Header Ads

Jawaban atas Tuduhan Terhadap HTI Terkait Status “Ormas Islam” (I)

Pernyataan Seorang Aktivis ’Gerakan Underground’ Sekitar Tahun 2008:
“Hizbut Tahrir Indonesia apa bedanya dengan PKS? Tidak furqan, berkorporasi dengan pemerintah NKRI, Karena HTI daftar di Departemen Sosial.”

POIN-POIN TANGGAPAN & JAWABAN[1]:

Pertama: HTI Tidak Daftar di Depsos Tapi Depkumham

HTI tidak mendaftarkan diri sebagi Ormas Islam di Departemen Sosial (Depsos) tapi di Depkumham. Dengan menyebut HTI tidak furqan artinya HTI tidak memisahkan haq dengan bathil? Karena menurut para ulama’ diantaranya Al-Hafizh Ath-Thabari (2/70), makna furqan adalah:


الفصل بين الحق والباطل

“Pemisah antara yang haq & yang bathil”.

HTI mencampuradukkan antara yang haq & yang bathil? Na’udzubillaah tsumma na’udzubillaah. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2]: 42)

 Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil -rahimahullaah- menjelaskan:

أي لا تخلطوا الحق بالباطل، فالباء للإلصاق وبذلك فالآية تنهى عن أمرين: خلط الحق بالباطل وكتمان الحق وهم يعلمون؛ فإن خلط الحق بالباطل تضليل، وكتمان الحق إخفاء له وتضييع له وكلاهما من الكبائر في دين الله

“Yakni janganlah kalian mencampurkan antara kebenaran dengan kebatilan, dan huruf ba’ (dalam ayat ini) untuk menunjukkan pencampuran. Maka ayat ini mengandung dua larangan: Pertama, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Kedua, menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya; maka perbuatan mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan merupakan penyesatan, dan menyembunyikan kebenaran yakni menyembunyikannya dan menghilangkannya, maka kedua perbuatan tersebut merupakan dosa besar dalam Din Allah.”[2]

Dan HTI menentang perbuatan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, maka berhati-hatilah dengan perkataan yang mengandung tuduhan tersebut, Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا (وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

“Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya, beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali). Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Kedua: Kedudukan Hukum Islam di r al-Islâm & Dâr al-Kufr

Sebelum kita kaji bit-tafsil mari kita perhatikan maqalah para ulama’ yang masyhur ketaqwaan, keikhlasan serta ilmunya tentang halal-haram. Al-Imam al-Syafi’i menegaskan:

أن الحلال في دار الإسلام حلال في دار الكفر، والحرام في دار الإسلام حرام في دار الكفر

“Bahwa yang halal di Dâr al-Islâm (Negara Islam), halal pula di Dâr al-Kufr, bahwa yang haram di Dâr al-Islâm haram pula di Dâr al-Kufr.”[3]

Dan kami tegaskan bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara para ulama. Al-Imam al-Syawkani berkata:

فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وجدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها

“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat bagi kaum Muslim di manapun dia berada dan Dâr al-Harbi[4] tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[5]

Sebagai contoh, uang yang diberikan oleh seorang calon Walikota/Gubernur ketika kampanye adalah dianggap risywah. Mengapa? Rasulullah SAW bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Laknat Allah atas penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Ibn Majah)[6]

Imam Al-Qaari’ menjelaskan: “Maksud (hadits tersebut) yang memberi dan yang mengambil risywah.  Yang dimaksud risywah adalah sarana (yang mengantarkan) pada suatu hajah (maksud) dengan rekayasa. Ada (juga) yang menyatakan bahwa risywah adalah yang diberikan untuk membatilkan yang haq atau menjadikan yang batil menjadi haq.”[7]

Hal yang sama dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibn Al-Atsir seperti dikutip oleh Ibn Mandzur dalam kitab Lisaanul ’Araab-nya.[8]

Dalam riwayat lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amru berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

“Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Al-Tirmidzi. Hadits hasan shahih)[9]

Di sisi lain, menjadi Gubernur (dalam sistem jahiliyyah seperti Demokrasi) hukumnya haram. Gubernur adalah hakim sebagaimana Presiden. Jadi kita tidak boleh mencalonkan menjadi Presiden atau Gub/Wagub. Maka, hukum memilihpun sama. Dalam hal ini, hukum memberi/menerima uang dalam Pilgub termasuk risywah dan tidak boleh karena Pilgub termasuk aktivitas batil dan menjadikan yang batil menjadi yang haq. Inilah hujjah sehingga kita memasukkan kasus di atas ke dalam makna risywah. Wallaahu a’lam.

