Hak Siapa Berfatwa?
"Jangan macam-macam membuat fatwa jika tidak bisa berbahasa Arab".
Seorang dosen telah mengeluarkan pernyataan dalam sebuah forum mahasiswa. Menyerang kelompok yang berpegang Islam berdasarkan dalil yang kuat. Jika umat muslim ditanya mengenai pernyataan tersebut, saya yakin semuanya juga akan sepakat. Tidak semua orang bisa mendapat legitimasi untuk mengeluarkan fatwa. Bahkan, dalam proses berfatwa ia harus mencakup beberapa kriteria untuk mencapai kredibilitas sebagai seorang ulama yang kapabilitasnya mampu mengeluarkan fatwa.
Hanya saja, kita akan membuka lembaran perjalanan para "pemikir liberal" saat ini yang belum jua menghentikan misinya. Bukan sebuah rahasia lagi para "pemikir liberal" menyebarkan idenya tersebut karena ada sesuatu dibaliknya. Dalam sebuah dialog yang dilakukan para kiayi dari NU yang menghadirkan Ulil Abshor, mereka menggugat Ulil untuk mengakui semua "tindak tanduknya" yang bertentangan dengan aqidah Islam. Salah seorang kiai menyebutkan bahwa Ulil mendapat sumbangan dana dari pihak terkait untuk menyebarkan pemikiran liberal dan paham syiah mereka. Ia pun menguatkan, akan mampu menunjukkan bukti yang konkrit akan informasi tersebut.
Hal itu mensyaratkan bahwa para "pembelot Islam" sebenarnya mereka tidak akan berjalan jika tanpa adanya "pelicin" (baca; uang). Kasus lain dalam me-liberalkan mahasiswanya seorang tokoh "kontekstual" melalui sebuah ide yakni dengan mengeluarkan pernyataan;
" Tuhan dalam Al Quran lebih tampil sebagai (The Mother of God) bukan (The Father of God) Dia lebih terlihat lembut dibandingkan pada sifat maskulin."
Sebuah pernyataan berbahaya jika ditangkap mahasiswa yang belum memahami Islam secara mendasar. Barangkali ini adalah salah satu cara mereka menggiring mahasiswa untuk berfikir liberal. Menggiring mahasiswa untuk berfikir ke ranah yang seharusnya tidak ia jamah. Berbicara hakikat Tuhan untuk mengenalNya. Bukan berbicara ciptaanNya untuk mengenalNya. Padahal jelas, Allah sudah berfirman dalam Al Qur'an Surah An Nahl,
"Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)."
Di dalam Al Quran Allah jelas mengajak manusia untuk berfikir memperhatikan ciptaanNya bukan berfikir akan zatNya. Masih banyak ayat yang serupa menjadi kata kunci untuk manusia yang mau berfikir. Masalah berikutnya adalah para pemikir "kontekstual" meletakkan dirinya seolah berada ditengah neraca. Tidak berbuat salah dan seenaknya menggungat syari'at. Padahal syari'at telah menetapkan hukum dalam setiap aktivitas yang ia lakukan. Ruh (kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah) inilah yang mengharuskan manusia mengetahui syari'at Allah SWT agar bisa membedakan perbuatannya, sehingga tahu mana yang terpuji (hasan) dan mana yang tercela (qabih). Denga begitu, ketika dia melakukan perbuatan, disertai kesadaran akan hubungannya dengan Allah, memungkinkannya untuk memutuskan apakah akan melakukan perbuatan atau meninggalkannya sesuai dengan kesadaran (Ruh)-nya. Karena, dia telah mengetahui jenis karakter dan nilai setiap perbuatannya. Demikianlah harusnya seorang muslim yang beriman. Dan semuanya ini diabaikan oleh para pemikir "kontekstual". Mereka bertindak semau orang yang memintanya. Bukan atas dasar dari keyakinan.
Akidah Islam yang memecahkan problematika besar manusia merupakan dasar seluruh perbuatan manusia. Akidah itulah yang juga menjadi pusat pandangannya dalam kehidupan, serta falsafahnya yang mengatur perbuatannya, maka sungguh peraturan yang terpancar dari aqidah ini mampu memecahkan berbagai problematika manusia, dan mampu mengatur seluruh perbuatannya dengan peraturan yang detail. Karena itu, hanya Islam yang memiliki aturannya.
Lantas, apakah pemikir "kontekstual" akan kembali menodainya? Telah terjadi, maka apabila mereka tetap dibiarkan mereka akan menggugat seenaknya. Harusnya muslim, pula mampu untuk mengcounternya. Berharap kembali pada wadahnya. Berjuang menempatkan posisi sebenarnya.
Siapa sebenarnya yang harus berfatwa? Ya, muslim yang yakin akan Allah dan peraturan dalam setiap kehidupannya. Mumpuni serta memenuhi syarat akan berfatwa. Bukan pemikir "kontekstual" yang suka menggugat, dan berkata seolah mereka tepat.
Wallohu' alam bisshowab
Oleh : Rizka K. Rahmawati
[www.al-khilafah.org]
Seorang dosen telah mengeluarkan pernyataan dalam sebuah forum mahasiswa. Menyerang kelompok yang berpegang Islam berdasarkan dalil yang kuat. Jika umat muslim ditanya mengenai pernyataan tersebut, saya yakin semuanya juga akan sepakat. Tidak semua orang bisa mendapat legitimasi untuk mengeluarkan fatwa. Bahkan, dalam proses berfatwa ia harus mencakup beberapa kriteria untuk mencapai kredibilitas sebagai seorang ulama yang kapabilitasnya mampu mengeluarkan fatwa.
Hanya saja, kita akan membuka lembaran perjalanan para "pemikir liberal" saat ini yang belum jua menghentikan misinya. Bukan sebuah rahasia lagi para "pemikir liberal" menyebarkan idenya tersebut karena ada sesuatu dibaliknya. Dalam sebuah dialog yang dilakukan para kiayi dari NU yang menghadirkan Ulil Abshor, mereka menggugat Ulil untuk mengakui semua "tindak tanduknya" yang bertentangan dengan aqidah Islam. Salah seorang kiai menyebutkan bahwa Ulil mendapat sumbangan dana dari pihak terkait untuk menyebarkan pemikiran liberal dan paham syiah mereka. Ia pun menguatkan, akan mampu menunjukkan bukti yang konkrit akan informasi tersebut.
Hal itu mensyaratkan bahwa para "pembelot Islam" sebenarnya mereka tidak akan berjalan jika tanpa adanya "pelicin" (baca; uang). Kasus lain dalam me-liberalkan mahasiswanya seorang tokoh "kontekstual" melalui sebuah ide yakni dengan mengeluarkan pernyataan;
" Tuhan dalam Al Quran lebih tampil sebagai (The Mother of God) bukan (The Father of God) Dia lebih terlihat lembut dibandingkan pada sifat maskulin."
Sebuah pernyataan berbahaya jika ditangkap mahasiswa yang belum memahami Islam secara mendasar. Barangkali ini adalah salah satu cara mereka menggiring mahasiswa untuk berfikir liberal. Menggiring mahasiswa untuk berfikir ke ranah yang seharusnya tidak ia jamah. Berbicara hakikat Tuhan untuk mengenalNya. Bukan berbicara ciptaanNya untuk mengenalNya. Padahal jelas, Allah sudah berfirman dalam Al Qur'an Surah An Nahl,
"Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)."
Di dalam Al Quran Allah jelas mengajak manusia untuk berfikir memperhatikan ciptaanNya bukan berfikir akan zatNya. Masih banyak ayat yang serupa menjadi kata kunci untuk manusia yang mau berfikir. Masalah berikutnya adalah para pemikir "kontekstual" meletakkan dirinya seolah berada ditengah neraca. Tidak berbuat salah dan seenaknya menggungat syari'at. Padahal syari'at telah menetapkan hukum dalam setiap aktivitas yang ia lakukan. Ruh (kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah) inilah yang mengharuskan manusia mengetahui syari'at Allah SWT agar bisa membedakan perbuatannya, sehingga tahu mana yang terpuji (hasan) dan mana yang tercela (qabih). Denga begitu, ketika dia melakukan perbuatan, disertai kesadaran akan hubungannya dengan Allah, memungkinkannya untuk memutuskan apakah akan melakukan perbuatan atau meninggalkannya sesuai dengan kesadaran (Ruh)-nya. Karena, dia telah mengetahui jenis karakter dan nilai setiap perbuatannya. Demikianlah harusnya seorang muslim yang beriman. Dan semuanya ini diabaikan oleh para pemikir "kontekstual". Mereka bertindak semau orang yang memintanya. Bukan atas dasar dari keyakinan.
Akidah Islam yang memecahkan problematika besar manusia merupakan dasar seluruh perbuatan manusia. Akidah itulah yang juga menjadi pusat pandangannya dalam kehidupan, serta falsafahnya yang mengatur perbuatannya, maka sungguh peraturan yang terpancar dari aqidah ini mampu memecahkan berbagai problematika manusia, dan mampu mengatur seluruh perbuatannya dengan peraturan yang detail. Karena itu, hanya Islam yang memiliki aturannya.
Lantas, apakah pemikir "kontekstual" akan kembali menodainya? Telah terjadi, maka apabila mereka tetap dibiarkan mereka akan menggugat seenaknya. Harusnya muslim, pula mampu untuk mengcounternya. Berharap kembali pada wadahnya. Berjuang menempatkan posisi sebenarnya.
Siapa sebenarnya yang harus berfatwa? Ya, muslim yang yakin akan Allah dan peraturan dalam setiap kehidupannya. Mumpuni serta memenuhi syarat akan berfatwa. Bukan pemikir "kontekstual" yang suka menggugat, dan berkata seolah mereka tepat.
Wallohu' alam bisshowab
Oleh : Rizka K. Rahmawati
[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar