Tanggapan Atas Artikel “Siapa Di Belakang HT, dan Sejenisnya yang Menghambat Dakwah Parlemen”
Oleh: Adi Victoria
Penulis Buku Khilafah The Answer
Menarik rasanya membaca artikel yang dibuat oleh saudara Dodi Indra Permadi, yakni sebuah tulisan yang berupaya memberikan penjelasan bahwa kira nya tidak tepat mengatakan bahwa dakwah via parlemen tersebut. Namun sangat disayangkan, sang penulis tidak menyebut literatur dari pendapat resmi HT tentang Demokrasi dan Parlemen itu sendiri, hanya membuat kesimpulan sepihak, dan itu juga membuktikan bahwa penulis dalam hal ini Dodi Indra Permadi tidak tahu hakikat dari fikrah dan thariqah dakwah Hizbut Tahrir itu sendiri.
Kita bisa mengambil contoh kalimat dari artikel tersebut yang menyebutkan “DUA langkah telah dilakukan untuk menghambat perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar di parlemen, pertama, mengharamkan parlemen dan jalan menuju ke parlemen yaitu pemilu atau demokrasi, kedua, membentuk opini negatif dengan jalan mengungkap kelemahan, kejelekan dan kesalahan orang-orang yang berjuang di parlemen, dari dua langkah tersebut diharapankan umat Islam menjauhi dan tidak mendukung perjuangan di parlemen.”
Saya sendiri sebenarnya tidak tahu, ini pendapat yang ingin dinisbatkan kepada gerakan mana, tapi saya lihat sepertinya ini ditujukan kepada Hizbut Tahrir,karena di judul artikel yang disnggung adalah Hizbut Tahrir (HT).
Dan saya melihat, kesimpulan sang penulis adalah karena ketidaktahuannya akan fakta demokrasi dan parlemen itu sendiri, seolah-olah, gerakan dakwah yang menolak konsep demokrasi juga mengharamkan parlemen, padahal dua fakta tersebut adalah berbeda, sehingga hukum yang berkaitan dengannya pun berbeda.
Pandangan Hizbut Tahrir tentang Pemilu & Demokrasi.
Tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Karena pemilu merupakan stempel demokrasi.
Sementara itu, sikap ideologis terhadap pemilu mengharuskan kita, pertama-tama harus memahami fakta pemilu itu sendiri, agar kita tahu hukum syara’ yang terkait dengan pemilu ini.
Sistem demokrasi berdiri di atas dua pilar, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Pilar pertama, dan ini yang terpenting, bahwa yang berhak dalam membuat hukum dan perundang-undangan yang digunakan negara mengurus urusan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Pilar kedua, rakyat juga dijadikan sebagai pemilik hak dalam memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya bahkan mencopotnya dalam sebagian sistemasi.
Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, kecuali pemilu kepala negara dalam banyak sistem, maka sistem ini menetapkan, bahwa rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat dalam hal legislasi dan penetapan perundang-undangan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif. Dalam sebagian sistem, parlemen mewakili rakyat dalam memilih kepala negara.
Inilah sistem yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijalankan oleh banyak bangsa dan umat sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara dan pembuatan hukum. Berkembang dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalis maupun riil, tidak lebih karena dominasi peradaban Barat yang telah menyerang umat Islam sejak dua abad lalu. Mereka yang diserang peradaban tersebut dengan berbagai pemikiran dan sistemnya adalah dunia Islam, termasuk negeri Indonesia.
Islam dan Parlemen
Tidak ada satupun literatur resmi Hizbut Tahrir yang menyebut parlemen adalah haram. Bahkan, sejarah mencatat salah seorang ‘ulama senior Hizbut Tahrir yang bernama Syaikh Ahmad Da’ur pernah mejadi wakil Hizbut Tahrir di Yordania., walaupun kemudian beliau dikeluarkan dari parlemen tersebut dan dipenjara, dan itu terjadi karena vokal nya beliau dalam mendakwahkan Islam di dalam parlemen, membongkar makar penguasa Yordania dengan negara Inggris dll.
