Jalan Menuju Khilafah
Oleh M Ismail Yusanto
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia
Satu soal yang sering dipertanyakan oleh
berbagai pihak adalah bagaimana cara Hizbut Tahrir (Indonesia) mencapai
cita-citanya. Bagi mereka terdengar musykil, bagaimana bisa HT(I)
ingin menegakkan syariah dan Khilafah tetapi tidak ikut Pemilu. Dalam
pandangan mereka, Pemilu adalah jalan paling logis untuk meraih
kekuasaan. Oleh karena itu penerimaan terhadap sistem demokrasi dan
Pemilu sebagai instrumen pokoknya, baik sekadar sebagai sebuah jalan
untuk meraih kekuasaan ataupun sebagai sebuah sistem politik, merupakan
hal yang tidak perlu diperdebatkan. Demokrasi dianggap sebagai jalan
yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik. Bila tidak melalui
cara demokrasi, lantas menggunakan apa?
Mereka juga mempertanyakan langkah HT(I) untuk menegakkan syariah dan Khilafah melalui apa yang disebut thalabun-nushrah (mencari pertolongan) dari ahlun-nushrah yang tidak lain adalah ahlul-quwwah
(pemilik kekuatan) baik dari kalangan penguasa ataupun militer. Dalam
pikiran mereka, kekuasan itu harus direbut baik dengan cara damai
melalui jalan demokrasi maupun jalan kekerasan melalui perjuangan
militer. Kata mereka, tidak pernah ada fakta bahwa kekuasaan bisa diraih
melalui thalabun-nushrah seperti yang diteorikan oleh HT.
++++
Harus diakui, demokrasi kini telah
menjadi sistem politik yang paling banyak dianut di dunia. Hampir semua
negara, termasuk negeri-negeri Muslim sejak runtuhnya Kekhilafahan
Utsmani pada 1924, menganut sistem politik ini. Namun, penerimaan Dunia
Islam terhadap demokrasi tidaklah mulus. Bila diringkas, ada tiga
kelompok sikap. Pertama: yang mengatakan tidak ada masalah
dengan demokrasi. Islam bukan saja menerima ajaran demokrasi, bahkan
Islam adalah agama yang sangat demokratis seperti tampak pada anjuran
untuk bermusyawarah dan sebagainya. Kedua: pandangan yang
menolak sama sekali demokrasi. Sebagai anak kandung sekularisme,
demokrasi bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Ketiga:
yang mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tetapi Islam
bisa memberikan nilai-nilai dalam demokrasi. Demokrasi juga bisa
dijadikan sarana untuk mencapai tujuan politik Islam. Dari kalangan
mereka muncul istilah demokrasi islami.
Bila tujuannya sekadar meraih kekuasaan,
Pemilu memang adalah cara yang paling logis. Namun, bila tujuannya
adalah lahirnya perubahan mendasar pada sistem dan rezim, maka fakta
membuktikan justru cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini
telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, tumbangnya
rezim Orde Baru tidak terjadi melalui Pemilu meski telah diadakan
berulang-ulang selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui
gerakan reformasi yang berlangsung hanya beberapa bulan. Namun, karena
reformasi juga tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan sistem secara
mendasar, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami
perubahan. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat
sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan banyak
pihak menilai keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi
meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi
makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi.
Bukan hanya di Indonesia, perubahan
besar yang terjadi di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah juga terjadi
melalui jalan bukan demokrasi. Gelombang Revolusi Arab atau Arab Spring
telah mengakhiri puluhan tahun kekuasaan para diktator di sana. Meski
demikian, harus diakui bahwa revolusi itu, termasuk revolusi militer di
sana, belumlah mampu memberi jalan bagi tegaknya syariah dan Khilafah di
wilayah itu. Namun, revolusi di Syria boleh disebut sebagai sebuah
perkecualian. Bila tidak ada kekuatan besar yang menghadang, tegaknya
Khilafah di sana tampaknya hanya soal waktu. Kalau begitu, bukankah
benar bahwa syariah dan Khilafah bukan tegak melalui jalan thalabun-nushrah?
++++
Sikap yang demikian mengagungkan
demokrasi dan menafikan cara Islam dalam perjuangan jelas menunjukkan
kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan umat Islam akibat telah lama masuk
pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap) dan jebakan politik (political trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Itu yang kita sebut sebagai thariqah
dakwah Rasulullah saw.. Inilah metode perjuangan yang dituntunkan oleh
Rasulullah saw., dan insya Allah SWT akan bisa mengantarkan pada
perwujudan cita-cita politik Islam yang hakiki, yakni tegaknya kembali
syariah dan Khilafah.
Kita tahu, perjuangan Rasulullah
Muhammad saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah, dan berbuah
setelah hijrah ke Madinah. Fase ini tidak mungkin terjadi bila Rasul
tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang
memakan waktu cukup lama, yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan
untuk menanamkan fikrah Islam di tengah masyarakat. Setelah
hijrah ke Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa.
Orang-orang kemudian berbondong-bondong masuk Islam. Dari sana,
dimulailah era kejayaan Islam.
Kemenangan perjuangan Rasulullah itu tidak bisa dilepaskan dari usaha untuk meminta pertolongan (thalabun-nushrah)
yang beliau lakukan pada tahun ke-8 kenabian, khususnya setelah
wafatnya paman Nabi saw., Abu Thalib, dan istri tercintanya, Khadijah
ra., serta semakin meningkatnya gangguan dari kaum Quraisy. Itu terjadi
di penghujung fase kedua dalam thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw., yaitu fase interaksi dengan masyarakat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Thalabun-nushrah ditempuh guna mendapatkan perlindungan bagi dakwah dan jalan meraih kekuasaan (istilam al-hukmi) bagi penerapan syariah. Dalam usahanya itu, Ibnu Saad dalam kitabnya At-Thabaqat, sebagaimana ditulis Ahmad al-Mahmud dalam kitab Ad-Da’wah ila al-Islam,
menyebutkan Rasulullah saw. mendatangi tak kurang 15 kabilah; di
antaranya Kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb,
Bakar bin Wail, Hamdan, dan lain-lain. Kepada setiap kabilah, Rasulullah
saw. mengajak masuk Islam sebelum meminta nushrah dari mereka.
Meski berulang ditolak, Rasulullah saw.
tetap saja terus meminta. Rasulullah saw. tidak berusaha mengganti
dengan metode lain. Fakta ini merupakan qarinah (indikasi) yang jazim (tegas) bahwa thalabun-nushrah
merupakan perintah Allah SWT, bukan inisiatif Rasulullah saw. sendiri
atau sekadar tuntutan keadaan. Setelah sekian lama berusaha, pada tahun
ke-12 kenabian, akhirnya Rasulullah berhasil mendapatkan nushrah dari kaum Anshar. Kaum yang telah dibina sebelumnya itu menyerahkan kekuasaan mereka di Madinah kepada Rasulullah saw.. Jadi, thalabun-nushrah
adalah metode yang paling sahih dalam usaha meraih kekuasaan, karena
hal ini ditunjukkan secara nyata oleh Baginda Rasulullah saw. dalam
perjuangannya.
Harus diingat, thalabun nushrah adalah aktivitas politik, bukan aktivitas militer, juga bukanlah kudeta militer. Aktivitas militer hanyalah salah satu cara (uslub)—bukan satu-satunya cara—yang bisa dilakukan oleh ahlun-nushrah. Adapun eknis peralihan kekuasaan bergantung sepenuhnya kepada ahlun-nushrah.
Bisa melalui jalan damai, sebagaimana dilakukan oleh kaum Anshar saat
menyerahkan kekuasaannya di Madinah kepada Rasulullah saw., tetapi bisa
juga melalui aktivitas militer. Semua bergantung pada ahlun-nushrah.
Itu pula yang saat ini terjadi di Syria. Proses-proses thalabun-nusrah
diyakini tengah berlangsung di sana. Detilnya seperti apa, tentu kita
tidak tahu, karena aktivitas mencari pertolongan dilakukan secara
tertutup. Namun, sejauh yang diekspos media, komitmen para pimpinan
mujahidin yang potensial menjadi ahlul-quwwah untuk perjuangan
Islam sangatlah kuat. Hal itu terlihat dari syiar-syiar yang
didengungkan, ikrar, dan bahkan sumpah yang mereka lakukan untuk tetap
teguh berjuang bagi tegaknya syariah dan Khilafah di Syria, serta
penolakan mereka terhadap intervensi Barat dan ide negara demokrasi.
Tidak ada komentar