Header Ads

Jawaban Ke#galauan

Oleh : Fahrur Rozi
Pengagum Kopassus, Penentang RUU Ormas

Beberapa hari terakhir ramai diberitakan soal aksi ”ksatria” Kopassus (Komando pasukan khusus) TNI AD yang bikin heboh. Entah mengapa media massa, pimpinan TNI, termasuk Presiden SBY menyebut aksi penyerbuan dan pembunuhan di Lapas Cebongan, Sleman, Sabtu 23 Maret lalu, sebagai sebuah aksi ksatria.



Padahal sikap ksatria identik dengan kebaikan, kejujuran dan keteladanan. Lantas dimanakah letak kebaikan dari tindakan penyerbuan dan pembunuhan semena-mena? dimana letak kejujuran dan keteladanan dari segerombolan tentara yang menyelinap di kegelapan malam, memakai topeng, memukul sipir ‘tak berdosa’ dan membrondong lawan yang tak bersenjata?

Peristiwa tersebut menambah kegalauan kita dalam bernegara. Ada beraneka ragam pendapat dan penilaian, ada pro dan kontra. Sepertinya disini hanya ada satu titik kesepahaman, bahwasanya semakin hari rasa aman kita makin terancam; di rumah rawan perampokan, di jalan sering kecopetan, bahkan dipenjara sekalipun sangat mudah terjadi pembunuhan.

Salah satu komentar antitesis datang dari mantan kepala BIN Letjend (Purn) AM Hendropriyono, “Perilaku 11 tentara tersebut secara Hukum salah, tapi secara Moral benar!” artinya apa? Artinya sederhana, tingkat ketidakpercayaandan ketidakpuasan terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum sudah beradadi titik nadir.

Ini terjadi ketika hukum seperti pisau belati, tajam ke bawah, sebaliknya tumpul ke atas.Anak menteri yang menabrak orang sampai mati hanya di dituntut enam bulan bui,itupun hukuman percobaan alias tidak harus masuk bui. Beda perlakuan jika Orangbiasa yang melakukan hal yang sama. Tuntutannya hukuman mati!. Para prajurit Kopassus pesimis preman-preman pelaku pembunuhan rekan mereka akan dihukum setimpal. Apalagi salah seorang pelaku pengeroyokan adalah Polisi. Faktanya selama 68 tahun indonesia merdeka, belum pernah ada anggota kepolisian yang dikenakan hukuman mati.

Contoh kekeliruan persepsi dapat dilihat juga dalam pembahasan RUU Ormas. Pengaturan Ormas melalui UU sejatinya tidak diperlukan apabila pemerintah memandang ormas sebagai salah satu bentuk kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan kolektif. Namun justru terbalik,pemerintah lebih melihat masyarakat sebagai sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sehingga dianggap UU yang mengatur ormas diperlukan. Pemerintah yang baik semestinya memberi apresiasi atas kontribusi dan partisipasi yang diberikan sejumlah elemen masyarakat, bukan malah memberangus dan mengkebiri hak rakyat untuk berkumpul dan berorganisasi

Pemerintah dan DPR berniat mengatur dan mengawasi warga sipil secara ketat, sementara perilaku pejabat pemerintah dan anggota DPR sendiri banyak yang melanggar aturan dan ngedumel ketika diawasi dan dikitisioleh rakyat. Ketentuan-ketentuan dalam RUU Ormas semisal larangan bagi Ormas untukterlibat dalam ranah politik (draft pasal 7), proses pendaftaran dan verifikasi ormas yang berbelit-belit (draft pasal 40-42), maupun kewenangan pemerintah untuk membubarkan Ormas tanpa keputusan dari pengadilan (draft pasal 62), mengindikasikan ketakutan negara terhadap rakyatnya.

Ini ironis, bukankah ketakutan negara disebabkan karena perilakunya sendiri yng tidak mensejahterakan rakyat? lantas, kenapa warga negara yang disalahkan dan dibasmi hak sipilnya?

Kegalauan dalam mensikapi penyerbuan Kopassus serta dalam pembahasan RUU Ormas memprihatinkan. Hal itu menunjukkan karakter masyarakat kita yang hidup dalam kebimbangan.

Masyarakat kitamemang terkadang naif dan sangat subjektif. Mungkin saja karena mereka kurang ‘well-informed’ atau cuma memedulikan urusan masing-masing. Budaya permisif dan apatisme merupakan penyebab utama rasa bimbang yang berkepanjangan itu. Sikap masa bodoh pada sejumlah kalangan kini tampak dalam skala yang cukup massal dan bersifat sistemik.

Ternyata,demokrasi di negeri ini dapat dikatakan gagal karena faktanya demokrasi mengubah negara dan rakyat menjadi demo-crazy(demo=rakyat, crazy=gila). Ciri utama ”sukses” demokratisasi tak lain adalah perilaku korupsi.

Sama seperti sikap masa bodoh, korupsi berlangsung cukup massal dan bersifat sistemik. Bayangkan saja, sekitar sepertiga dari gubernur diperiksa KPK. Sekitar seperempat dari hampir 500 pemimpin daerah idem dito.

Rasa bimbang berkepanjangan yang disebabkan oleh apatisme itu masih berlangsung sampai saat ini. Kita tidak tahu lagi mau memercayai siapa yang memiliki otoritas informasi-informasi vital setiap kali ada masalah berskala nasional. Ini karena media-media mainstream acap kali meng-kooptasi dan pandai memanipulasi berita. Media-media sangat tendensius memojokan Kopassus yang menembak mati 4 orang preman tapi sebaliknya menutup mata atas aksi Densus 88 yang dalam 8 tahun terakhir membunuh 90 orang yang baru sebatas ‘diduga’ sebagai teroris.

Akal sehat kita seringkali dilecehkan. Misalnya ketika negeri agraris ini dilanda krisis kelangkaan komoditas, mulai dari kacang kedelai, daging sapi, sampai bawang. Sungguh menyeramkan mengetahui bahwa pelaku penyerbuan terhadap Lapas Cebongan adalah tentara negara. Tatkala Bintara polisi sibuk pungli dan petingginya sibuk korupsi,para penjahat dengan sangat leluasa bebas beraksi. lengkap sudah..

Ibarat lingkaran setan, krisis laten yang mewabah ini tak akan pernah bisa berakhir manakala tidak ada perubahan mendasar; ganti rezim ganti sistem. Mengharap Pemilu-Pilpres 2014 sebagai momentum perubahan baru ibarat “pungguk merindukan bulan.” Hampir mustahil, melihat amburadulnya persiapan pemilu, maraknya manuver politik tidak sehat, dan buruknya mentalitas para politisi penerus dinasti. Mengutip komentar ketua DPR Marzuki Ali, “mana ada partai politik yang bersih?” ironis!

Benar, harapan itu pasti ada. Tapi itu bukan demokrasi yang cacat secara konseptual maupun faktual. Kita akan menemukan sinar di ujung terowongan sana manakala kita berani berfikr jenih melirik Islam sebagai Solusi… insyaalloh [fr][www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.