Parlemen dalam pandangan Hizbut Tahrir hanyalah sebuah wasilah dakwah, bukan thariqah dakwah. Thariqah dakwah bagi Hizbut Tahrir adalah bersifat baku, sedangkan masuk ke dalam parlemen itu adalah sebuah pilihan dakwah yang hanya memanfaatkan wasilah dakwah saja, bisa diambil bisa juga tidak. Karena masuk ke dalam parlemen untuk berdakwah jelas hukumnya mubah dan berdakwahnya itu sendiri wajib.
Yang dihukumi oleh Hizbut Tahrir bukanlah parlemennya, namun aktivitas di dalam parlemen itu sendiri. Dan kita melihat fakta menunjukan bahwa aktivitas mereka di dalam sana bukan mendakwahkan syariaqh Islam secara kaffah, melainkan ikut-ikutan membuat hukum. Padahal yang berhak membuat hukum itu adalah sang pembuat akal manusia yakni Allah swt, bukan hukum yang berasal dari akal manusia yang bersifat lemah dan terbatas.
Jadi, tidak benar bahwa Hizbut Tahrir mengharamkan parlemen, yang Hizbut Tahrir haramkan tentang demokrasi itu adalah aktivitas dalam mengambilnya, menerapkannya, dan mempropagandakannya. Karena demokrasi itu adalah sistem kufur. Sedangkan parlemen itu sendiri tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri.
Dakwah itu tidak mengenal orang, ruang serta waktu. Siapapun, dimanapun serta kapanpun maka dakwah harus tetap dijalankan. Ini karena dakwah adalah perkara yang wajib yang telah dibebankan kepada individu kaum muslimin ataupun secara berkelompok (harokah). Termasuk dalam masalah tempat dakwah (majal dakwah) yakni di parlemen.
Ada kesalahfahaman menghinggapi sebagian aktivis dakwah, baik yang pro dakwah via parlemen Kesalahan ini terjadi karena kurang tepatnya dalam melihat fakta tentang dakwah di parlemen itu sendiri.
Hujjah yang pro dakwah via parlemen
Mereka yang pro dakwah di parlemen berhujjah dengan menggunakan pendapat sebagian ‘ulama terkait dakwah di parlemen.
Berikut saya kutibkan uraikan pendapat para ulama tersebut, yang saya ambil dari situs dakwatuna.com:
Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Majalah Al-Ishlah pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?
Pendapat Syaikh Al Utsaimin
Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H. bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara dengan Syaikh Utsaimin. Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?
Syaikh Al-’Utsaimin menjawab:
“Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat, baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’.
Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.
Namun, tindakan meninggalkan majelis ini sehingga diisi oleh orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah merupakan perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah swt. menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar menguasai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak.” (lihat majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)
Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam tercantum:
“Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.”
Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:
Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melampoi batas, meng hilangkan hak-hak, dan mendorong berlaku kejahatan, kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempit sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. Serta menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah.
Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa Rasulullah. Yang menjadikan mereka berpikir seperti itu adalah kurangnya memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan hal yang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar, maka permasalahannya jadi terbalik.
Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum Allah dan Rasul-Nya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa Rasulullah saw. padahal Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya agar manusia menjalankan keadilan, yang dengan keadilan itu bumi dan langit ini di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara, maka itulah syariat Allah dan agama-Nya. Allah swt. Maha Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.
“Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itu sendiri. Kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat, tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan Allah dan Rasul-Nya.”
Dan tidak ada keraguan, bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan, bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
Syekh Shaleh Al-Fauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.”
Syeikh menerangkan: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit.”
Kritik Terhadap Mereka Yang Berdakwah di Parlemen
Pernyataan para ‘ulama di atas tidaklah salah,namun juga tidak benar 100%. Memang berdakwah itu bisa dimana saja, termasuk di parlemen, persoalannya kemudian adalah apakah aktivitas di dalam parlemen itu benar-benar sesuai dengan niat untuk mendakwahkan Islam sebagaimana syarat yang diajukan oleh ‘ulama di atas, ataukah malah sebaliknya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam dakwah di parlemen.
Pertama, mereka yang menjadi anggota dewan di parlemen, maka mereka menjadi bagian dari lembaga legislatif. Berkaitan dengan fungsi legislasi, setiap Muslim yang mengimani Allah SWT wajib menaati syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah; baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Allah SWT telah menegaskan:
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah (QS Yusuf [12]: 40).
Persoalan yang terjadi sekarang adalah mereka yang duduk sebagai anggota dewan sebagai wakil-wakil rakyat tersebut telah membuat kebijakan-kebijakanyang tidak bersumber kepada syariah islam. Padahal, jika perkara tersebut berkaitan dengan hukum yang sudah jelas hukum syariah nya, maka haram hukum nya membuat hukum yang baru yang itu bersumber dari akal manusia. Bahkan itu merupakan dosa.
Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah SWT.
Kedua, di dalam Islam, memang dikenal dengan yang namanya musyawarah., pun di parlemen pun ada musywarah. Namun kalau kita kaji secara cermat, musyawarah yang ada di dalam Islam dengan musyawarah yang dilakukan di parlemen itu sendiri sangat berbeda.
Dalam Parlemen, mereka yang duduk di sana memusyawarahkan hukum-hukum Allah. Semisal memusyawarahkan terkait peredaran miras di tengah-tengah masyarakat. Mereka bermusyawarah untuk menetapkan tempat mana yang boleh beredar minuman beralkohol tersebut dan ditempat mana yang tidak boleh. Padahal secara syariah, baik sedikit ataupun banyak, miras itu jelas haram dan dilarang didistribusikan ke masyarakat.
Maka jelas tidak dibenarkan seorang muslim mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim –radhiya-Llahu ’anhu— berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah:
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)
Seraya bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”
Sedangkan di dalam Islam, musyawarah itu tidak berlaku pada persoalan yang hukum syara’ nya sudah jelas.
Kita bisa melihat bagaimana rasulullah s.a.w menolak pendapat sahabat dalam masalah perjanjian hudaibiyah, termasuk menolak pendapat sahabat senior seperti Abu bakar dan Umar bin khattab.
Saking kecewanya, para sahabat tak mengindahkan perintah Rasulullah untuk menyembelih hewan qurban dan bercukur rambut meski Rasulullah telah mengulangi perintahnya itu sebanyak 3 kali..
“Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam agama kita?” (Kata Umar ditengah protesnya kepada Rasulullah)
Sedang Rasulullah saw hanya menjawab; “Aku adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”
Artinya, perjanjian hudaibiyah tersebut bukan merupakan taktik Rasulullah s.a.w, melainkan perkara yang sudah diwahyukan kepada nabi Muhammad s.a.w.
Disamping itu, musyawarah di dalam Islam hanya bagi orang islam saja, sedankan orang kafir di larang ikut dalam musyawarah tersebut.
Pengertian lebih spesifik dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani. Suatu pengambilan pendapat (akhdz al-ra’yi) baru bisa disebut sebagai syûrâ jika dilakukan oleh khalifah, amir, atau pemilik otoritas, seperti ketua, komandan, atau penanggung jawab kepada orang yang dipimpinnya. Bisa juga dilakukan antara suami-istri. Ketika hendak melakukan penyapihan anak sebelum dua tahun, mereka diperintahkan untuk memusyawarahkannya (lihat QS al-Baqarah [2]: 233). Adapun menyampaikan pendapat (ibdâ’ al-ra’y) kepada pemilik otoritas, baik penguasa, komandan, atau pemimpin, maka itu disebut sebagai nasihat; suatu aktivitas yang juga diperintahkan oleh syariah. Nasihat disampaikan kepada para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim secara umum.[ Taqiyuddin an-Nabahani, Ays-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 246.]
Dhamîr hum (kata ganti mereka) pada ayat ini merujuk kepada kaum Muslim. Itu menunjukkan bahwa pengambilan pendapat itu hanya dilakukan kepada kaum Muslim. Perintah yang sama juga disampaikan dalam firman Allah Swt. yang lain (lihat: QS Ali Imran [3]: 159).
