Header Ads

Oposisi Dalam Sistem Islam

Oposisi Dalam Sistem Islam
Oposisi Dalam Sistem Islam
Oleh Riki Nasrullah (Ketua LDK DKM Unpad)

Perpolitikan di Indonesia pascapilpres Juli tahun 2014 nampaknya menyisakan kisah pilu bagi pelaksanaan pemerintahan kita. Oktober lalu, parlemen Indonesia dipanaskan dengan isu perpecahan parlemen dengan munculnya pimpinan DPR tandingan besutan PDIP dan tim koalisinya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Kondisi ini bukan tanpa sebab, pasalnya KIH merasa dirugikan dengan pembentukan paket pimpinan DPR yang disapu bersih oleh Koalisi Merah Putih. Meskipun November lalu sempat ada kata “Ishlah” di kubu DPR, namun nampaknya kata tersebut akan musykil terwujud. Pasalnya antara keduanya sama-sama keukeuh untuk memegang prinsipnya masing-masing. Inilah wajah buram parlemen yang dibalut dengan manisnya wajah demokrasi yang mengatasnamakan rakyat.

Di tahun 2015 nanti, nampaknya rakyat akan kembali dipaksa menggigit jari atas ulah para anggota dewan yang menjadi wakilnya di parlemen. Rakyat akan kembali dinomorduakan oleh para anggota dewan. Karena pada hakikatnya, di dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme, bukan kepentingan rakyat yang didahulukan. Namun kepentingan para elit politik dan para kapitalis yang sudah membiayai proses kampanye pada pemilu silam.

Menyeruaknya dualisme kepemimpinan di kubu DPR merupakan akibat dari buah kontestasi pada pilpres Juli 2014. Munculnya dua koalisi besar pada kontestasi Pilpres lalu telah menyisakan problem besar pada pelaksanaan pemerintah, khususnya di parlemen Indonesia. Alih-alih menyejahterakan rakyat setelah terpilihnya menjadi anggota dewan, mereka malah membuat rakyat sengsara dan menangis karena sejauh ini belum ada satu program pun yang dilakukan oleh DPR untuk kepentingan rakyat.

Munculnya dualisme kepemimpinan di DPR, membuat kita bertanya-tanya. Sebetulnya, adakah konsep oposisi di dalam sistem pemerintahan Islam?.

Di dalam pelaksanaan politik Barat (Demokrasi), ide oposisi politik diklaim sebagai usaha menjamin hak-hak dan kebebasan individu rakyat. Keharusan untuk mewujudkan sebuah kebebasan individu telah menjadi alasan adanya praktik oposisi politik di dalam sistem Demokrasi. Ide oposisi politik diklaim juga sebagai cerminan hak-hak individu, yang dibidani oleh ide yang mengatakan bahwa kedaulatan itu mutlak berada di tangan rakyat. Sehingga, oposisi politik dianggap mencerminakan kepentingan dan kehendak rakyat. Apabila di setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah kemudian rakyat tidak sepakat dan kebijakan tersebut dianggap menzalimi rakyat, maka rakyat boleh menampakkan rasa tidak senangnya melalui jalan oposisi politik.

Kekuasaan dan oposisi politik di dalam sistem pemerintahan Barat bak dua sudut mata uang yang tak bisa dipisahkan. Ketidaksamaan dan perbedaan yang ditampilkan penguasa dan rakyat di dalam aktivitas politik, menjadi alasan tersendiri mengapa harus ada oposisi politik. Berdasarkan fakta semacam ini, maka aktivitas oposisi politik di dalam sistem pemerintahan Barat telah melegalkan dan mengaminkannya. Bahkan cenderung mesti ada yang namanya oposisi politik di dalam sistem pemerintaha Barat. Alasannya, adanya oposisi politik ini sebagai usaha untuk membatasi kesewenang-wenangan pemerintah penguasa.

Oposisi di dalam sistem Demokrasi juga diklaim sebagai usaha untuk menciptakan sebuah keseimbangan, mengatur, dan membatasi kesewenang-wenangan pemerintah. Selain itu, sistem pemerintahan Demokrasi pun telah membagi kekuasaan menjadi tiga, yakni Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Kedua instrument utama dari sistem Demokrasi inilah (pemisahan kekuasaan dan adanya oposisi) yang menjadi sarana kontinu untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan ketidaksenangan rakyat terhadap perilaku politik suatu rezim.

Amar Makruf dan Nahi Munkar dalam Islam

Oposisi politik dalam sistem Demokrasi sangat bertolak belakang dengan dengan konsep amar makruf nahi munkar atau muhasabah lil hukkam (koreksi terhadap penguasa) yang ada dalam sistem Islam. Perbedaan yang ada ini sangat jauh dan sudah masuk dalam ranah teknis dan ideologis. Perbedaan ideologis ditampilkan oleh sebuah paradigma yang terbentuk dari kedua sistem tersebut. Di dalam sistem politik Demokrasi, pemikiran tentang oposisi politik bersumber dari ide kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan di dalam Islam, bahwa kedaulatan itu bukan di tangan rakyat, melainkan berada di tangan syara’ (pembuat hukum) dalam hal ini adalah Allah SWT. Konsep amar makruf dan nahi munkar di dalam sistem Islam jelas-jelas sebagai usaha untuk lebih menekankan pemimpin untuk berpegang teguh pada syariat Islam. Sehingga, antara sistem politik Demokrasi dan Islam jelas-jelas ada kontradiksi yang begitu tajam. Kontradiksi-kontradiksi itu bisa kita lihat dari hal-hal berikut ini :

Petama, di dalam sistem politik Demokrasi, oposisi politik bertolak dari konsep tentang pemeliharaan kebebasan dan pencegahan kezaliman terhadap suatu suatu rezim. Namun pada praktinya, aktivitas tersebut sering digunakan sebagai usaha untuk menggulingkan dan melemahkan rezim serta menggantinya dengan rezim yang diklaim lebih peduli terhadap rakyat. Inilah yang ada pada aktivitass oposisi politik di dalam sistem Demokrasi. Sebuah kontradiksi pun muncul kembali. Oposisi sering dijadikan alasan untuk melemahkan rezim atas nama keinginan dan kehendak rakyat. Sedangkan di dalam Islam, konsep amar makruf nahi munkar dan muhasabah lil hukkam diposisikan sebagai sarana untuk memantapkan keterikatan penguasa terhadap syariat Islam. Sehingga, usaha amar makruf nahi munkar dalam sistem Islam dilakukan untuk mencegah penyimpangan dan kehancuran pelaksanaan sistem hukum Islam, sekaligus mencegah dan mengingatkan penguasa atas penyimpangannya terhadap syariat Islam.

Aktivitas ini terlihat jelas dari firman Allah swt. berikut :

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. At-taubah : 112)

Kedua, Islam jelas-jelas menolak konsep oposisi kontinu bagi suatu rezim politik, atau sering dikenal dengan istilah “oposisi untuk oposisi”. Konsep ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar bahwa di dalam Islam dasar urusan pelaksanaan hubungan rakyat dan penguasa (yakni khalifah) adalah ketaatan. Sebagimana Allah swt. berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59)

Kemudian, seorang khalifah pun wajib ditaati oleh seluruh rakyatnya. Rasulullah bersabda yang artinya : “Siapa saja yang menaati Amir (pemimpin) berarti ia telah menaatiku. Dan siapa saja yang mendurhakai amir (pemimpin) berarti ia telah durhaka kepadaku” (HR. Bukhari dan Muslim).

Taatnya rakyat kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban. Ketaatan ini tidak didasarkan pada ketakutan penguasa, atau dalam rangka menghindari munculnya kejahatan dan kerusakan, melainkan dasar ketaatan ini semata-mata adalah bentuk keimanan kepada Allah swt. dan menjalankan perintah Allah. Meskipun demikian, ketaatan terhadap pemimpin ini bukanlah ketaatan yang sifatnya mutlak, apalagi ketaatan yang buta. Syariat sudah memberi batasan bahwa ketaatan kepada penguasa ini hanya dalam perkara yang makruf saja, bukan dalam kemaksiatan kepada Allah swt. dan Raslu-Nya. Karena Rasul sudah menjelaskan bahwa tidak ada ketaatan kepada seorang hamba di dalam perkara maksiat. Hal ini sesuai dengan sabda beliau yang artinya : “Tidak ada ketaatan terhadap mahluk dalam bermaksiat kepada khalik (Allah swt.)” (HR. Ahmad dan Hakim) Kemudian sabda Rasul lainnya, yang artinya : “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang makruf saja” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sehingga, sudah jelas bagi kita bahwa ketaatan kepada penguasa hanyalah pada perkara-perkara yang makruf saja, bukan pada perkara maksiat kepada Allah swt. Namun permasalahannya sekarang adalah definisi makruf ini mesti sesuai dengan definisi syara’ Makruf disini bukan diukur dari harus sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat, sebagimana yang tercermin dalam sistem Demokrasi hari ini. Melainkan makruf di sini mesti ditimbang berdasarkan syariat Islam, bukan kehendak mayoritas rakyat.

Ketiga, praktik amar makruf nahyi munkar dan muhasabah lil hukkam merupakan hak-hak politik setiap muslim, dan tergolong kewajiban syar’i. Seandainya kita menyaksikan adanya kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan penguasa dan kita semua berdiam diri atas hal itu, maka semua orang berdosa. Artinya, diamnya kita ketika menyaksikan kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin adalah sumber malapetaka dan sumber dosa bagi semua orang. Disinilah urgennya posisi amar makruf nahyi munkar dan muhasabah lil hukkam. Namun, konsep ini jelas-jelas tidak ada di dalam sistem Demokrasi. Praktik oposisi politik di dalam sistem Demokrasi, yang didasarkan atas kepedulian individu untuk meniadikan kezaliman penguasa, tanpa ada sedikitpun dasar perintah dan larangan dari Allah. Artinya, aktivitas tersebut tidak didasarkan pada perintah dan larangan dari Allah swt.

Khatimah

Berdasarkan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, maka sudah jelas bahwa konsep oposisi politik yang ada dalam sistem Demokrasi sangat bertentangan dengan konsep amar makruf nahi munkar dan muhasabah lil hukkam yang ada di dalam sistem Islam. Amar makruf nahi munkar dan muhasabah lil hukkam merupakan kewajiban syar’i atas seluruh kaum muslimin dan hak politik yang sudah dilegislasi oleh Allah swt. sedangkan oposisi politik yang ada di dalam sistem Demokrasi jelas-jelas bertolak dari ide yang bertentangan dengan syariat Islam, yakni kedaulatan di tangan rakyat. Dari sini sudah tampak bahwa di dalam masyarakat Islam, partisipasi politik masyarakat telah menjadi atmosfer yang sehari-hari dirasakan langsung oleh setiap warga masyarakat secara real. Tujuan dari pelaksanaan partisipasi politik di dalam Islam adalah dalam rangka menaati Allah dan Rasul-Nya, membangun Negara Khilafah yang sehat dan stabil, serta menjaga kontinuitas penerapan syariat Islam secara sempurna dan total. Bukan hanya sekadar melakukan kritik atau beroposisi terhadap penguasa karena anti kemapanan atau ketidaksukaan. Bahkan oposisi ini cenderung digunakan untuk melemahkan dan menggulingkan rezim yang berkuasa, serta menggantinya dengan rezim yang dianggap mengayomi kepentingan dan menjaga hak-hak rakyat. Justru, aktivitas oposisi politik di dalam sistem Demokrasi ini sarat akan kepentingan individu dan kelompok yang tidak kebagian kursi kekuasaan di dalam pemerintahan.

Wallahu A’lamu Bi Ash-showab [] [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.