Header Ads

Menagih Kedaulatan Pangan Jokowi

Menagih Kedaulatan Pangan Jokowi
Menagih Kedaulatan Pangan Jokowi
Oleh: Tjahjo Baskoro
Lajnah Khusus Intelektual-HTI Sidoarjo

Kedaulatan pangan merupakan jargon yang sering diusung oleh presiden negeri ini untuk merayu rakyat. Menurut pengusung jargon ini, kedaulatan pangan akan terjadi jika Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Jokowi sebagai pengusung jargon ini ingin membuktikan bahwa apa yang dia janjikan bukanlah jargon kosong belaka, untuk itu Jokowi menargetkan Indonesia akan mencapai Swasembada pangan dalam 3 tahun kedepan, bahkan dengan berani siap mengganti menterinya jika tidak mampu mencapai target tersebut. "Sudah hitung-hitungan, 3 tahun nggak swasembada, saya ganti menterinya. Yang dari fakultas pertanian bisa antre. Tapi saya yakin bisa, hitung-hitungannya ada. Jelas sekali. Konsentrasi 11 provinsi, rampung, sudah ada perhitungan," kata Jokowi dalam acara kuliah umum di Balai Senat Balairung UGM, Yogyakarta, Selasa, 9/12/2014(detik finance.com, 9/12/2014).

Mampukah dengan sistem yang ada sekarang Indonesia mewujudkan kedaulatan pangan? Dalam sejarah, negeri ini pernah mencapai swasembada pangan (baca: swasembada beras) pada tahun 1984, dalam masa pemerintahan orde baru dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian (Kliping Cyber Media). Namun hal itu tidak berlangsung lama, tahun – tahun berikutnya negeri ini tidak pernah mampu lagi mengulanginya, bahkan tidak jarang harus mengimpor pangan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, sejak Desember 2009 hingga Desember 2010, harga beras naik 30,9%, cabai rawit 119,14%, cabai merah 62,41%, minyak goreng 9,89%, telur ayam ras 9,82%, dan daging ayam naik 6,65%. Akibatnya, daya beli masyarakat terus menurun. Pemerintah sendiri belum mampu mengatasi gejolak harga yang terus melambung tinggi sehingga target inflasi 2010 sebesar 5,3% justru meleset menjadi 6,9%. Itu di kisaran 2009 – 2011, di tahun 2014, kebutuhan kedelai di negeri tropis yang subur dan agraris ini tidak terpenuhi bahkan harus mengimpor dari berbagai negara, termasuk dari Cina dan Amerika yang non tropis, dan itu sudah terjadi sejak tahun 1990 (merdeka.com,20/9/2013). Produk pertanian lainnyapun tidak mampu ditangani, fluktuasi harga lombok yang sampai menembus Rp. 100.000,-/kg (detikfinance.com,7/12/14), menyebabkan petani was – was pemerintah akan impor cabai (bisnis.com).

Menurut Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), salah arahnya kebijakan pertanian Indonesia menyebabkan krisis kedelai. Hal Ini dimulai pada tahun 1995 ketika Indonesia ikut meratifikasi WTO, dilanjutkan dengan ditandatanganinya letter of intent dengan IMF di tahun 1998 yang semakin memasifkan liberalisasi pada sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Akibatnya, bagi petani menanam kedelai sejak harga impor lebih murah menyebabkan kerugian. Terlebih lagi pasca IMF, Bulog menjadi perum, sehingga Indonesia tidak lagi memiliki lembaga yang kuat untuk menstabilkan harga pangan. Konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir orang, serta tidak hadirnya peran negara untuk menjadi stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengendalikan tata niaga pangan (spi.or.id,5/9/13). Dengan demikian jelaslah bahwa sistem yang diterapkan sekarang, tidak mendorong tercapainya kedaulatan pangan. Kalaupun bisa tercapai hanya bersifat sporadis, hanya pada komonditas tertentu dan hanya bersifat sementara serta sulit sekali mengulanginya.

Mengapa demikian? Untuk menjawab permasalahan tersebut, pertama – tama kita mesti tahu pengertian ketahanan (baca: kedaulatan) pangan menurut kapitalisme. Menurut FIVIMS 2005 (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Sistems) ketahanan pangan adalah: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat. Sedangkan pemerintah Indonesia mendefinisikan ketahanan pangan sesuai dengan UU Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: Pertama: ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi : (1) Berorientasi pada rumah tangga dan individu; (2) Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses; (3) Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; (4) Berorientasi pada pemenuhan gizi; dan (5) Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Kedua: Sub sistemnya meliputi tiga sub sistem utama yaitu (1) ketersediaan; (2) akses; dan (3) penyerapan pangan. Ketiga: Status gizi, hidup sehat dan produktif merupakan outcome dari ketahanan pangan.

Yang perlu diketahui adalah pertama: bahwa dalam sistem kapitalisme, yang dimaksud dengan ketersediaan pangan adalah ketercukupan pangan untuk rakyatnya yang bisa dari produksi sendiri, impor maupun bantuan. Jadi negara tidak menjamin kemandirian pangan (baca: kedaulatan pangan) negara. Kedua: Adapun akses serta penyerapan pangan bukanlah berarti jaminan bagi setiap induvidu bisa mendapatkan kebutuhan pangannya. Melainkan bagaimana masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya dengan memproduksi sendiri, membeli, ataupun mendapat bantuan agar bisa membeli. Ini berarti bahwa negara tidak menjamin pemenuhan pangan rakyatnya juga tidak menjamin distribusi pangan untuk sampai ke rakyatnya. Bahkan menyerahkan akses pangat rakyat pada mekanisme pasar sesuai dengan konsep ekonomi liberal. Padahal sistem ekonomi liberal merupakan sistem yang bertumpu pada para kapital atau pemilik modal, sehingga kebijakan yang diambil pemerintah pun lebih banyak berpihak kepada para kapital. Liberalisasi, merupakan wujud keberpihakan pemerintah pada para kapital. Dengan liberalisasi, pihak swasta, termasuk atau bahkan terutama pihak asing bisa bermain diberbagai sektor. Di sektor pertanian, liberalisasi diantarnya dilakukan dengan mereduksi peran dan fungsi Bulog, meluncurkan regulasi yang mempermudah impor produk pertanian, perijinan monopoli distribusi produk pertanian. Dengan regulasi tersebut peran swasta dan asing bisa bermain dan menguasai komoditas pertanian di Indonesia.

Jadi apa yang dinyatakan oleh Henry Saragih bahwa kebikjakan pemerintah di sektor pertanian salah arah, tidaklah benar, justru kebijakan itu sangat sejalan dengan ideologi dan sistem kapitalisme yang sedang diterapkan di negeri ini. Namun masalahnya adalah bahwa pengusung dan pelaksana sistem tersebut hampir semuanya adalah muslim, yang tentu saja ini tidak sesuai dengan aqidah Islam, oleh karena itulah wajib bagi kaum muslimin untuk mengingatkan saudara – saudaranya tentang kesalahan tersebut. Hanya dengan kembali pada sistem Islamlah kebajikan, keadilan dan kemakmuran sebenarnya bisa tercapai.

Dalam sistem Islam, ketahanan / kedaulatan pangan meliputi 3 sub sistem, yaitu: (1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian Pangan Negara. Jaminan pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak setiap orang / rakyat berdasarkan hadis yang diriwayatkan imam Ahmad dengan sanad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:

«كُلُّ شَيْءٍ سِوَى ظِلِّ بَيْتٍ، وَجِلْفِ الْخُبْزِ، وَثَوْبٍ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَالْمَاءِ، فَمَا فَضَلَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ لابْنِ آدَمَ فِيهِ حَقٌّ»

Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.