Ketiga: HTI Tidak Mengikuti Perbuatan Menghalalkan Apa yang Diharamkan Allah Atau Sebaliknya

Benar bahwa hukum yang berlaku di negeri ini adalah hukum kufur. Lalu apakah registrasi di Depkumham adalah bertahkim pada hukum kufur/thaghut? Al-Hafizh Ibn Katsir meriwayatkan bahwa ketika Al-Qur’an menyebut orang-orang Yahudi & Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai ’Arbaab’ (QS. At-Taubah : 31), Adi bin Hatim berkata: ”mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka?” Nabi pun menegaskan, ”tapi mereka mengharamkan yang halal & menghalalkan yang haram lalu mereka, orang Nasrani & Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka.”[10]

Lebih lengkapnya, hadiits ini diriwayatkan Imam al-Thabraniy dalam kitabal-Mu’jam al-Kabiir[11]:

“Dari ‘Adiy bin Hatim, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi SAW dan di leherku tergantung sebuah salib yang terbuat dari emas.” Lantas Rasulullah SAW bersabda:

«يَا عَدِيُّ اطْرَحْ هَذَا الْوَثَنَ مِنْ عُنُقِكَ»،

Wahai ‘Adiy, tanggalkan berhala itu dari lehermu.

Lalu aku tanggalkan salib ini (dari leherku-pen.) lalu beliau SAW membaca ayat bara’ah (surat al-Tawbah) yakni membaca ayat ini:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ

“Mereka menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Rabb selain Allah” (QS. Al-Tawbah [9]: 31)

Hingga beliau terdiam, maka aku berkata: ”Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka”. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

«أَلَيْسَ يُحَرِّمُونَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُونُهُ، ويُحِلُّونَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتَسْتَحِلُّونَهُ؟»

Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan kalian ikut mengharamkannya? Dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan kalian pun ikut menghalalkannya?”.
Aku berkata: ”Ya”. Lalu beliau SAW bersabda:

فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ

Itulah bentuk penyembahan kepada mereka”.

Maka siapa pun yang menghalalkan yang haram atau sebaliknya, lalu orang-orang mengikuti dan membenarkannya, menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya, artinya orang-orang tersebut menjadikan mereka sebagai Rabb! Disini HTI perlu tegaskan bahwa kita tidak mengikuti atau membenarkan mereka yang menghalalkan yang diharamkan Allah atau sebaliknya, wal ’iyadzu billaah.

Justru sebaliknya, selama ini HTI aktif dan lantang dalam mendakwahi penguasa zhalim yang menerapkan hukum thaghut di negeri ini agar kembali kepada penerapan syari’at Islam secara menyeluruh dalam naungan Al-Khilaafah Al-Islaamiyyah, menunaikan kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya. Bukankah kita semua mendengar sabda yang mulia Rasulullah SAW:

أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, al-Thabrani, al-Bayhaqi & al-Nasa’i. Lihat: Imam al-Suyuthi, kitab al-Jami’, juz. I, hlm. 187, hadits no. 1246)

Keempat: Hukum Mendaftar Sebagai Ormas Islam di Depkumham

Jika daftar hukumnya bagaimana? Yaa akhiy al-kariim.. Al-Quran & Al-Sunnah tidak melarang kita bermu’amalah di Daarul Kufr sepanjang tidak mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya. Tentu mu’amalah tersebut ada administrasinya, misalnya berjual-beli barang ada kwitansinya, begitu pula ketika transaksi kredit/cash ada aturannya, kadang complicated kadang simple, tergantung masalahnya. Adakalanya berhubungan langsung dengan negara, dan adakalanya tidak. Misal beli rumah, kita perlu sertifikat, tentu yang mengeluarkan adalah negara. Hal ini sekali lagi (kami tegaskan) termasuk perkara administratif yang secara syar’i hukumnya mubah dan tidak ada ulama yang terpercaya (‘alim ilmu dan kejujurannya) yang mengharamkannya.

