Header Ads

Rezim Neolib Bergaya Merakyat

Rezim Neolib Bergaya Merakyat
Ini berarti pemerintah memberikan uang cuma-cuma kepada asing. Sudah mereka mengambil migas Indonesia, diberi pasar dalam negeri, ditambah diberi subsidi, dan dilindungi lagi.



Sedikit demi sedikit, harga bahan bakar minyak (BBM) akan mencapai harga pasar internasional. Setelah dinaikkan oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2013, rezim Joko Widodo (Jokowi) melanjutkan kebijakan kenaikan harga BBM itu.

Kalau dulu bahasanya menyesuaikan kenaikan harga minyak dunia, kini bahasanya diubah menjadi mengalihkan subsidi kepada yang lebih tepat sasaran dan untuk hal-hal yang lebih produktif.

Langkah rezim mencabut subsidi, menurut Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim adalah bentuk ketundukan pemerintah kepada asing. Semua adalah bentuk liberalisasi sektor migas. “Ini kebijakan neoliberal sehingga kepentingan asing terakomodasi,” katanya.

Agustus 2010 Bank Pembangunan Asia (ADB) menyarankan pemerintah agar menghapus subsidi bahan bakar minyak. Demikian salah satu poin rekomendasi kajian Indonesia: Critical Development Constraints yang dikeluarkan oleh ADB, Bank Pembangunan Islam (IDB), dan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Apalagi Indonesia telah terikat dengan LoI (Letter of Intent) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF). Indonesia harus ‘menghapuskan setahap demi setahap subsidi minyak dan memperbaiki tarif listrik agar tingkat perdagangan dapat berjalan.’

Sejak reformasi, pemerintah telah menyusun rencana penghapusan tersebut. Pada awalnya, penghapusan subsidi BBM itu akan kelar pada tahun 2010. Proses liberalisasi itu sendiri dimulai tahun 2005. Kemudian rencana itu diundur dengan alasan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli BBM jika pemerintah sudah melepas harga BBM sesuai pasar internasional. Semua itu telah dituangkan dalam Blue Print Regulasi Hilir Migas.

Menteri ESDM Kabinet Indonesia Bersatu I Purnomo Yusgiantoro secara gamblang mengemukakan, tahun 2010 harga BBM murni akan diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Purnomo seperti dikutip Kompas, (14/5/ 2003) menyatakan: “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”

Setelah lama pemerintah belum berhasil menghapus subsidi BBM, SPBU asing yang sudah kadung membuka pompa-pompa bensin pun menuntut bisa menjual BBM bersubsidi. Selama ini mereka dilarang menjual BBM bersubsidi.

Dan benar saja, pemerintah memberi lampu hijau. Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) mengklaim empat Ketua Komite Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) akan meliberalisasi bisnis distribusi SPBU di Jawa-Bali pada 2013. Hal itu dikemukakan oleh Ketua Hiswana Migas Eri Purnomohadi pada akhir 2012 lalu. Ia mempertanyakan, apa benefit (keuntungan) yang didapat negara dari proses liberalisasi ini?

Bahkan sebelum itu, sumber di BPH Migas mengemukakan, pada 2012 pemerintah memberikan kuota sebesar 0,5 persen dari kuota BBM subsidi yang diberikan sebesar 40 juta KL (kiloliter) kepada beberapa perusahaan SPBU asing di luar Jawa dan Bali seperti PT Petronas Niaga Indonesia, PT Surya Parna Niaga dan PT Aneka Kimia Raya Corporindo (AKR) untuk bersama-sama PT Pertamina menyalurkan BBM subsidi.

Ini berarti pemerintah memberikan uang cuma-cuma kepada asing. Sudah mereka mengambil migas Indonesia, diberi pasar dalam negeri, ditambah diberi subsidi, dan dilindungi lagi. Lengkap sudah penderitaan rakyat yang melarat karena terjerat para penguasa pengkhianat. Lha, apa ini mencintai rakyat?

Liberalisasi Haram

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menjelaskan, dalam prinsip ekonomi Islam, BBM adalah hak rakyat dan bagian dari kepemilikan umum. “Dari tiga prinsip kepemilikan dalam Islam (individu, umum, dan negara), energi itu adalah bentuk kepemilikan umum,” jelasnya.

Ia kemudian mengutip hadits Rasulullah, ‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api’. Para ulama, jelasnya, mengatakan bahwa naar (api) di sini adalah energi yang itu menjadi milik rakyat, baik kaya maupun miskin. “Dan negara dalam pandangan Islam wajib mengelolanya atas nama rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat,” kata Ismail.

Karena itu, Ismail mengungkapkan, secara syariah liberalisasi migas adalah sesuatu yang diharamkan oleh Islam. “Mestinya MUI mengeluarkan fatwa haramnya liberalisasi migas,” tandas alumni geologi UGM ini.

Solusi

Lebih jauh Arim menawarkan solusi sistemik terhadap karut marut pengelolaan migas di Indonesia. Pertama, mengembalikan pengelolaan migas kepada negara karena dalam Islam hanya negara yang boleh mengelola dan mengambil untung. Untungnya ini kemudian dipergunakan untuk kepentingan umum.

Kedua, efisiensi di seluruh mata rantai produksi dan distribusi. Bila minyak mentah masih harus diimpor, maka pemerintah seharusnya melakukannya langsung, tanpa melalui broker. Bersamaan dengan itu, mafia migas harus diberantas secara tuntas.

Ketiga, pembenahan transportasi publik.Karena dari sisi konsumsi, lanjutnya, bila transportasi publik dibangun dengan massif, maka konsumsi BBM untuk transportasi dapat ditekan, kemacetan diurai, dan sekaligus polusi dan pemanasan global juga dapat diturunkan.

Keempatsegera mewujudkan energi alternatif selain fosil secara serius misalnya optimalisasi energi terbarukan (geotermal, surya, angin, ombak dan bahan bakar nabati) untuk lebih banyak diusahakan.

“Potensi geotermal yang 27 GW hampir sama dengan seluruh daya PLN saat ini. Dan itu semua sulit diwujudkan oleh sistem pemerintahan demokrasi kapitalis yang hanya berpikir lima tahunan karena ini merupakan proyek jangka panjang,” tandasnya.

Selain itu, lanjutnya, perlu ada perubahan politik anggaran secara total dan mendasar. Ini terkait dengan kebijakan dan struktur anggaran, termasuk mekanisme penganggaran. Ia menawarkan, sistem penganggaran dalam Islam. “Perubahan ini hanya bisa terwujud dalam sistem Islam. Di sinilah urgensi membangun kembali khilafah Islamiyah,” tandasnya. (mediaumat.com, 26/11/2014) [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.