Penembakan di Papua, Bahaya Standart Ganda GWOT
Dinamika kasus penembakan anggota kepolisian dan TNI masih terus terjadi di Papua. Peristiwa penembakan tersebut terjadi sekitar pukul 04.00 WIT, lokasi Mapolsek Pirime berada di wilayah Puncak Jaya Wijaya, sekitar 8 jam perjalanan dari kota Jayapura. Ketiga orang tersebut adalah Kapolsek Pirime Ipda Rolfi Takubesi, anggota Kapolsek Briptu Daniel Makuker dan Briptu Jefri Rumkorem. Polda Papua melansir sedikitnya ada 37 peristiwa penyerangan terhadap polisi di Papua, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Hal ini berarti hampir setiap bulan ada peristiwa kekerasan di Papua.
Papua merupakan lahan subur untuk konflik. Baik itu pelanggaran HAM, konflik politik, kekuasaan, pertikaian antar suku, konflik militer-rakyat, dan penguasaan tambang. Tak mengherankan jika penyelesaian demi penyelesaian yang ditempuh menuai kegagalan.
Akar Konflik Kekerasan Papua
Konflik di Papua memang dipelahara. Jika tidak dipelihara nisacaya Papua damai semenjak dulu. Hal ini sengaja diciptakan oleh orang-orang yang memang menginginkan. Papua berdiri sendiri menjadi entitas Negara. Wajar saja, mengingat kalaupun Papua menjadi Negara dan merdeka dari Indonesia, maka akan menjadi Negara besar. Buktinya berupa kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah, tanah terbentang luas, dan geografis yang strategis.
Hal yang patut diingat adalah pemain di balik layar yang menginginkan Papua tetap membara. Mereka adalah korporasi asing yang membeli warga local. Korporasi asing berbentuk perusahaan pertambangan. Selain itu, Negara yang tertarik dengan Papua adalah AS dan Australia. AS ingin menyelamatkan asset berharganya yaitu Freeport. Serta hasrat membangun pangkalan militer Asia Pasifik di Papua. Sementara itu, Australia berkepentingan untuk membantu dominasi AS di Asia Tenggara. Dominasi itu diwujudkan dengan penjajahan ekonomi berupa pengerukan SDA (Sumber Daya Alam). Serta, secara politik untuk membendung kebangkitan Islam. Tak ayal pasukan militer AS dan Australia kerap unjuk gigi di kawasan Asia Pasifik. Hal ini membuktikan suatu saat mereka siap memerangi ekstrinis radikal Islam (baca : sebagai perwujudkan kebangkitan Islam). Perang itu mereka tujukan dalam satu kata Global War On Terrorism (GWOT).
Hal yang patut diwaspadai di Papua adalah keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Keberadaannya menjadi tantangan bagi pemerintah untuk betul-betul memberantas aktifitasnya. Organisasi tersebut seperti parasit. Sehingga untuk menghilangkannya harus dicabut hingga ke akar. Tak jarang organisasi tersebut melakukan aktifitasnya dengan kekerasan. Sehingga layak disebut militant karena memiliki senjata dan tentara.
Kegiatan para aktifis militant dari pegunungan tengah, yang mayoritas dari mereka adalah anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Para aktifis ini memutuskan sudah tidak ada lagi harapan untuk mewujudkan tujuan utama mereka, yaitu sebuah referendum kemerdekaan lewat cara-cara damai, sehingga mengakibatkan sebagian mereka mendukung aksi kekerasan serta dalam beberapa kasus para aktifis ini terlibat tindak kekerasan. Taktik mereka dikecam oleh banyak rakyat Papua, tetapi pesan mereka menggema luas, dan frustasi yang mereka ucapkan adalah nyata. Dialog antara para pemimpin Papua dan pejabat Pemerintah Pusat, apabila disiapkan dengan hati-hati, menawarkan kemungkinan untuk dapat menanggapi berbagai keluhan yang sudah lama dirasakan oleh rakyat setempat, tanpa mempertanyakan kedaulatan Indonesia.
KNPB bermula dari berkembangnya aktifisme para mahasiswa pro-kemerdekaan Papua setelah jatuhnya Soeharto 1998. Sejalan dengan terbentuknya dan pecahnya berbagai koalisi, KNPB muncul sebagai sebuah kelompok yang sebagian besar anggotanya mahasiswa dan mantan mahasiswa yang mengadopsi ideologi kiri yang militant dan menganggap diri mereka sebagai revolusionaris, berperang melawan Negara Indonesia dan perusahaan tambang emas dan tembaga raksasa Freeport dekat Timika. Ada dua konsekuensi utama dari bertambahnya militansi mereka. Pertama, mereka makin intens bekerjasama dengan para gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di wilayah pegunungan Tengah. Kedua, mereka semakin melihat bahwa satu-satunya harapan untuk dapat mencapai cita-citanya yaitu dengan memperlihatkan kepada dunia bahwa Papua sedang dalam situasi darurat –dan hal ini berarti lebih terlihatnya manifestasi konflik.
Tahun 2009 diselenggarakannya Pemilu, dan Pemilu memberikan sebuah fokus bagi sebagian aktifis pro-kemerdekaan untuk melakukan aksi-aksi politik. Pemicu lainnya yaitu kegiatan di luar negeri –terutama pembentukan sebuah kelompok kecil pada bulan Oktober 2008 bernama Internastional Parliamentarians for West Papua (IPWP) –telah mendorong para aktifis militant untuk meyakini bahwa dukungan yang lebih banyak dari dunia Internasional akan dapat mengubah dinamika politik di dalam negeri. Beberapa kejadian kekerasan pada bulan April di Abepura, daerah pinggiran ibukota propinsi Jayapura dimana sebuah universitas berada, pada masa pemilu legislative, bisa dihubungkan langsung dengan KNPB. Anggotanya juga mungkin telah membantu memicu kekerasan di wilayah dataran tinggi kabupaten Puncak Jaya lewat komunikasi dan koordinasi komandan TPN/OPM setempat, Goliat Tabuni.
Kekerasan, bercampur dengan kegiatan-kegiatan KNPB, telah berhasil meningkatkan profil Papua baik di dalam maupun di luar negeri, dan telah menambah minat terhadap kemungkinan dialog antara para pemimpin Papua dan Jakarta mengenai berbagai masalah, yang ditujukan untuk menyelesaikan konflik. Jalan menuju dialog penuh dengan perangkap, dan ada kemungkinan gangguan dan banyak rasa ketidak percayaan di antara kedua belah pihak. Banyak kalangan di Pemerintah Pusat yang percaya bahwa pembahasan apapun mengenai masalah-masalah non-ekonomi seperti otonomi yang lebih besar atau keluhan yang berhubungan dengan sejarah Papua hanya akan semakin memicu keinginan untuk merdeka dan mengaburkan perubahan positif yang sedang berlangsung. Mereka berargumentasi bahwa, tidak saja telah dilakukan “Papuanisasi” terhadap pemerintahan lokal dan sudah ada komitmen untuk mempercepat pembangunan, tetapi polisi juga secara bertahap telah menggantikan militer sebagai garis depan untuk merespon kegiatan separatis.
Maka seharusnya pemerintah mengkoreksi diri untuk kembali berkomitmen menjaga Papua. Jika tidak, hegemoni serangan politik dari asing khususnya AS dan Australia akan begitu gencar. Mereka akan menggunakan cara-cara halus hingga cara-cara kotor. Terbukti kedua Negara tersebut selama ini telah membantu KNPB dan OPM dalam pengadaan senjata. Sebenarnya hal ini diketahui oleh militer Indonesia. Apa daya militer tak kuasa menahan hegemoni asing. Suaka politik kerap diberikan dalam melindungan aktifisnya.
Bahaya Standart Ganda Penanganan GWOT
Konflik kekerasan dan penembakan anggota polisi yang dilakukan oleh OPM hendaknya diusut tuntas. Penanganan yang dilakukan polisi seolah pembiaran. Hal ini berbeda dengan penanganan kasus teroris. Polisi melalui Densus 88 ketika ada kasus teroris walaupun banyak kasus belum terbukti dan masih “terduga” dapat diringkus dan kadang terbunuh. Sementara berbeda dengan penyerangan OPM yang nyata-nyata bersenjata dan berpasukan malah lenggang kangkung. Seharusnya OPM dan KNPB layak digolongkan “Teroris”. Inilah bahaya standart ganda aparat terhadap penanganan Terorisme.
OPM dan KNPB jelas melakukan terror dan menimbulkan korban jiwa. Sementara itu terduga teroris yang diidentikkan dengan Bom dan Jihad dengan mudah dilenyapkan. Padahal belum terjadi korban jiwa. Anehnya tanggal 1 Desember yang diperingati sebagai ulang tahun OPM malah polisi memperbanyak personil untuk mengamankannya. Pengamanan dilakukan agar tidak terjadi pengibaran bintang Kejora. Bahkan aksi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua di beberapa daerah dibiarkan. Hal ini sama saja sebagai bukti persetujuan dan pembiaran.
Ini bukti ketidak adilan aparat pemerintah sekaligus bahaya standart ganda terhadap GWOT. Ketika melakukan penggerebekan terduga teroris, Densus 88 seolah menjadi pendekar. Mereka menunjukkan barang bukti berupa bom rakitan, bendera bertuliskan “Laa Illaha Illallah”, dan buku Jihad. Tubuhnya diinjak-injak dan banyak juga yang tewas. Jikalaupun salah tangkap dan terjadi pembunuhan tanpa peradilan “ekstra judicial killing” tidak pernah ada permintaan maaf dan perbaikan/pemulihan nama baik. Lantas, bagaimana dengan OPM yang di depan mata mereka ingin memisahkan dengan Indonesia ? Senjatapun mereka biarkan dipegang OPM.
