Header Ads

Hedonis Sampai Bangkrut

Ingat pepatah besar pasak daripada tiang? Harus! Karena pepatah itu amat penting. Apalagi hidup di era kapitalisme kebangkrutan adalah sisi lain dari kemakmuran. Tahun 2013 sebuah hasil survey di tanah air menyebutkan bahwa banyak kaum muda Indonesia tergolong bangkrut. Hal itu disebabkan gaya hidup mereka yang rata-rata sangat boros. Sampai-sampai tak bisa menabung.



Ini terlihat dari hasil survei konsumen yang dilakukan Lembaga Kadence Internasional Indonesia. Penelitian ini berusaha memahami pola pendapatan dan pengeluaran masyarakat di Tanah Air.

Dari 3.000 responden yang ada di 12 kota di Indonesia, 33 persen masuk kategori hampir bangkrut (on edge). Mereka cuma bisa menabung maksimal Rp 1 juta dari pendapatan bulanannya.

Padahal pendapatan mereka terbilang lumayan besar. “Mereka yang masuk kategori on edge rata-rata pendapatannya Rp 3,9 juta, dengan pengeluaran Rp 3,5 juta,” ungkap Deputy Managing Director Kadence Rajiv Lamba di Jakarta, Rabu (20/11).

Selepas golongan hampir bangkrut, kelompok terbanyak kedua adalah mereka yang masuk kelompok bangkrut (broke). Jumlahnya sekitar 28 persen. Kelompok ini rata-rata belum menikah, di usia produktif. Defisit yang mereka alami sampai 35 persen lantaran kebanyakan dari mereka memakai kartu kredit atau meminjam dari teman.”Golongan ini bukannya miskin, pendapatan mereka rata-rata Rp 4,3 juta per bulan, tapi pengeluaran mereka sangat besar,” kata Rajiv.

Bila hanya bisa menabung Rp 1 juta perbulan saja dikatakan bangkrut, bagaimana yang tak bisa menabung? Atau lebih parah lagi yang hidupnya dari gali lubang tutup lubang. Andai survey dilanjutkan hingga kondisi seperti tersebut mungkin jumlah kaum muda yang dikategorikan bangkrut bisa jauh lebih besar lagi. Faktanya cukup banyak kaum muda dan pasangan muda yang penghasilan mereka terbilang lumayan tapi hidup dari bulan ke bulan dengan pola gali lubang tutup lubang. Bahkan ada yang lebih parah lagi, gali lubang tutup empang. Menggambarkan hutang mereka sudah kelewat besar.

Kondisi ini bukan saja terjadi di Tanah Air. Negeri jiran Malaysia juga mendapati banyak kaum mudanya di ambang kebangkrutan. Hampir 170 ribu laki-laki warga negara Malaysia dinyatakan bangkrut sejak 2005 hingga April 2012 sehingga gagal melunasi hutang-hutangnya.

Angka riilnya, 169.218 lelaki. Atau 70 persen dari total keseluruhan individu yang telah dinyatakan bangkrut pada periode sama yang mencapai 241.740 orang. Sedangkan jumlah perempuan warga Malaysia yang dinyatakan bangkrut dalam periode yang sama hanya mencapai 72.522 orang.

Apa penyebab kebangkrutan warga Indonesia dan Malaysia? Sama. Mereka terjerat gaya hidup konsumtif ingin merasakan gaya hidup kelas atas; makanan, pakaian, tempat wisata, kendaraan, gadget, dsb.

Survey di atas menjawab keheranan saya. Dulu saya terheran-heran ada individu atau keluarga muda yang hampir tiap minggu bisa makan enak di restoran. Setiap bulan ada saja jadual jalan-jalan ke tempat wisata. Tas mereka hanya bertahan 2-3 bulan untuk kemudian diganti yang baru. Pakaian orang tua hingga anak-anak selalu bermerk. Ternyata semua dibangun dari hutang dan hutang.

Gaya hidup seperti ini bukan saja dilakukan kelas menengah, tapi keluarga ekonomi lemah juga banyak yang ikut-ikutan. Ada beberapa tetangga saya yang masih tinggal di rumah kontrakan kecil tapi gadget mereka keren, hobi makan enak, dan plesiran. Padahal saya tahu mereka masih punya hutang ke kawan-kawan saya yang lain.

Mohon maaf, gaya hidup seperti ini juga menjalar ke lingkungan para ustadz dan aktifis dakwah. Saya pernah melihat mobil mewah seorang dai kondang lengkap dengan plat nomor bertuliskan nama dia. Sampai kemudian di media massa ia terlibat perang opini di media soal tarif ceramah dengan panitia yang mengundangnya.

Para aktifis dakwah juga seperti terlibat dalam ‘kompetisi’ gadget keren. Setiap ada pertemuan pasti keluar aneka gadget terbaru yang harganya bisa bikin berdecak. Okelah kalau memang itu kebutuhan dinas, tapi kalau sekedar karena boring dengan model lama, bukankah itu masuk konsumtif?

Kebangkrutan ini lekat dengan tabiat sistem ekonomi liberal. Dalam gaya hidup liberal acuan kebahagiaan adalah kepuasan materi atau hedonisme. Orang akan berkompetisi untuk mendapatkan materi karena untuk memuaskan hawa nafsu dirinya. Meski untuk itu mereka berprinsip tak apa besar pasak dari tiang, alias hutang sana-sini.

Jadi andai kita melihat kemakmuran bersliweran di jalan perekonomian liberal, rumah mewah di komplek-komplek mentereng, percayalah itu kemakmuran semu. Kemakmuran yang dibangun dari tumpukan hutang yang akhirnya akan menyeret pelakunya dalam jurang kebangkrutan. Bangkrut karena gaya hidup hedonis ala kaum kapitalis.

Kapitalisme-hedonisme memang menyeret manusia pada pusaran kompetisi tanpa garis akhir, bahkan pelakunya jatuh bangkrut pun masih tak kunjung puas. Hanya Islam yang benar-benar mengajarkan aturan hidup yang menentramkan dan menenangkan. Benarlah nasihat Nabi saw.:

اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu”(HR. Bukhari Muslim) [www.al-khilafah.org]

Sumber : iwanjanuar.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.