Header Ads

Janganlah Kebencianmu Mendorong Kita Berprilaku Tidak Adil

Janganlah Kebencianmu Mendorong Kita Berprilaku Tidak Adil
Oleh Ustadz Choirul Anam, hafidzahullah

Sebelumnya, saya sama sekali tidak pernah mengenal dengan Syeikh Taqiyuddin An-Nabhany. Kalau kakek beliau (Syeikh Yusuf An-Nabhany) memang saya sudah mendengar, karena beliau adalah seorang ulama yang sangat dikenal di dunia Islam dan menulis berpuluh-puluh kitab. Kitab yang paling dikenal di pesantren Indonesia adalah kitab Jaami’u Karomatil Auliya dan kitab Al-Anwar Al-Muhammadiyyah Minal Mawahib Al-Laduniyyah. Siapapun ulama nusantara pasti mengenal dan hormat pada beliau.



Lalu, suatu saat saya dikenalkan teman dengan kitab-kitab Syeikh Taqiyuddin An-Nabhany. Saya melihat bahwa kitab-kitab beliau sangat istimewa. Jika dibaca dan dicermati dengan hati yang tulus, kita akan mendapati kajian yang sangat mendalam, pembahasan yang detil, dan disertai argumentasi yang kokoh. Tampak sekali bahwa beliau adalah ulama yang sangat alim, ulama yang sangat merindukan kebaikan umat Muhammad, ulama yang benar-benar memahami tugas dan tanggung jawab sebagai ulama. Beliau mencurahkan waktu dan tenaganya untuk kebaikan umat ini, bahkan kebaikan dunia ini secara keseluruhan.

Siapapun orang yang jujur pasti akan menerima argumentasi beliau yang memang sangat clear dan shohih. Namun, bagi orang yang di hatinya diisi kedengkian dan tidak care dengan urusan umat Muhammad, pasti akan mencela dan menghina beliau.

Maka, tidak mengherankan jika banyak sekali orang yang tertarik dengan gagasan beliau. Lalu akhirnya memperjuangkan Islam dengan ikhlas dan berusaha sekuat tenaga untuk menyatukan umat Islam. Sebetulnya, gagasan beliau tidak ada yang baru. Gagasan beliau semua bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah, yang digali dengan ijtihad dan istidlal yang shohih. Gagasan beliau sebenarnya sudah dibahas dan ditulis oleh para ulama-ulama sebelum beliau. Beliau hanya menghadirkan kembali dengan bahasa yang lebih jelas, karena disertai komparasi dengan sistem kehidupan yang eksis pada saat itu. Sebab, pasca runtuhnya Khilafah dan kebangkitan Eropa, kejernihan Islam terkotori oleh dua ideologi besar dunia yang eksis saat itu, yaitu Kapitalisme dan Sosialisme. Akibatnya banyak sekali orang yang mengawinkan antara Islam dengan Kapitalisme atau Sosialisme. Padahal, mengawinkan Islam dengan ajaran apapun, jelas dilarang oleh Allah swt. Islam adalah Islam, ajaran yang datang dari Allah, tidak boleh ditambah atau dikurangi, dengan alasan apapun.

Syeikh Taqiyuddin benar-benar mencurahkan segenap upayanya, sehingga kita semua memahami Islam dengan clear dan jernih. Kita menjadi paham bahwa hanya Islam yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Hanya Islam yang mampu memanusiakan manusia. Hanya Islam yang mampu mengatur manusia dalam segala kondisi dan zaman, termasuk dalam zaman moderen ini. Kita juga jadi paham, bahwa Islam adalah satu-satunya aturan kehidupan yang komprehensif.

Namun, entah mengapa, tiba-tiba ada orang, yang bisa jadi tidak mengenal beliau sama sekali, tidak pernah mengkaji kitab-kitab beliau secara serius, tetapi suka mencaci dan mencela beliau. Mereka begitu mudahnya menyesatkan dan melecehkan beliau. Mereka begitu alergi dengan beliau. Bahkan, disebut namanya saja sudah cukup membuat mereka muntah. Yang lebih mengherankan, sebagian dari mereka, bergelar ulama, yakni orang yang hanya takut kepada Allah dan bertindak berdasarkan ilmu.

Seakan akhlak itu benar-benar sudah tak tersisa pada diri kita, apalagi pertimbangan syar’i dalam menilai sesuatu. Saya, tidak tahu, apa reaksi para masyayikh kita (seperti Syeikh Hasyim Asy’ari) seandainya beliau-beliau masih hidup. Kita, mengaku santri-santri dari masyayikh tersebut, tetapi kita menghina mereka dan para ulama yang muhlish. Seakan kitab ta’limul muta’allim tak ada bekasnya sama sekali pada diri kita.

Diantara sikap sembrono sebagain generasi sekarang, yang menghina Syeikh Taqiyuddin, mengatakan bahwa Syeikh Taqiyuddin adalah cucu sesat dari Syeikh Yusuf. Menurut mereka, Syeikh Yusuf adalah ulama tsawuf, sementara Syeikh Taqiyuddin adalah ulama politik.

Padahal, sesuangguhnya di dalam Islam tidak ada dikotomi itu. Islam adalah ajaran yang komprehensif. Tasawuf sama sekali tidak berarti meninggalkan kehidupan untuk mencari ketenangan diri sendiri. Seorang ahli tasawuf yang lurus adalah seorang yang sadar seratus persen bahwa segala hal yang dia lakukan di dunia ini dikendalikan dan diawasi oleh Allah swt. Seorang tasawuf yang hakiki, menjadikan Allah sebagai segala-galanya. Dalam aktivitas apapun, ia hanya ingin mendapat ridlo Allah, tidak ada yang ditakuti, kecuali kemurkaan Allah. Dan jalan satu-satunya untuk itu adalah dengan taat kepada Allah dengan kesaran yang penuh.

Karena itu, Syeikh Yusuf tidak pernah meninggalkan urusan umat. Beliau selalu memonitor semua aktivitas, termasuk aktivitas politik agar mengantarkan pada keridloaan Allah SWT.

Bukti paling konkrit bahwa Syeikh Yusuf begitu perhatian dengan urusan politik dan umat, adalah kitab beliau yang berjudul Al-Ahadits Al-Arba’in fi Wujubi Tho’ati Amiril Mukminin.

Dengan membaca kitab ini secara fair, maka kita menjadi paham bahwa seorang ahli taswuf tidak akan pernah meninggalkan politik. Sebab, politik adalah ri’ayatu syu’unil ummah, aktivitas pelayanan terhadap umat.

Dengan membaca kitab ini, maka kita menjadi tahu kualitas orang yang berkata bahwa “Syeikh Taqiyuddin adalah cucu sesat dari Syeikh Yusuf’. Mereka yang berkata begitu, tak lebih hanya mengikuti rayuan setan.

Seharusnya, kita bersikap adil. Jika memang tidak tahu, sebaiknya diam saja. Jika memang sudah tahu, maka katakan apa adanya. Itulah sikap seorang muslim. Itulah sikap para penduduk surga, insya Allah.

Wallahu a’lam.
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.