Jihad yang dalam Islam sebagai ibadah yang agung oleh aparat keamanan dianggap kehinaan. Jihad merupakan perbuatan radikal, ekstrimis, dan fundamentalis. Sehingga harus dilenyapkan segala ide yang mengarah kepada gerakan radikal. Mereka melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melakukan deradikalisasi. Lantas, bagaimana dengan KNPB dan OPM ? Apakah juga sama diradikalisasi ?
Jika terduga teroris diidentikan dengan pendirian Negara Islam atau Khilafah. Sehingga harus ditumpas karena bertentangan dengan NKRI dan Pilar Negara. Hal ini menunjukkan kejumudan berfikir dan kemerosotan pemerintah. Suatu hal yang wajar jika umat Islam ingin memiliki Negara yang mengatur kehidupannya dengan syariah-Nya. Sementara Negara yang ada saat ini justru abai, koruptif dan menjadi budak asing. Bandingkan dengan OPM ? Sampai saat ini pun tidak ada cara untuk memberangus mereka ? Densus 88 yang menjadi jagoanpun seolah tiarap dan tidak bertaji. Padahal Kapolda Papua adalah Mantan Kadensus 88 -Irjen Pol Drs. Tito Karnavian, MA-. Hal ini terjadi karena OPM dan KNPB didukung AS dan Australia. Kedua Negara tersebut yang selama ini juga memberikan pelatihan dan operasional Densus 88. Seperti ungkapan apakah “Jeruk Makan Jeruk” ?
Sungguh ini sikap yang hipokrit dan standart ganda yang berbahaya untuk memperdaya rakyat yang mayoritas Muslim. Mereka akan melakukan pembunuhan terhadap rakyatnya secara halus dengan cara mencabut syariah Islam yang benar di dalam diri kaum muslimin –mayoritas rakyat negeri ini. Umat Islam yang mayoritas seolah-olah sah dibunuh atas nama “terduga teroris”. Melakukan adu domba dan deradikalisasi pemahaman jihad, syariah dan Khilafah. Melakukan dikotomi Islam Moderat dan Islam Radikal yang tidak pernah ada dalam khasanah peradaban Islam. Sementara itu mereka begitu takut dengan tuan-tuannya dan melindungi asset tuannya. Mereka beranggapan seolah tidak berdosa membunuh rakyat yang masih “terduga”.
Hal ini sekaligus menegaskan bahwa pemerintah selama ini lemah dalam menyelesaikan konflik. Pemerintah tidak bertaji dalam menghadapi teroris OPM yang diklaim “segerombolan pasukan” padahal pemerintah mempunyai kekuatan personil TNI dan Polisi. Semua ketidakberdayaan Pemerintah ini terjadi karena mengadopsi Demokrasi. Demokrasi menunjukkan wajah aslinya yaitu keras ketika berhadapan dengan rakyatnya yang mayoritas muslim dan lemah terhadap negara pengusungnya (AS dan sekutunya). Indonesia juga masuk dalam pusaran GWOT. Sehingga muncul standart ganda yang sangat berbahaya.
Standart ini tampak dalam perbedaan penanganan kasus terorisme yang notabene sering menuduh Islam dengan kasus separatisme. BNPT sebagai lembaga yang sering menangani kasus terorisme pun begitu membenci Islam. Seolah-olah Islam sebagai ancaman. Sementara itu kasus separatisme hanya digolongkan sebagai terror biasa dengan sebutan “segerombolan pengacau”. Lantas, dimana keadilan yang mereka dengungkan ? Katanya menjaga NKRI, namun ketika separatism gencar ingin memisahkan diri dari Indonesia mereka tenang-tenag saja dan bukan ancaman. Apakah begitu rupa pemerintah negeri ini menghalang halangi Islam dan mendukung perpecahan negeri ini ?
Bagi orang-orang yang cerdas dan waras maka Islam adalah pilihan. Jika selama ini berbagai konflik yang terjadi berupa separatism dan ancaman keamanan tidak dapat diatasi dengan Demokrasi. Islam merupakan solusi alternative. Islam bukanlah ancaman justru Islam rahmat bagi seluruh alam. Jadi segera Indonesia meninggalkan jebakan GWOT yang menghalangi kebangkitan Islam. Serta usir segala bentuk penjajahan asing dalam segala aspek. Sehingga Indonesia butuh sebuah ideologi yang benar yaitu Islam. Pasti Indonesia menjadi Negara terdepan, maju dan berdaulat. Wallahu 'alam bis showab.[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar