Header Ads

Khilafah: Yang Penting Subtansinya?

Khilafah: Yang Penting Subtansinya?
Soal:

Ada yang menyatakan kaidah ushul, “Al-‘Ibrah bi al-jawhar wa la bi al-mazhhar (Yang menjadi padoman adalah substansinya, bukan kulitnya).” Karena itu dalam konteks Khilafah, kewajiban untuk menegakkannya tidak harus berwujud Khilafah, dari nama hingga bentuk formalnya. Yang penting substansinya. Adapun nama atau kulitnya mutlak sama. Benarkah pandangan ini? Juga, apakah ada kaidah seperti ini? Kalau ada, apakah benar dan bisa digunakan?


Jawab:

Kaidah ushul ini harus dikaji terlebih dulu. Pertama: Kaidah ushul itu merupakan hukum syariah, sama dengan hukum syariah lain, yang digali dari dalil-dalil syariah. Karena itu harus diteliti apakah kaidah di atas benar-benar digali dari dalil-dalil syariah atau tidak.

Penggunaan istilah “jawhar” (substansi) dan “mazhhar” (kulit) sebenarnya tidak pernah digunakan oleh ulama fikih maupun ushul fikih. Kedua istilah ini lebih populer di kalangan ulama kalam. Mereka biasa menggunakan istilah “jawhar” (substansi) dan “aradh” (aksiden). Kedua istilah ini diambil dari filsafat Aristoles tentang substansi dan aksiden. Kedua istilah ini tidak akan kita temukan dalam khazanah fikih maupun ushul fikih klasik. Karena itu kaidah di atas pun tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih maupun ushul fikih klasik.

Memang, ada nash-nash syariah yang seolah membahas masalah seperti ini. Misal, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:

إِنَّ اللّٰهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk (wajah) kalian maupun tubuh (fisik) kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian (HR Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah).

Hadis seperti ini sama sekali tak bisa digunakan untuk membangun kaidah yang mengacu pada “jawhar” (substansi) dan “mazhhar” (kulit). Pasalnya, topik hadis ini membahas tentang nilai manusia di mata Allah, yang tidak ditentukan oleh bentuk dan fisiknya, tetapi oleh hati dan amal perbuatannya. Hati tempat iman, sedangkan amal perbuatan standarnya hukum syariah. Jadi, yang dinilai adalah iman dan keterikatan pada hukum syariah. Inilah yang ditegaskan dalam hadis lain:

لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

Orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang non-Arab, kecuali karena ketakwaan-nya (HR Ahmad).

Hati tempat iman. Di hati pula keikhlasan yang merupakan output keimanan tersebut berada. Keikhlasan ini menjadi salah satu syarat, apakah amal perbuatan itu diterima atau tidak. Syarat lainnya, agar perbuatan diterima oleh Allah, yakni harus sesuai dengan tuntunan Rasul saw. atau hukum syariah. Inilah yang ditegaskan oleh dalam al-Quran:

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling sempurna amal perbuatannya (QS al-Mulk []: 2).

Karena itu kaidah al-‘ibrah bi al-jawhar bukan merupakan kaidah fikih, ushul maupun syariah. Kaidah ini juga tidak dihasilkan dari istinbath atas dalil-dalil syariah, sebagaimana hukum syariah yang lain.

Kedua: Kaidah fikih, ushul maupun syariah sebagai hukum syariah memang sama-sama digali dari nash syariah, sebagaimana hukum syariah yang lain, tetapi ada perbedaan. Perbedaannya adalah pada penisbatan istilah yang digunakan. Dari segi istilah, kata “jawhar” (substansi) dan “mazhhar” (kulit) bukan merupakan kata yang digunakan dalam ranah hukum syariah atau fikih secara umum. Keduanya biasa digunakan oleh ahli kalam dan filsafat.

Ketiga: Kata “jawhar” (substansi) dan “mazhhar” (kulit) ini diambil dari filsafat Aristoteles tentang substansi dan aksiden. Menggunakan kaidah ini dalam kajian hukum Islam akan memaksa penggunaan logika substansi dan aksiden Aristoles dalam ranah hukum Islam, yang nota bene berbeda, dan tidak bisa digunakan.

Ini tentang status kaidah ushul di atas. Adapun tentang istilah khilafah—sebagai ism wa musamma (istilah dan konotasi) yang telah digunakan oleh nash syariah dan didefinisikan oleh syariah—maka statusnya sama dengan kata shalatshaumzakathajijihad dan ism[un] syar’i yang lain.

Jika shalat sebagai ism wa musamma tidak diambil semua, misalnya yang diambil hanya substansinya, sebut saja zikir (eling), logikanya kalau orang tersebut sudah zikir (eling), berarti sudah menunaikan kewajiban shalat. Jika shaum sebagai ism wa musamma juga tidak diambil semua, misalnya, hanya substansinya, yaitu menahan diri, maka orang yang tidak makan dan minum, logikanya sudah dihukumi berpuasa, dan kewajiban berpuasanya gugur meski tidak niat. Begitu seterusnya. Faktanya, tidak ada satu pun ulama yang menyatakan pandangan seperti itu.

Sebagaimana hukum shalat, zakat, puasa, haji, jihad maupun yang lain, khilafah sebagai ism syar’i harus diambil apa adanya, dengan ism wa musamma (istilah dan konotasi)-nya. Nama, bentuk negara, sistem pemerintahan, struktur dan seluruh hukum syariah yang terkait dengan Khilafah harus diambil sebagaimana kita mengambil hukum shalat, zakat, puasa, haji, jihad maupun yang lain, yang merupakan ism syar’i.

Karena itu tidak disebut khilafah negara kesatuan yang menganut demokrasi, republik, monarki, teokrasi; atau negara federasi yang menganut monarki, demokrasi, republik dan sebagainya. Tidak pula disebut khilafah negara yang dipimpin oleh orang kafir, presiden, raja, atau kaisar. Bukan pula khilafah negara yang berbentuk nation state meski dideklarasikan sebagai khilafah, seperti Darul Islam Indonesia (DII), Daulah Islam Irak wa as-Syam (ISIS), atau yang lain.

Jika ada yang mengatakan, apakah bisa disamakan Khilafah dengan shalat? Bukankah shalat dinyatakan dengan tegas dalam bentuk sunnah fi’liyyahqawliyyah dan taqriyyah yang jelas, ketika Nabi saw. memperagakan shalat di atas Bukit Shafa, yang disaksikan para sahabat, kemudian beliau memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat seperti beliau? Apakah hal yang sama juga diperagakan Nabi saw. dalam menjalankan pemerintahan atau negara?

Jawabannya sudah jelas. Nabi saw. telah memperagakan secara jelas pemerintahan dan praktik kenegaraan selama 10 tahun, setelah hijrah ke Madinah. Dalam rentang 10 tahun itu, bukan hanya sunnah fi’liyyah yang diperagakan Nabi saw. dalam menjalankan pemerintahan dan praktik kenegaraan, tetapi sunnah qawliyyah dan taqriyyah di dalamnya sangat banyak. Semuanya ini bisa dibaca antara lain dalam kitab karya Al-Hafidh al-Kattani, At-Taratib al-Idariyyah dan Majmu’ah al-Watsa-iq as-Siyasiyyah li al-‘Ahdi an-Nabawi wa al-Khilafah ar-Rasyidah karya Dr. Hamidu-Llah.

Karena itu ketika Nabi saw. wafat tidak ada yang tidak jelas. Nabi saw. sendiri bersabda:

تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ مَنْ يَعِشُ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا عَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الراَّشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذْ

Aku meninggalkan kalian dalam keadaan yang jelas-sejelasnya, malamnya seperti siang harinya. Tidak akan menyimpang dari keadaan itu setelah aku, kecuali orang yang celaka. Siapa saja di antara kalian yang masih hidup akan melihat banyak perselisihan. Kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui tentang Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat hidayah. Kalian wajib menggigit sunnah-sunnah tersebut kuat-kuat dengan gigi geraham (HR Ibn Majah).

Karena itu, begitu Rasul saw. wafat, tidak ada ikhtilaf di kalangan Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah yang menggantikan beliau dalam mengurus urusan umat, agama dan negara. Bahkan mereka lebih mendahulukan urusan ini ketimbang mengurus jenazah Rasulullah saw. Padahal menyegerakan pengurusan jenazah hukumnya fardhu. Namun, karena ada fardhu yang lebih penting dan krusial, maka pengurusan jenazah Nabi saw. yang agung tersebut ditangguhkan.

Kalaupun ada perselisihan, bukan terletak pada wajib-tidaknya mengangkat khalifah, tetapi tentang siapa kandidat yang paling layak. Ini masalah biasa. Pasalnya, Nabi saw. sendiri tidak menunjuk putra mahkota, sebagaimana yang diklaim oleh orang Syiah. Jika kemudian Abu Bakar ra. menunjuk, bukan berarti tindakan beliau menyalahi Sunnah Nabi saw. Pasalnya, penunjukkan Abu Bakar ra. terhadap Umar ra. dilakukan setelah Abu Bakar ra. mengetahui pendapat seluruh penduduk Madinah, bahwa Umarlah kandidat yang mereka inginkan untuk menggantikan beliau. Begitu seterusnya.

Tinggal satu masalah: Bagaimana dengan penyebutan Khilafah, yang kadang disebut Imamah atau Daulah Islamiyah? Khalifah juga tidak selalu disebut Khalifah, tetapi kadang disebutAmirul MukmininImam, atau Sulthan al-Muslimin, dan seterusnya. Bukankah kalau ini merupakan ism syar’i seharusnya konsisten, tetapi nyatanya tidak. Bagaimana ini?

Jawabannya, bahwa penggunakan istilah lain selain Khilafah dan Khalifah—seperti Imamah dan Daulah Islamiyah—untuk menyebut Khilafah ini merupakan penggunaan istilah menurut konvensi keilmuan. Istilah Khilafah digunakan dalam nash syariah. Istilah Imamah digunakan oleh ulama Ushuluddin. Adapun istilah Daulah Islamiyah digunakan kemudian setelah buku Plato dan Aristoteles diterjemahkan. Istilah yang terakhir ini digunakan sebagai terminologi modern, setelah digunakan oleh Ibn Qutaibah dan Ibn Khaldun. Jadi, kedua istilah terakhir ini merupakan sinonim dari istilah Khilafah.

Penggunaan kedua istilah ini diterima oleh para ulama karena musamma (konotasi)-nya sama, dan tidak ada sedikit pun perbedaan di antara ketiganya. Sebaliknya, penggunaan istilahnegara republikkerajaanfederasirepublik-demokratikuni-emirate, dan sebagainya sebagai sinonim Khilafah jelas tidak bisa. Alasannya, karena musamma (konotasi)-nya memang berbeda.

Adapun penggunaan istilah Imam, Amirul Mukminin, Sulthan al-Muslimin, Rais ad-Daulah al-Islamiyah untuk menyebut Khalifah juga boleh. Pasalnya, istilah-istilah tersebut musamma(konotasi)-nya sama. Tentu berbeda jika presiden, raja, emir, perdana menteri atau yang lain digunakan untuk menyebut Khalifah; karena konotasinya berbeda.

Harus juga diperhatikan, bahwa di balik istilah tersebut ada konotasi (musamma), yang menggambarkan konsep (fikrah) dan metode (thariqah) tertentu. Masing-masing juga dibangun dengan akidah dan sistem yang berbeda. Karena itu penggunaan istilah yang mempunyai konotasi berbeda jelas merupakan bentuk penyesatan berpikir (tadhlil fikri). Misal, negara kesatuan republikuni-emirate atau kerajaan Arab untuk menyebut Khilafah jelas merupakan bentuk penyesatan berpikir (tadhlil fikri).

WalLahu a’lam[][www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.