Dua Ribu Intelektual Dunia Hadiri Konferensi Islam di Jakarta
Lebih dari dua ribu intelektual dari berbagai negara di dunia
menghadiri Konferensi Peradaban Islam yang diselenggarakan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) di Jakarta selama dua hari.
“Beberapa ilmuwan internasional yang hadir dalam acara ini adalah dari Aljazair, Malaysia, Libanon, Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Australia, selain dari Indonesia sendiri,” kata juru bicara HTI, Ismail Yusanto di Jakarta, Ahad (15/12).
Dia mengatakan dalam konferensi bernama ‘Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals’ tersebut panitia telah menerima 140 makalah ilmiah yang dikelompokkan dalam tujuh topik utama. Topik tersebut adalah perubahan politik global dan dampaknya pada negeri Muslim, tantangan tata kelola pemerintahan, tantangan ekonomi, kesehatan dan ketahanan pangan, manajemen energi dan sumber daya alam, perempuan dan keluarga, serta pendidikan dan iptek.
Konferensi tersebut mengangkat tema ‘The end of capitalism and the prospect of Islamic civilization under Khilafah’ atau ‘Akhir kapitalisme dan masa depan peradaban Islam di bahwa naungan Khilafah”. “Pada diskusi hari pertama, kita sepakat bahwa persoalan pada semua bidang tersebut bukan soal teknis semata, tapi terkait satu sama lain dan berakar pada pemisahan agama dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi,” kata Ismail.
Menurut dia, para intelektual meyakini bahwa Islam dengan perangkat hukumnya yang dinamakan syariat, merupakan solusi terbaik bagi persoalan-persoalan tersebut. “Dengan demikian harus ada integrasi penerapan syariat Islam dalam sistem Khilafah Islam,” kata Ismail.
Dia menegaskan Khilafah berikut syariat Islam adalah gagasan ilmiah dan rasional, bukan emosional dan bersifat historis semata seperti yang dianggap oleh sebagian masyarakat selama ini. “Selama ini syariah dan Khilafah tidak pernah digali dan dikaji secara ilmiah, termasuk di Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar. Sistem Islam selalu diidentikkan dengan studi Timur Tengah, padahal tidak ada keterkaitan antara ke dua hal ini,” ujar Ismail.
Dia menambahkan konferensi ini mengelaborasi lebih lanjut persoalan dunia, terutama yang terjadi di negeri-negeri Muslim dengan memformulasikan solusi yang berasal dari pemikiran Islam sebagai sistem kehidupan yang global. Beberapa kegiatan lanjutan dari konferensi ini antara lain penerbitan kompilasi jurnal digital dan buku, serta road show ke perguruan-perguruan tinggi.[] [republika/www.al-khilafah.org]
“Beberapa ilmuwan internasional yang hadir dalam acara ini adalah dari Aljazair, Malaysia, Libanon, Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Australia, selain dari Indonesia sendiri,” kata juru bicara HTI, Ismail Yusanto di Jakarta, Ahad (15/12).
Dia mengatakan dalam konferensi bernama ‘Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals’ tersebut panitia telah menerima 140 makalah ilmiah yang dikelompokkan dalam tujuh topik utama. Topik tersebut adalah perubahan politik global dan dampaknya pada negeri Muslim, tantangan tata kelola pemerintahan, tantangan ekonomi, kesehatan dan ketahanan pangan, manajemen energi dan sumber daya alam, perempuan dan keluarga, serta pendidikan dan iptek.
Konferensi tersebut mengangkat tema ‘The end of capitalism and the prospect of Islamic civilization under Khilafah’ atau ‘Akhir kapitalisme dan masa depan peradaban Islam di bahwa naungan Khilafah”. “Pada diskusi hari pertama, kita sepakat bahwa persoalan pada semua bidang tersebut bukan soal teknis semata, tapi terkait satu sama lain dan berakar pada pemisahan agama dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi,” kata Ismail.
Menurut dia, para intelektual meyakini bahwa Islam dengan perangkat hukumnya yang dinamakan syariat, merupakan solusi terbaik bagi persoalan-persoalan tersebut. “Dengan demikian harus ada integrasi penerapan syariat Islam dalam sistem Khilafah Islam,” kata Ismail.
Dia menegaskan Khilafah berikut syariat Islam adalah gagasan ilmiah dan rasional, bukan emosional dan bersifat historis semata seperti yang dianggap oleh sebagian masyarakat selama ini. “Selama ini syariah dan Khilafah tidak pernah digali dan dikaji secara ilmiah, termasuk di Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar. Sistem Islam selalu diidentikkan dengan studi Timur Tengah, padahal tidak ada keterkaitan antara ke dua hal ini,” ujar Ismail.
Dia menambahkan konferensi ini mengelaborasi lebih lanjut persoalan dunia, terutama yang terjadi di negeri-negeri Muslim dengan memformulasikan solusi yang berasal dari pemikiran Islam sebagai sistem kehidupan yang global. Beberapa kegiatan lanjutan dari konferensi ini antara lain penerbitan kompilasi jurnal digital dan buku, serta road show ke perguruan-perguruan tinggi.[] [republika/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar