Header Ads

Miss World; Bisnis Eksploitasi Kecantikan dan Liberalisasi Perempuan


Indonesia untuk pertama kalinya didaulat sebagai tuan rumah ajang Miss World yang puncaknya akan diselenggarakan di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor dan Bali pada 28 September 2013 mendatang. Meski mengatakan bahwa perizinan Miss World ini bukan termasuk wilayah kewenangannya, namun dukungan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, atas kontes bertaraf internasional ini merupakan langkah yang berani dan patut dikritisi. Pasalnya, Aher menyatakan akan menjamin ditiadakannya kontes bikini yang biasa ada dalam ajang Miss World ini.



Disadari atau tidak, ajang semacam Miss World realitasnya telah menjadi simbol eksploitasi perempuan yang dikemas dengan sangat cantik demi kepentingan bisnis. Meskipun dikatakan tak hanya mengutamakan Beauty, tapi juga Brain dan Behavior, namun kenyataannya tetap saja unsur kecantikan yang menjadi penilaian utama. Jika memang tidak hanya kecantikan yang menjadi unsur utama penilaian, pernahkah kita temui gelar Miss World disandang oleh wanita berkaki satu, mata cacat, pendek atau gendut walaupun ia cerdas dan bertata krama? Jawabannya jelas tidak. Disisi lain, dari ajang tersebut keuntungan besar diraup oleh pihak EO dan sponsor dari kalangan produsen fashion, kosmetik, perusahaan iklan dan film yang menjadikan “sang putri” sebagai kapstok atau etalase berjalan bagi produk mereka. 

Dilihat dari sejarahnya, penyelenggaraan Miss World kental dengan unsur kepentingan bisnis. Miss World berasal dari kontes bikini di Inggris tahun 1951 dimana perusahaan bikini memiliki andil besar dalam kontes tersebut. Mendapati banyaknya penonton setelah disiar­kan langsung melalui televisi, akhir­nya bisnis ini dikembangkan menjadi bisnis televisi. Di Indonesia, hak siar Miss World sepenuhnya dikuasai oleh MNC Grup, perusa­haan milik Hary Tanoesoedibjo. MNC akan menjual hak siarnya kepada stasiun televisi di 140 negara di dunia. Kepentingan bisnis yang menjadi tujuan utama semakin terlihat jelas tatkala Liliana, istri Hary Tanoesoedibjo sekaligus Chairwoman Miss Indonesia Organization, mengatakan bahwa meskipun ada negara-negara yang tidak mengirimkan wakil, akan tetap akan menyiarkannya.

Michel Foucault berpendapat, dalam dunia global, antara nilai jual tubuh, hasrat, dan kekuasaan kapitalis terdapat hubungan yang tidak terpisah. Eksploitasi tubuh wanita tersebut dimuluskan melalui media; televisi, koran, majalah, video, dan lain-lain. Maka benarlah pernyataan bahwa tubuh wanita hari ini adalah komoditi dan alat dagang demi kepentingan bisnis dan media massa adalah kendaraannya.

Miss World pun menjadi jalan cantik bagi penyebaran budaya liberal dan hedonis. Bila penyelenggaraan kontes pamer aurat ini berhasil dilaksanakan di Indonesia yang berstatus sebagai negeri Muslim terbesar di dunia, maka hal ini akan semakin menguatkan opini  dunia bahwa negeri muslim lain pun seharusnya juga bisa menerima ajang tersebut. Di sisi lain, penyelenggaraan ajang ini telah berhasil memunculkan euforia. Begitu banyak perempuan yang akhirnya terobsesi menyandang gelar Miss World dengan segala kemewahan hidup yang diraihnya; serba glamour, hedon, dan liberal baik dalam berperilaku, cara berpakaian, cara berpikir, otomatis menciptakan role model baru mengenai sosok perempuan modern yang seolah harus ditiru. 

Klaim yang menyatakan bahwa ajang Miss World dapat digunakan sebagai ajang untuk menaikkan nilai pariwisata Indonesia, terlihat jelas merupakan sebuah alasan yang dipaksakan. Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh untuk mempro­mosikan pariwisata Indonesia tanpa harus mengorbankan kehormatan kaum wanita. Sebuah pernyataan yang terlalu dangkal bila diharapkan investor asing akan masuk hanya melalui hajatan ini sebab dalam menginvestasikan usaha butuh banyak pertimbangan ekonomis. 

Inilah fakta yang bisa kita lihat, potret perempuan dalam dunia demokrasi tidak jauh berbeda dengan manekin yang dijadikan sebagai alat pemajang produk baru dari toko pakaian. Atau lebih jauh lagi, bahwa perempuan yang hidup di alam yang serba bebas ini tidak lebih dari sekedar komoditi dan barang yang bisa dieksploitasi. Bagi mereka yang berpikir, hal ini semakin membuktikan bahwa demokrasi dengan sistem ekonomi kapitalismenya secara nyata memenangkan kepentingan bisnis jauh diatas rakyat. Oleh karenanya, penolakan ajang Miss World oleh kaum Muslim menjadi sebuah keharusan.

Kondisi ini tidak akan terjadi manakala masyarakat meninggalkan sistem demokrasi-kapitalis dan menerapkan aturan Islam. Islam menempatkan perempuan pada posisi mulia, baik  dalam sebuah keluarga bahkan sebuah bangsa. Karenanya perempuan dihormati, bukan dieksploitasi. Tidak ada tempat bagi mereka yang ingin menempatkan perempuan sebagai daya tarik sebuah produk, dan tidak akan dibiarkan bila ada perempuan yang ingin mempertontonkan auratnya, apalagi dalam kontes di depan umum dan disiarkan ke seluruh penjuru dunia. Di sisi lain, nilai seorang perempuan dalam Islam ditentukan oleh ketakwaan dan sumbangsihnya bagi kebaikan dan perbaikan masyarakat. Perempuan yang mulia bukanlah yang paling proporsional ukuran fisiknya, tapi yang berilmu dan berdedikasi tinggi dalam menyumbangkan waktu, ilmu dan hartanya untuk kemaslahatan rakyat.

Hanya saja, negara yang menerapkan aturan Islam secara paripurna untuk mengatur hal tersebut, yakni Khilafah, belum ada. Padahal keberadaan Khilafah inilah akan menjadi tameng dan melindungi kemuliaan seorang wanita.[www.al-khilafah.org]

Kamila Aziza Rabiula
Staf Kajian Strategis BEM Kema FKep Universitas Padjadjaran


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.