Header Ads

Kaidah Memilih Bahaya yang Lebih Ringan (Telaah Kasus Prostitusi)

Kaidah Memilih Bahaya yang Lebih Ringan (Telaah Kasus Prostitusi)
Oleh: Noor Afeefa (Lajnah Tsaqofiyah MHTI)

Semua pihak sepakat bahwa prostitusi merugikan dan harus diselesaikan.  Namun, metode penyelesaiannya ternyata masih pro kontra.  Sebagian berpendapat perlunya lokalisasi prostitusi, sebagian lagi menolak.  Yang menghendaki lokalisasi berdalih bahwa lokalisasi prostitusi lebih baik ketimbang jika prostitusi dibiarkan dan tidak dilokalisasi. Apalagi kini praktik prostitusi sudah jamak menggunakan jejaring online.  Menurut Abdul Kodir, Sosiolog Universitas Negeri Malang (UM), prostitusi online secara sosial akan sulit dilakukan pengawasan dan pengendalian, termasuk soal jaminan keselamatan dalam bertransaksi baik bagi pekerja seks komersial maupun pelanggan.



Praktik prostitusi gaya baru ini dinilai lebih berisiko dibandingkan prostitusi yang sudah terlokalisasikan.  Terlebih, menurutnya tidak mungkin mengubah seorang PSK untuk secara langsung meninggalkan profesinya, apalagi dengan cara-cara paksaan.  Dengan hilangnya lokalisasi dan peralihan modus prostitusi akan memberikan dampak lanjutan semisal soal pendataan dan pengawasan penyakit menular seksual (AntaraNews, 17/04/2015).

Dengan kata lain, pendapat ini muncul melalui pertimbangan adanya kemudharatan atau bahaya yang dianggap lebih ringan jika lokalisasi dilakukan.  Persoalan ini menarik karena dalam kajian hukum Islam juga dikenal pengambilan pendapat berdasar kaidah syara Ahwanu Syarain atau Akhafu Dharrain (mengambil yang lebih ringan keburukan atau bahayanya).  Namun, benarkah penyelesaian masalah prostitusi ini bisa menggunakan kaidah tersebut?

Sebelumnya harus dipahami bahwa kaidah Syara tersebut sebenarnya merupakan cabang dari kaidah umum Adh-Dhararu Yuzâlu (bahaya harus dihilangkan).  Ini berdasarkan nash syara, bahwa Rasulullah memerintahkan untuk mengeliminir dharar (bahaya). Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:  “ tidak berbahaya dan tidak membahayakan” (dikeluarkan oleh Al Hakim).

Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.

Dengan demikian, untuk mengambil perkara yang lebih ringan bahanyanya (menggunakan kaidah ahwanu syarain atau akhafu dhararain) diperlukan beberapa syarat, yaitu:
  1. Tidak bisa menghindari dua perkara yang diharamkan atau yang mengandung bahaya (dharar), kecuali dengan melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita.
  2. Bisa menghindari dua perkara yang diharamkan (berbahaya) itu, tetapi jika keduanya dihindari, akan terjadi keharaman lain yang lebih besar lagi.
Dalam hal ini penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syariah. Sebab, selain menjelaskan halal dan haram, syariah juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya.

Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata:

Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).

Jika diterapkan dalam masalah prostitusi, nampaklah bahwa kaidah ini tidak dapat digunakan.  Sebab, sebenarnya kita masih bisa menghindari keharaman prostitusi dalam segala bentuknya, termasuk tanpa harus dengan lokalisasi.  Sebab, prostitusi bukanlah kebutuhan manusia yang akan selalu hadir dan banyak dibutuhkan orang.  Prostitusi lahir karena budaya merusak dan sistem yang longgar.  Dengan demikian prostitusi bisa dihindari atau diminimalisir jika faktor penyebabnya diselesaikan.

Protitusi bukan pula kebiasaan alami manusia.  Prostitusi adalah bisnis perilaku menyimpang.  Sebagaimana kejahatan lainnya yang tidak bisa dihilangkan sama sekali, prostitusi pun demikian.  Karenanya, lokalisasi prostitusi harus disikapi sebagai mentolelir keharaman dan kejahatan, apapun pertimbangannya.

Adapun jika dikatakan bahwa jika tidak dilokalisasi bahayanya lebih besar, itu pun hanya asumsi atau klaim sepihak.  Sebab, bahaya yang ditimbulkan oleh adanya lokalisasi prostitusi hakikatnya jauh lebih banyak, yaitu melanggengkan bisnis haram ini.  Dan setiap keharaman yang ditetapkan Syariah tentu tidak akan mendatangkan kebaikan.  Jadi, keuntungan apa yang hendak dicari dari lokalisasi prostitusi?

Klaim adanya pihak yang diuntungkan dari lokalisasi protitusi, memang bisa benar.  Namun, keuntungan model apa yang hendak diterima dari aktivitas dan kebijakan haram?  Tentu bukanlah keuntungan hakiki (shahih).  Sebab, keuntungan itu hanya dirasakah oleh segelintir orang.  Itu pun tidak seimbang dengan besarnya kerugian dan bahaya yang ditimbulkan di belakangnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya tidak ada alasan untuk melakukan lokalisasi prositusi, meski begitu canggihnya bisnis haram ini atau begitu banyaknya orang yang menginginkannya.

Seharusnya yang dilakukan adalah meninggalkan keharaman ini dengan cara menghilangkan penyebab munculnya prostitusi.  Menegakkan sistem Islam secara kaffah dalam wadah negara Khilafah adalah satu-satunya cara agar pola kehidupan menyimpang ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.  Sebab, negara Khilafah bukan hanya akan meminimalisir munculnya dorongan untuk melakukan perzinahan, tapi juga mencegah berbisnis secara haram karena jaminan lapangan pekerjaan dan penegakan sanksi yang membuat jera.  Jadi, inilah tugas kita yang sesungguhnya. [] [htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.