfaat untuk rakyat. Namun di sisi lain ia menyatakan akan ada pemotongan, pengeluaran dan kebijakan-kebijakan lain. Pemerintah Mursi sepertinya menyembunyikan adanya syarat-syarat yang diminta oleh IMF ketika mereka memberikan pinjaman. IMF mensyaratkan pengurangan subsidi BBM dan makanan yang jelas-jelas akan menambah derita rakyat.

Seperti yang ditulis Financial Times (22/8/ 2012): ” IMF menginginkan Mesir agar menguraikan rencana-rencana mereka untuk mengurangi defisit anggaran dengan memperkuat pendapatan dan pemangkasan sektor publik yang mahal, termasuk subsidi bahan bakar dan makanan. Mesir juga harus mengamankan pembiayaan dari lembaga-lembaga pemberi pinjaman lainnya sebagai bagian dari persyaratan pinjaman”.

Isu panas lain adalah hubungan diplomatik dengan negara Zionis Israel, termasuk mempertahankan perjanjian damai Camp David yang intinya merupakan pengakuan terhadap negara Zionis Israel. Dengan retorikanya Mursi memilih mempertahankan hubungan diplomatik dengan negara penjajah itu dengan alasan menghormati perjanjian internasional.

Padahal setiap syarat apapun yang menyalahi Alquran dan sunnah adalah batil. “Tiada gunanya orang mempersyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Syarat apapun yang tidak ada dalam Kitabullah adalah batil meskipun seratus syarat. Ketetapan Allah lebih layak (diikuti) dan syarat Allah lebih kuat (dipegangi) (HR al-Bukhari, Malik dan Ibn Majah). Oleh karena klausul perjanjian atau poin kesepakatan apapun yang menyalahi syariah adalah batal demi hukum; ia harus diabaikan dan tidak boleh dilaksanakan.

Ironisnya, demi kepentingan parawisata Mesir, Partainya Mursi tidak melarang minuman keras dan pakaian bikini. Saad al-Husseini, anggota Partai Kebebasan Mesir dan Keadilan mengatakan dalam sebuah wawancara, pariwisata sangat penting bagi Mesir dan menekankan minum dan menjual alkohol dilarang dalam Islam. Namun, ia menambahkan, “Namun hukum Islam juga melarang memata-matai tempat pribadi dan ini berlaku untuk pantai serta … Saya berharap 50 juta wisatawan akan melakukan perjalanan ke Mesir bahkan jika mereka datang telanjang.”

Walhasil, memang sulit mengharapkan perubahan yang nyata di dunia Islam termasuk Mesir, hanya dengan mendudukkan orang-orang Islam, bahkan anggota partai Islam ke kursi kekuasaan. Kalau kemudian tidak menerapkan syariah Islam. Tawaran demokrasi Amerika untuk Mesir meskipun berbalut Islam dengan istilah negara madani (ad daulah al madaniyah), Islam moderat, Islam inklusif, akan tetap gagal. Karena intinya tetap melestarikan sekulerisme, kapitalisme dan campur tangan Amerika, yang menjadi biang kerok berbagai persoalan dunia Islam.

Karena itu perjuangan tidak boleh berhenti hingga kekuasaan Islam diraih untuk benar-benar digunakan menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) di bawah naungan Khilafah. Saat itulah perubahan yang nyata, yang memberikan kebaikan kepada setiap manusia akan terjadi, Muslim maupun non Muslim. (Farid Wadjdi) [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.