Bukankah kita mengetahui apa yang dilakukan oleh Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a. ketika ia mengadopsi sistem pembukuan administrasi dari Persia? Beliau dijuluki al-faruuq, bukan hanya karena mengharamkan apa yang diharamkan Allah, tapi juga menghalalkan apa yang dihalalkan Allah. Dan beliau termasuk Khalifah di antara al-Khulafaa’ al-Raasyidiin, para khalifah seperti yang digambarkan para ulama sebagai berikut:

وكانت غاية كلّ من هؤلاء الخلفاء الأربعة خدمة الإسلام في دعوته ودولته، وكانوا حريصين على المصلحة العامة لجماعة المسلمين، وكلّ منهم كان يسترشد استرشادا كاملا بالقرآن الكريم وبأقوال الرسول صلى الله عليه وسلم وأعماله في قيادته وإرادته. ولذلك سُمُّوا ((الخلفاء الراشدين))، ويُعْرَفُ عصرُهم بعصر ((الخلفاء الراشدين)).

“Dan tujuan para khalifah yang empat ini adalah berkhidmat untuk Islam dalam aktivitas mendakwahkannya dan membangun negaranya, dan mereka sangat memerhatikan kemaslahatan umum bagi kaum muslimin, dan setiap khalifah ini mengambil petunjuk dengan petunjuk yang sempurna dari Al-Qur’an dan perkataan serta perbuatan Rasulullah SAW (al-sunnah-pen.) baik dalam kepemimpinan maupun kebijakan yang mereka kehendaki. Oleh karena itulah mereka dinamakan al-Khulafaa’ al-Raasyidiin, dan masa pemerintahan mereka dikenal pun dengan masa al-Khulafaa’ al-Raasyidiin.[12]

Semoga Allah menjauhkan kita semua dari sifat orang-orang yang sedikit ilmu namun berani banyak berbicara dan berfatwa, menyatakan ini halal atau haram tanpa ilmu sehingga ia termasuk orang yang disabdakan Rasulullaah SAW:

مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَتْهُ مَلاَئِكَةُ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

Barangsiapa berfatwa tanpa ilmu, maka dilaknat oleh Malaikat langit dan bumi.(HR. Ibn ‘Asaakir dari ‘Ali r.a, hadits ini sanadnya hasan ditakhrij pula oleh al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Jaami’ al-Shaghiir)[13]

Al-Syaikh Al-‘Alim Nawawi al-Bantani menjelaskan hadits ini:

وذلك لكونه أخبر عن حكم الله بغير علم، أفاده العزيزي

“Hal itu karena perbuatannya menjelaskan tentang hukum Allah tanpa ilmu, sebagaimana dijelaskan Imam al-‘Aziziy.”

Dalam ilmu ushûl al-fiqh, hadits di atas jelas mengandung indikasi tegas (qarînah jâzimah)[14] mengharamkan perbuatan berfatwa tanpa ilmu dengan keberadaan lafazh la’ana yang dimaknai para ‘ulama sebagai berikut:

اللعن في اللغة: هو الإبعاد والطرد من الخير و قيل الطرد والإبعاد من الله ومن الخلق السب والشتم. و أما اللعن في الشرع: هو الطرد والإبعاد من رحمة الله وهو جزء من جزئيات المعنى اللغوي فمن لعنه الله فقد طرده وأبعده عن رحمته واستحق العذاب. و الأعمال التي لعن مقترفها هي من كبائر الذنوب.

“Lafazh al-la’n secara bahasa yakni jauh dan terhempas dari kebaikan, dikatakan pula yakni terjauhkan dari rahmat Allâh dan dari makhluk-Nya secara terhina dan terkutuk. Adapun makna laknat (al-la’n) secara syar’i adalah terhempas dan terjauhkan dari rahmat Allâh dan makna ini merupakan bagian dari maknanya secara bahasa pula, maka barangsiapa yang dilaknat Allâh, maka Allâh telah menghempaskan dan menjauhkannya dari rahmat-Nya dan layak mendapatkan adzab-Nya. Dan perbuatan-perbuatan yang terlaknat itu merupakan dosa besar.”[15]

Imam al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan: 

معنى اللعن : الطرد والإبعاد على سبيل السخط، وذلك من الله في الآخرة عقوبة، وفي الدنيا انقطاع من قبول رحمته وتوفيقه.

“Makna laknat (al-la’n) adalah terhempas dan terjauhkan masuk ke jalan kemurkaan, yakni terhempas dan terjauhkan dari Allâh, di akhirat mendapat siksa, dan di dunia ia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.[16]

Kelima: Tidak Ada Ketentuan yang Menjerumuskan HTI Mengharamkan yang Halal (Atau Sebaliknya)

Registrasi yang dilakukan HTI tidak ada syarat batil yang memaksa, menjerumuskan dan mengkondisikan HTI menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya, karena jika ada syarat yang seperti itu tentu hal tersebut menjadi batil. Rasulullah SAW menegaskan:

كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل

“Setiap syarat yang bukan dari Kitabullaah maka ia bathil.” (HR. Ibnu Hibban 10/84)

Dalam riwayat Imam al-Nasa’i diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah batil walaupun seratus syarat. (HR. al-Nasa’i. Para perawi dalam hadits ini tsiqah)[17]

Keenam: Pesan Islam Kepada Kita untuk Menjaga Lisan

Penulis berpesan kepada mereka yang menuduh dan mencela HT karena masalah ini dengan nasihat “Jagalah Lisan Anda”, karena Islam menasihati kita dengan nasihat-nasihat emas berikut ini:

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari,  Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)

Hadits shahih yang mulia di atas telah meletakkan prinsip yang agung dalam berbicara. Tuntutan perintah dalam hadits ini hukumnya wajib, karena mengandung indikasi yang tegas “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” terhadap kata-kata perintah “maka berkatalah yang baik atau diam.

Kalimat “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” merupakan indikasi yang menunjukkan hukum wajib. Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil menjelaskan:

إذا كان الطلب مقترنًا بالإيمان أو ما يقوم مقامه كأن يكون متبوعًا بـ (من كان يرجو الله واليوم الآخر) فإنها قرينة على الوجوب

“Jika adanya tuntutan tersebut disertai keterangan iman atau yang semakna dengannya. Misalnya kalimat (Barangsiapa yang mengharapkan rahmat Allah dan (tibanya) hari Akhir) maka sesungguhnya kalimat tersebut mengindikasikan hukum wajib.”[18]

Lafazh “qul” dan “liyashmut” pun termasuk bentuk mufrad yang memberikan arti perintah. Kata “liyashmut” merupakan kata kerja mudhaari’ (sekarang atau yang akan datang) yang disertai laam al-amr (laam perintah). Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil ketika menjelaskan berbagai ungkapan yang bermakna perintah mengutarakan:

الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل)

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai huruf laam perintah.”[19]

Sama halnya dengan penjelasan Syaikh al-‘Utsaimin ketika menjelaskan shiyaghul amri (lafazh-lafazh perintah), diantaranya:

المضارع المقرون بلام الأمر

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai laam perintah.”[20]

Lebih menariknya, al-Hafizh al-Nawawi menjelaskan hadits di atas:

فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه، واجبا أو مندوبا فليتكلم . وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه، فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين . فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه . وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا

“Maknanya adalah jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, jika didalamnya mengandung kebaikan dan ganjaran pahala, sama saja apakah wajib atau sunnah untuk diungkapkan maka ungkapkanlah. Jika belum jelas kebaikan perkataan tersebut diganjar dengan pahala maka ia harus menahan diri darinya, sama saja apakah jelas hukumnya haram, makruh atau mubah. Dan dalam hal ini perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena khawatir perkataan ini berubah menjadi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan kasus kesalahan seperti ini banyak terjadi.”

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied (w. 702 H) menjelaskan hadits ini:

قوله: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر” يعني من كان يؤمن الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضوان الله “فليقل خيراً أو ليصمت” لأنّ من آمن بالله حق إيمانه خاف وعيده ورجا ثوابه واجتهد في فعل ما أمر به وترك ما نهي عنه وأهم ما عليه من ذلك: ضبط جوارحه التي هي رعاياه وهو مسئول عنها كما قال تعالى: {إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}. وقال تعالى: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}.

“Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” yakni barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang sempurna terlindung dari ‘adzab Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya “maka berkatalah yang baik atau diam” karena barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka di antara tuntutan keimanannya adalah merasa takut terhadap peringatan-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan segala hal yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya, dan diantara hal yang paling penting: menjaga apa yang ada pada dirinya yang mesti dijaga (dari kemaksiatan-pen.) dan ia bertanggungjawab terhadap itu semua sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.[21] Dan firman Allah SWT: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir[22].[23]

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied pun menegaskan:

وآفات اللسان كثيرة، ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: “هل يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم”. وقال: “كل كلام ابن آدم عليه إلا ذكر الله تعالى وأمر بمعروف ونهي عن منكر”. فمن علم ذلك وآمن به حق إيمانه اتقى الله في لسانه فلا يتكلم إلا بخير أو يسكت.

“Dan bahaya lisan itu banyak sekali, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah manusia dijatuhkan ke dalam neraka di atas hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka”[24] dan sabdanya: “Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya (tidak berguna baginya) kecuali berdzikir kepada Allah dan perkataan yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran[25] Maka siapa saja yang mengetahui hal ini dan beriman terhadapnya maka diantara tuntutan keimanannya bertakwa kepada Allah dalam menjaga lisannya, dan tidaklah ia berkata-kata kecuali perkataan baik atau diam.”[26]

Rasulullah SAW pun berpesan:

إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِل بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba Allah yang asal bicara tanpa memikirkan baik buruknya, bisa tergelincir ke dalam jurang neraka yang dalamnya melebihi jarak antara Timur dan Barat. (HR. al-Bukhari & Muslim)

Lebih jelasnya, penulis nukil hadits-hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Tidaklah manusia itu dijatuhkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad & Ibn Majah. Ini lafazh al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi menuturkan: “Hadits ini hasan shahih”)

كُلُّ كَلَامِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ

“Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya, tidak berguna baginya kecuali perkataan menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah.” (HR. al-Tirmidzi & Ibn Majah. Imam al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Muhammad bin Yazid bin Khunais”)

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied lebih jauh lagi menjelaskan:

وقال بعضهم في معنى هذا الحديث: إذا أراد الإنسان أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيراً محققاً يثاب عليه فليتكلم وإلا فليمسك عن الكلام سواء ظهر أنه حرام أو مكروه أو مباح، فعلى هذا يكون الكلام المباح مأموراً بتركه مندوباً إلى الإمساك عنه مخافة أن ينجر إلى المحرم أو المكروه

“Sebagian ulama berkata dalam menjelaskan hadits ini: “Jika manusia ingin mengatakan suatu perkataan yang mengandung kebaikan memperoleh pahala maka katakanlah, jika selainnya maka ia harus menahan diri darinya sama saja apakah perkataan yang diharamkan, makruh atau mubah. Oleh karena itu, perkataan mubah diperintahkan untuk ditinggalkan, disukai agar menahan diri darinya, lebih ringan daripada peringatan untuk meninggalkan perkataan yang diharamkan atau dihukumi makruh.”

Allah SWT berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.  (QS. Qaaf [50]: 18)

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied menjelaskan ayat ini:

واختلف العلماء في أنه هل يكتب على الإنسان جميع ما يلفظ به وإن كان مباحاً أو لا يُكتب عليه إلا ما فيه الجزاء من ثواب أو عقاب. وإلى القول الثاني ذهب ابن عباس وغيره، فعلى هذا تكون الآية الكريمة مخصوصة أي: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ} يترتب عليه جزاء.

“Dan para ulama berbeda pendapat, apakah dituliskan (dihisab-pen.) seluruh perkataan manusia termasuk perkataan-perkataan yang mubah atau tidak dituliskan perkataannya kecuali perkataan yang mengandung balasan kebaikan atau siksa? Ibn ‘Abbas dan selainnya mengambil pendapat yang kedua. Oleh karena itu, ayat al-Qur’an yang mulia ini bersifat khusus: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [27]

Al-Hafizh al-Nawawi bahkan menuliskan satu bab khusus tentang Hifzh al-Lisaan (menjaga lisan) dalam salah satu kitabnya -al-Adzkaar al-Nawawiyyah-, ia berkata:

اعلم أنه لكلّ مكلّف أن يحفظَ لسانَه عن جميع الكلام إلا كلاماً تظهرُ المصلحة فيه، ومتى استوى الكلامُ وتركُه في المصلحة، فالسنّة الإِمساك عنه، لأنه قد ينجرّ الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة

“Ketahuilah bahwa setiap mukallaf wajib menjaga lisannya dari setiap perkataan kecuali perkataan yang jelas mengandung kemaslahatan, dan ketika memutuskan untuk tidak berbicara karena lebih bermaslahat, maka disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena terkadang ditemukan perkataan mubah mengantarkan kepada keharaman atau makruh, bahkan hal ini merupakan fenomena yang banyak terjadi atau sudah menjadi kebiasaan.”[28]

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim itu ialah yang kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)[29]

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda:

كُلُّ سُلَامَى عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ يُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ يُحَامِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ وَكُلُّ خَطْوَةٍ يَمْشِيهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَدَلُّ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ

“Pada setiap ruas tulang ada kewajiban shadaqah. Setiap hari dimana seseorang terbantu dengan tunggangannya yang mengangkat atau mengangkut barang-barangnya di atasnya adalah shadaqah. Ucapan yang baik adalah shadaqah dan setiap langkah yang dilakukan seseorang menuju shalat adalah shadaqah dan orang yang menunjuki jalan adalah shadaqah.” (HR. Al-Bukhari)

Rasulullah SAW pun bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Al-Bukhari)

Al-Hafizh al-Nawawi menuturkan dalam kitab fatwanya bahwa seorang ‘alim berkata: “Lidah itu bagaikan binatang buas, jika engkau tidak mengikatnya ia yang akan menerkammu.”[30]

Ketujuh: Agama adalah Nasihat

Agama adalah nasihat, dan jika ada saudara sesama muslim melakukan kesalahan, siapapun ia, aktivis dakwah dari harakah islamiyyah manapun diantaranya syabab Hizbut Tahrir maka perhatikan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu adalah nasihat”

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Rasulullah SAW bersabda:

لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ

Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya. (HR. Muslim)

Apa maknanya? Para ulama menjelaskan:
ومعنى قوله: “الدين النصيحة” أي عماد الدين وقوامه: النصيحة

“Makna sabda Rasulullah SAW: “Agama itu adalah nasihat” yakni tiang agama dan pondasinya adalah al-nasiihah.”

Imam Ibn Daqiq al-‘Ied menjelaskan:

والنصيحة في اللغة: الإخلاص يقال: نصحت العسل إذا صفيته وقيل غير ذلك. والله أعلم.

“Lafazh al-nashiihah secara bahasa: al-ikhlaash (kemurnian), dikatakan: nashahtu al-‘asala (saya telah memurnikan madu) jika menyucikannya, dan dikatakan pula makna selainnya. Wallaahu a’lam.

Adapun penafsiran terdahap lafazh “al-nasihah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Imam Ibn Daqiq al-‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya, diantaranya bentuk nasihat untuk kaum muslimin: 

وأما نصيحة عامة المسلمين، وهم من عدا ولاة الأمر، فإرشادهم لمصالحهم في آخرتهم ودنياهم، وإعانتهم عليها، وستر عوراتهم وسد خلاتهم، ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم، وأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر برفق وإخلاص، والشفقة عليهم وتوقير كبيرهم ورحمة صغيرهم، وتخولهم بالموعظة الحسنة وترك غشهم وحسدهم، وأن يحب لهم ما يحب لنفسه من الخير ويكره لهم ما يكره لنفسه من المكروه، والذب عن أموالهم وأعراضهم وغير ذلك من أحوالهم بالقول والفعل، وحثهم على التخلق بجميع ما ذكرناه من أنواع النصيحة. والله أعلم.

“Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan  mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari beragam nasihat ini. Wallaahu A’lam.”

Catatan Irfan Abu Naveed:

Silahkan jika ada yg mau menyanggah, maka sanggahlah dengan ilmu: tulis kajian tentang masalah ini secara mendalam, sertakan dalil-dalil dengan tahqiiq al-manath dan istidlaal berdasarkan ilmu. Karena selama ini yg mengkritik HTI tentang statusnya sbg ormas, hanya komentar-komentar pendek dengan simpulan gegabah dalam masalah hukum dan takalluf dalam penggunaan dalil-dalil syara’ (termasuk kritik dari pemuda aktivis yg diskusi dengan ana di dlm artikel ini). Jika sudah dikaji dan ditulis, silahkan bagikan ke fb ane: Irfan Abu Naveed
والله أعلم بالصواب


[1] Jawaban ini penulis susun dari jawaban KH. Mushthafa Ali Murtadha’ (tokoh HTI), Ustadz Yuana Ryan Tresna (Ketua DPD HTI Kota Bandung), KH. Drs. Agus Akhyar Purakusumah (tokoh HTI Jabar) dan penulis sendiri, namun perlu penyusun (Irfan Abu Naveed) tegaskan bahwa jawaban kami ini tidak mewakili Hizbut Tahrir sebagai institusi dakwah. Yang penyusun maksud dgn “bukan jawaban HT sebagai institusi dakwah” yakni ini bukan jawaban resmi dari HT, meski dijawab oleh sejumlah pengurus HTI. Sebagaimana tertulis dalam website resmi HT (ini terkait etika berorganisasi): “Publikasi-publikasi yang diterbitkan atas nama Hizbut Tahrir Pusat dan Wilayah, Kantor Media (al-Maktab al-I’lami), Juru Bicara dan Perwakilan Media Hizbut Tahrir saja yang merupakan pendapat Hizbut Tahrir. Dan yang selain itu merupakan pendapat penulisnya, sekalipun dipublikasikan dalam website Hizbut Tahrir Indonesia, Majalah, Tabloid, Multimedia yang diproduksi Hizbut Tahrir Indonesia.”
[2] Lihat: Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah – Dar al-Ummah: Beirut. Cet. II: 1427 H/ 2006.
[3] Lihat: Al-Umm, IV/160.
[4] Negara yang memerangi Islam.
[5] Lihat: Al-Sâil Al-Jarâr, 4/152.
[6] Para perawi hadits ini tsiqah dari sanad:
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari pamannya Al-Harits bin ‘Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin Amru ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (redaksi hadits di atas).”
[7] Lihat: Aunul Ma’bud, 8/80.
[8] Lihat: Lisaanul ’Araab, 14/322.
[9] Lihat pula riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya.
[10] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 2/66
[11] Lihat pula: Al-Taariikh Al-Kabiir (VII h.108), Sunan Al-Tirmidzi (V h.279 no.3020), Al-Mu’jam Al-Kabiir (XVII h.92), Sunan Al-Bayhaqi Al-Kubra (X h.116).
[12] Lihat: Shuwarun Min Al-Taariikh Al-Islaamiy - Jaami’atul Imaam Muhammad bin Su’uud Al-Islaamiyyah – Cet. II: 1425 H/ 2004.
[13] Lihat: Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq
[14] Pembahasan tentang ini bisa dirujuk dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil (Amir HT).
[15] Lihat: al-Mal’ûnûn fî al-Sunnah al-Shahîhah, Doktor Fayshal al-Jawabirah – Wizârah al-Syu’ûn al-Islâmiyyah.
[16] Lihat: Mufradât Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Imam al-Raghib al-Ashfahani. Lihat pula As-ilatun Bayâniyyatun fî al-Qur’ân al-Karîm karya Dr. Fadhil Shalih al-Saamarâ-iy.
[17] Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata; telah memberitakan kepada kami Jarir dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Aisyah binti Abi Bakr. Begitu pula riwayat yang diriwayatkan Imam Ibn Majah dalam Sunan-nya.
[18] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah – Dar al-Ummah: Beirut – Cet. III: 1421 H/ 2000.
[19] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.
[20] Lihat: Ushuul al-Fiqh, al-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin.
[21] Lihat: QS. Al-Israa’ [17]: 36
[22] Lihat: QS. Qaaf [50]: 18
[23] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.
[24] HR. Imam Ahmad (5/236 dan 237) dan al-Tirmidzi dalam al-Iman (no. 2616); hadits ini merupakan hadits shahih yang panjang. Adapun Imam al-Tirmidzi memandang bahwa hadits ini hasan shahih.
[25] HR. al-Tirmidzi dalam Al-Zuhd (no. 2412) dari Ummu Habibah r.a.. Abu ‘Isa (Imam al-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini hasan gharib, tidak diketahui kecuali dari riwayat Muhammad bin Yazid bin Khunays.”
[26] Ibid
[27] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.
[28] Lihat: Al-Adzkâr Al-Muntakhabah Min Kalaam Sayyid Al-Abraar –Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam-, Al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi (631-676 H) – Al-Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah: Mesir.
[29] Hadits ini hadits mutawatir
[30] Lihat: Fataawaa Al-Imaam Al-Nawawi Al-Musammaa Al-Masaa-il Al-Mantsuurah, Al-Hafizh al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria bin Syarf al-Nawawi – Dar al-Fikr: Beirut.
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.