Berdasarkan kedua ayat ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani menyimpulkan bahwa syûrâ khusus dilakukan terhadap kaum Muslim secara qath’i. Hal ini berbeda dengan ibdâ’ al-ra’y yang bisa didengarkan dari semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.[ An-Nabahani, Asy-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1, 246.]
Dengan melihat fakta aktivitas di parlemen tersebut maka jelas tidak memungkinkan bagi seorang muslim untuk berdakwah di parlemen. Kecuali jika aktivitas mereka hanya sebatas mengoreksi penguasa, bukan malah ikut-ikutan membuat hukum yang bersandarkan atas akal manusia, atau ikut memusyawarahkan hukum syariah untuk diterapkan namun dengan dasar kesepakatan musyawarah itu sendiri. Padahal kedua-kedua nya jelas suatu aktivitas yang bathil.
Jangan sampai niat awal masuk ke dalam parlemen yakni untuk berdakwah, menyampaikan risalah Islam, ingin mempengaruhi sistem namun malah terpengaruhi, niat awal ingin mewarnai namun malah terwarnai.
Maka menarik ketika menyimak pendapat Syaikh Bin Baz ketika di tanya hukum dakwah di parlemen, beliau menjawab:
“Masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya, namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agama Allah swt. berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.”
Persoalannya kemudian di dalam Islam, standar amal seseorang untuk diterima oleh Allah s.w.t bukan hanya persoalan niat, namun juga persoalan syar’i ataukah tidak jalan yang ditempuh itu.
Sedangkan diparlemen setidaknya ada 3 aktivitas yaitu budgeting, pengawasan, legislasi. terkait budgeting dan pengawasan itu tidak masalah tapi yang menjadi masalah adalah aktivitas legislasi yang tidak menjadikan Islam sebagai satu-satunya dasar rujukan hukum. maka haram hukumnya menjadi anggota parlemen karena aktivitas legislasi itu kecuali dia bisa menghindari atau tidak terlibat aktivitas legislasi. Masalahnya apakah bisa? Wallahu a’lam bisshowab.[] [islamposwww.al-khilafah.org]
Penulis Buku Khilafah The Answer
Menarik rasanya membaca artikel yang dibuat oleh saudara Dodi Indra Permadi, yakni sebuah tulisan yang berupaya memberikan penjelasan bahwa kira nya tidak tepat mengatakan bahwa dakwah via parlemen tersebut. Namun sangat disayangkan, sang penulis tidak menyebut literatur dari pendapat resmi HT tentang Demokrasi dan Parlemen itu sendiri, hanya membuat kesimpulan sepihak, dan itu juga membuktikan bahwa penulis dalam hal ini Dodi Indra Permadi tidak tahu hakikat dari fikrah dan thariqah dakwah Hizbut Tahrir itu sendiri.
Kita bisa mengambil contoh kalimat dari artikel tersebut yang menyebutkan “DUA langkah telah dilakukan untuk menghambat perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar di parlemen, pertama, mengharamkan parlemen dan jalan menuju ke parlemen yaitu pemilu atau demokrasi, kedua, membentuk opini negatif dengan jalan mengungkap kelemahan, kejelekan dan kesalahan orang-orang yang berjuang di parlemen, dari dua langkah tersebut diharapankan umat Islam menjauhi dan tidak mendukung perjuangan di parlemen.”
Saya sendiri sebenarnya tidak tahu, ini pendapat yang ingin dinisbatkan kepada gerakan mana, tapi saya lihat sepertinya ini ditujukan kepada Hizbut Tahrir,karena di judul artikel yang disnggung adalah Hizbut Tahrir (HT).
Dan saya melihat, kesimpulan sang penulis adalah karena ketidaktahuannya akan fakta demokrasi dan parlemen itu sendiri, seolah-olah, gerakan dakwah yang menolak konsep demokrasi juga mengharamkan parlemen, padahal dua fakta tersebut adalah berbeda, sehingga hukum yang berkaitan dengannya pun berbeda.
Pandangan Hizbut Tahrir tentang Pemilu & Demokrasi.
Tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Karena pemilu merupakan stempel demokrasi.
Sementara itu, sikap ideologis terhadap pemilu mengharuskan kita, pertama-tama harus memahami fakta pemilu itu sendiri, agar kita tahu hukum syara’ yang terkait dengan pemilu ini.
Sistem demokrasi berdiri di atas dua pilar, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Pilar pertama, dan ini yang terpenting, bahwa yang berhak dalam membuat hukum dan perundang-undangan yang digunakan negara mengurus urusan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Pilar kedua, rakyat juga dijadikan sebagai pemilik hak dalam memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya bahkan mencopotnya dalam sebagian sistemasi.
Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, kecuali pemilu kepala negara dalam banyak sistem, maka sistem ini menetapkan, bahwa rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat dalam hal legislasi dan penetapan perundang-undangan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif. Dalam sebagian sistem, parlemen mewakili rakyat dalam memilih kepala negara.
Inilah sistem yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijalankan oleh banyak bangsa dan umat sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara dan pembuatan hukum. Berkembang dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalis maupun riil, tidak lebih karena dominasi peradaban Barat yang telah menyerang umat Islam sejak dua abad lalu. Mereka yang diserang peradaban tersebut dengan berbagai pemikiran dan sistemnya adalah dunia Islam, termasuk negeri Indonesia.
Islam dan Parlemen
Tidak ada satupun literatur resmi Hizbut Tahrir yang menyebut parlemen adalah haram. Bahkan, sejarah mencatat salah seorang ‘ulama senior Hizbut Tahrir yang bernama Syaikh Ahmad Da’ur pernah mejadi wakil Hizbut Tahrir di Yordania., walaupun kemudian beliau dikeluarkan dari parlemen tersebut dan dipenjara, dan itu terjadi karena vokal nya beliau dalam mendakwahkan Islam di dalam parlemen, membongkar makar penguasa Yordania dengan negara Inggris dll.
Parlemen dalam pandangan Hizbut Tahrir hanyalah sebuah wasilah dakwah, bukan thariqah dakwah. Thariqah dakwah bagi Hizbut Tahrir adalah bersifat baku, sedangkan masuk ke dalam parlemen itu adalah sebuah pilihan dakwah yang hanya memanfaatkan wasilah dakwah saja, bisa diambil bisa juga tidak. Karena masuk ke dalam parlemen untuk berdakwah jelas hukumnya mubah dan berdakwahnya itu sendiri wajib.
Yang dihukumi oleh Hizbut Tahrir bukanlah parlemennya, namun aktivitas di dalam parlemen itu sendiri. Dan kita melihat fakta menunjukan bahwa aktivitas mereka di dalam sana bukan mendakwahkan syariaqh Islam secara kaffah, melainkan ikut-ikutan membuat hukum. Padahal yang berhak membuat hukum itu adalah sang pembuat akal manusia yakni Allah swt, bukan hukum yang berasal dari akal manusia yang bersifat lemah dan terbatas.
Jadi, tidak benar bahwa Hizbut Tahrir mengharamkan parlemen, yang Hizbut Tahrir haramkan tentang demokrasi itu adalah aktivitas dalam mengambilnya, menerapkannya, dan mempropagandakannya. Karena demokrasi itu adalah sistem kufur. Sedangkan parlemen itu sendiri tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri.
Dakwah itu tidak mengenal orang, ruang serta waktu. Siapapun, dimanapun serta kapanpun maka dakwah harus tetap dijalankan. Ini karena dakwah adalah perkara yang wajib yang telah dibebankan kepada individu kaum muslimin ataupun secara berkelompok (harokah). Termasuk dalam masalah tempat dakwah (majal dakwah) yakni di parlemen.
Ada kesalahfahaman menghinggapi sebagian aktivis dakwah, baik yang pro dakwah via parlemen Kesalahan ini terjadi karena kurang tepatnya dalam melihat fakta tentang dakwah di parlemen itu sendiri.
Hujjah yang pro dakwah via parlemen
Mereka yang pro dakwah di parlemen berhujjah dengan menggunakan pendapat sebagian ‘ulama terkait dakwah di parlemen.
Berikut saya kutibkan uraikan pendapat para ulama tersebut, yang saya ambil dari situs dakwatuna.com:
Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Majalah Al-Ishlah pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?
Pendapat Syaikh Al Utsaimin
Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H. bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara dengan Syaikh Utsaimin. Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?
Syaikh Al-’Utsaimin menjawab:
“Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat, baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’.
Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.
Namun, tindakan meninggalkan majelis ini sehingga diisi oleh orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah merupakan perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah swt. menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar menguasai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak.” (lihat majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)
Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam tercantum:
“Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.”
Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:
Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melampoi batas, meng hilangkan hak-hak, dan mendorong berlaku kejahatan, kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempit sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. Serta menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah.
Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa Rasulullah. Yang menjadikan mereka berpikir seperti itu adalah kurangnya memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan hal yang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar, maka permasalahannya jadi terbalik.
Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum Allah dan Rasul-Nya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa Rasulullah saw. padahal Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya agar manusia menjalankan keadilan, yang dengan keadilan itu bumi dan langit ini di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara, maka itulah syariat Allah dan agama-Nya. Allah swt. Maha Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.
“Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itu sendiri. Kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat, tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan Allah dan Rasul-Nya.”
Dan tidak ada keraguan, bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan, bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
Syekh Shaleh Al-Fauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.”
Syeikh menerangkan: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit.”
Kritik Terhadap Mereka Yang Berdakwah di Parlemen
Pernyataan para ‘ulama di atas tidaklah salah,namun juga tidak benar 100%. Memang berdakwah itu bisa dimana saja, termasuk di parlemen, persoalannya kemudian adalah apakah aktivitas di dalam parlemen itu benar-benar sesuai dengan niat untuk mendakwahkan Islam sebagaimana syarat yang diajukan oleh ‘ulama di atas, ataukah malah sebaliknya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam dakwah di parlemen.
Pertama, mereka yang menjadi anggota dewan di parlemen, maka mereka menjadi bagian dari lembaga legislatif. Berkaitan dengan fungsi legislasi, setiap Muslim yang mengimani Allah SWT wajib menaati syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah; baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Allah SWT telah menegaskan:
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah (QS Yusuf [12]: 40).
Persoalan yang terjadi sekarang adalah mereka yang duduk sebagai anggota dewan sebagai wakil-wakil rakyat tersebut telah membuat kebijakan-kebijakanyang tidak bersumber kepada syariah islam. Padahal, jika perkara tersebut berkaitan dengan hukum yang sudah jelas hukum syariah nya, maka haram hukum nya membuat hukum yang baru yang itu bersumber dari akal manusia. Bahkan itu merupakan dosa.
Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah SWT.
Kedua, di dalam Islam, memang dikenal dengan yang namanya musyawarah., pun di parlemen pun ada musywarah. Namun kalau kita kaji secara cermat, musyawarah yang ada di dalam Islam dengan musyawarah yang dilakukan di parlemen itu sendiri sangat berbeda.
Dalam Parlemen, mereka yang duduk di sana memusyawarahkan hukum-hukum Allah. Semisal memusyawarahkan terkait peredaran miras di tengah-tengah masyarakat. Mereka bermusyawarah untuk menetapkan tempat mana yang boleh beredar minuman beralkohol tersebut dan ditempat mana yang tidak boleh. Padahal secara syariah, baik sedikit ataupun banyak, miras itu jelas haram dan dilarang didistribusikan ke masyarakat.
Maka jelas tidak dibenarkan seorang muslim mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim –radhiya-Llahu ’anhu— berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah:
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)
Seraya bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”
Sedangkan di dalam Islam, musyawarah itu tidak berlaku pada persoalan yang hukum syara’ nya sudah jelas.
Kita bisa melihat bagaimana rasulullah s.a.w menolak pendapat sahabat dalam masalah perjanjian hudaibiyah, termasuk menolak pendapat sahabat senior seperti Abu bakar dan Umar bin khattab.
Saking kecewanya, para sahabat tak mengindahkan perintah Rasulullah untuk menyembelih hewan qurban dan bercukur rambut meski Rasulullah telah mengulangi perintahnya itu sebanyak 3 kali..
“Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam agama kita?” (Kata Umar ditengah protesnya kepada Rasulullah)
Sedang Rasulullah saw hanya menjawab; “Aku adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”
Artinya, perjanjian hudaibiyah tersebut bukan merupakan taktik Rasulullah s.a.w, melainkan perkara yang sudah diwahyukan kepada nabi Muhammad s.a.w.
Disamping itu, musyawarah di dalam Islam hanya bagi orang islam saja, sedankan orang kafir di larang ikut dalam musyawarah tersebut.
Pengertian lebih spesifik dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani. Suatu pengambilan pendapat (akhdz al-ra’yi) baru bisa disebut sebagai syûrâ jika dilakukan oleh khalifah, amir, atau pemilik otoritas, seperti ketua, komandan, atau penanggung jawab kepada orang yang dipimpinnya. Bisa juga dilakukan antara suami-istri. Ketika hendak melakukan penyapihan anak sebelum dua tahun, mereka diperintahkan untuk memusyawarahkannya (lihat QS al-Baqarah [2]: 233). Adapun menyampaikan pendapat (ibdâ’ al-ra’y) kepada pemilik otoritas, baik penguasa, komandan, atau pemimpin, maka itu disebut sebagai nasihat; suatu aktivitas yang juga diperintahkan oleh syariah. Nasihat disampaikan kepada para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim secara umum.[ Taqiyuddin an-Nabahani, Ays-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 246.]
Dhamîr hum (kata ganti mereka) pada ayat ini merujuk kepada kaum Muslim. Itu menunjukkan bahwa pengambilan pendapat itu hanya dilakukan kepada kaum Muslim. Perintah yang sama juga disampaikan dalam firman Allah Swt. yang lain (lihat: QS Ali Imran [3]: 159).
Berdasarkan kedua ayat ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani menyimpulkan bahwa syûrâ khusus dilakukan terhadap kaum Muslim secara qath’i. Hal ini berbeda dengan ibdâ’ al-ra’y yang bisa didengarkan dari semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.[ An-Nabahani, Asy-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1, 246.]
Dengan melihat fakta aktivitas di parlemen tersebut maka jelas tidak memungkinkan bagi seorang muslim untuk berdakwah di parlemen. Kecuali jika aktivitas mereka hanya sebatas mengoreksi penguasa, bukan malah ikut-ikutan membuat hukum yang bersandarkan atas akal manusia, atau ikut memusyawarahkan hukum syariah untuk diterapkan namun dengan dasar kesepakatan musyawarah itu sendiri. Padahal kedua-kedua nya jelas suatu aktivitas yang bathil.
Jangan sampai niat awal masuk ke dalam parlemen yakni untuk berdakwah, menyampaikan risalah Islam, ingin mempengaruhi sistem namun malah terpengaruhi, niat awal ingin mewarnai namun malah terwarnai.
Maka menarik ketika menyimak pendapat Syaikh Bin Baz ketika di tanya hukum dakwah di parlemen, beliau menjawab:
“Masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya, namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agama Allah swt. berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.”
Persoalannya kemudian di dalam Islam, standar amal seseorang untuk diterima oleh Allah s.w.t bukan hanya persoalan niat, namun juga persoalan syar’i ataukah tidak jalan yang ditempuh itu.
Sedangkan diparlemen setidaknya ada 3 aktivitas yaitu budgeting, pengawasan, legislasi. terkait budgeting dan pengawasan itu tidak masalah tapi yang menjadi masalah adalah aktivitas legislasi yang tidak menjadikan Islam sebagai satu-satunya dasar rujukan hukum. maka haram hukumnya menjadi anggota parlemen karena aktivitas legislasi itu kecuali dia bisa menghindari atau tidak terlibat aktivitas legislasi. Masalahnya apakah bisa? Wallahu a’lam bisshowab.[] [islamposwww.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar