Wanita Idaman Setiap Muslimah; Belajar Hidup dari Ibunda Fatimah binti Abdul Malik
Oleh Riki Nasrullah (Founder Dakwah Islam | Pemerhati Remaja)
Secara naluriah, menjadi istri seorang penguasa merupakan prestise tersendiri. Hal ini bukan tanpa alasan. Peluang hidup mewah menganga di depan mata. Pelayanan super wah dan sepertinya kesusahan enggan singgah. Begitulah kira-kira sebidak mimpi yang menyeruak. Adalah tak heran jika paradigma seperti itu terus berkembang di kalangan wanita maka akan banyak wanita yang haus akan kekuasaan dan gila kerhormatan. Apapun akan dilakukan demi satu tujuan, menjadi istri penguasa yang posisi dan jabatannya mampu mengangkat derajat kehidupan. Tak ayal pula jika banyak wanita yang membisiki suaminya untuk berlaku culas semisal korupsi dan menyalahgunaan wewenang kekuasaannya. Maka jika itu sudah menjadi kebiasaan, akan banyak para istri yang memanfaatkan jabatan suami sebagai ajang memupuk harta dengan menghalalakan segala cara. Begitulah potret kekinian yang tampak di depan mata.
Mari kita memutar memori jauh ke belakang. Sebagai renungan dan tolak ukur kezuhudan seorang istri penguasa yang memandang kemewahan dunia dengan apa adanya. Wanita itu merupakan salah satu sosok terenting dalam sejarah yang mampu menyokong suami membangun peradaban Islam. Sesosok wanita yang berhasil menyebarkan panji-panji Islam hingga menjadi adidaya dunia. Ia tidak terpengaruh sedikitpun dengan gemerlapnya materi dunia. Yang ia pandang adalah nikmatnya bercengkrama dengan para penghuni surga kelak di suatu masa dimana semua orang akan diminta pertanggungjawabannya. Tersebutlah namanya adalah Fatimah Binti Abdul Malik.
Secara keturunan, Fatimah adalah satu-satunya anak perempuan dari 5 bersaudara putra seorang khalifah Abdul Malik Bin Marwan. Empat saudara lelakinya cukup terkenal di dalam sejarah Islam, yakni Yazid, Hisyam, Maslamah, dan Sulaeman. Layaknya putri kepala negara, Fatimah mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Hidupnya dipenuhi keindahan dan kenyamanan. Bagaimana tidak, ia adalah satu-satunya anak perempuan dari khalifah yang berkuasa pada masanya.
Fatimah berkembang menjadi sesosok wanita menawan yang dikagumi banyak lelaki. Kebahagiaannya kian lengkap setelah dipersunting oleh sesosok lelaki bangsawan lagi menawan, Umar Bin Abdul Aziz. Tak jauh beda dengan Fatimah, Umar bin Abdul Aziz pun tumbuh dan berkembang di kalangan keluarga mewah dan glamor. Namun demikian, di tengah keglamoran hidupnya masih tersimpan rapi keimanan dan ketaatan pada diri seorang Umar. Ia merupakan pribadi yang shaleh dan amanah. Ditilik dari berbagai sudutpun, Fatimah dan Umar adalah dua sejoli yang benar-benar cocok.
Memang betul, kemewahan adalah ujian. Melimpahruahnya harta merupakan ujian tak terkira bagi pemiliknya. Begitupun Umar dan Fatimah. Ujiannya kian berat setelah Umar diangkat menjadi khalifah pada masanya, menggantikan khalifah Sulaiman bin Abbul Malik. Diangkatnya Umar menjadi khalifah membuatnya berubah derastis. Kemewahan hidupnya selama ini dengan serta merta ditinggalkan secara totalitas. Seakan ia memulai hidup baru dengan modal sebidang tanah saja yang dulu sempat ia beli dari kawannya. Adapun harta-harta yang ia miliki selama ini diserahkan semuanya kepada baitul mal.
Tatkala pelantikan Umar berlangsung, ia menolak dengan tegas fasilitas mewah yang telah disiapkan untuk khalifah. Ia lebih memilih seekor keledai saja untuk dijadikannya sebagai kendaraan. Kondisi ini membuat Fatimah keheranan. Bingung betul apa yang dilakukan Umar dalam seketika. Bagaimana mungkin ia menolak fasilitas mewah yang sudah disiapkan untuk khalifah. Kebingungan Fatimah kian bertambah tatkala Umar pulang ke rumah dengan wajah yang seakan 3 tahun lebih tua dari sebelumnya. Baru saja 3 hari menjadi khalifah, beban berat kian menganga di hadapannya. Sehingga tak ayal, wajah Umar terlihat lebih tua dari sebelumnya. Wajah yang penuh beban, tubuh yang kering kerontang, dan mata yang semakin sayu. Ia sadar betul bahwa amanah berat sebagai khalifah tengah menimpanya.
Suatu hari Umar berbicara dengan lirih pada istrinya, “Fatimah, isteriku...! bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan, aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”
“Apa yang akan engkau lakukan selanjutnya wahai suamiku?” Tanya Fatimah
“Fatimah, istriku...! engkau tahu bahwa semua harta, fasilitas yang ada di tangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke Baitul Maal tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai. Di sebidang tanah itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut, maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali keorangtuamu!,” jawab Umar bin Abdul Aziz.
Lalu Fatimah kembali bertanya, “Wahai suamiku, apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga. Surga adalah impian terakhirku, “jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.
Beginilah Fatimah, sosok wanita yang sebetulnya ia sudah biasa hidup mewah. Dalam waktu sekejap hidupnya berubah derastis. Bersama suaminya, ia harus mulai terbiasa hidup seadanya. Rumah yang sederhana dan tempat tinggal yang seadanya telah membuat Fatimah dan Umar menjadi pribadi yang tegar dalam kesederhanaan. Dengan suara lirih, Fatimah berujar pada Umar “Suamiku...! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia di sisimu baik di kala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”
Indah nian jawaban seorang istri yang taat pada Allah. Apapun kondisi suaminya ia akan tetap dalam ketaatannya. Karena hidupnya bukan untuk dunia melainkan untuk indahnya akhirat. Dan beginilah yang semestinya dilakukan perempuan zaman sekarang dalam berkeluarga. Menerima apapun keputusan suami sekiranya masih dalam koridor ketaatan. Istri mesti menyokong perjuangan suami baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Hingga pada masanya nanti Allah persatukan kembali kedua sejoli di surga yang luasnya seluas langit, bumi, dan seisinya.
Kesederhanaan inilah yang membentuk Fatimah menjadi pribadi zuhud. Dengan kezuhudannya ini mereka sejatinya tengah membangun taman-taman surga sebagai tempat kembali yang paling indah. Semoga akan hadir Fatimah-Fatimah baru di era kekinian yang siap hidup dengan kesederhanaan namun tetap dibalut ketaatan.
Wallahu a’lamu bi ash-showab []
Riki Nasrullah : 08572075726
[www.al-khilafah.org]
Secara naluriah, menjadi istri seorang penguasa merupakan prestise tersendiri. Hal ini bukan tanpa alasan. Peluang hidup mewah menganga di depan mata. Pelayanan super wah dan sepertinya kesusahan enggan singgah. Begitulah kira-kira sebidak mimpi yang menyeruak. Adalah tak heran jika paradigma seperti itu terus berkembang di kalangan wanita maka akan banyak wanita yang haus akan kekuasaan dan gila kerhormatan. Apapun akan dilakukan demi satu tujuan, menjadi istri penguasa yang posisi dan jabatannya mampu mengangkat derajat kehidupan. Tak ayal pula jika banyak wanita yang membisiki suaminya untuk berlaku culas semisal korupsi dan menyalahgunaan wewenang kekuasaannya. Maka jika itu sudah menjadi kebiasaan, akan banyak para istri yang memanfaatkan jabatan suami sebagai ajang memupuk harta dengan menghalalakan segala cara. Begitulah potret kekinian yang tampak di depan mata.
Mari kita memutar memori jauh ke belakang. Sebagai renungan dan tolak ukur kezuhudan seorang istri penguasa yang memandang kemewahan dunia dengan apa adanya. Wanita itu merupakan salah satu sosok terenting dalam sejarah yang mampu menyokong suami membangun peradaban Islam. Sesosok wanita yang berhasil menyebarkan panji-panji Islam hingga menjadi adidaya dunia. Ia tidak terpengaruh sedikitpun dengan gemerlapnya materi dunia. Yang ia pandang adalah nikmatnya bercengkrama dengan para penghuni surga kelak di suatu masa dimana semua orang akan diminta pertanggungjawabannya. Tersebutlah namanya adalah Fatimah Binti Abdul Malik.
Secara keturunan, Fatimah adalah satu-satunya anak perempuan dari 5 bersaudara putra seorang khalifah Abdul Malik Bin Marwan. Empat saudara lelakinya cukup terkenal di dalam sejarah Islam, yakni Yazid, Hisyam, Maslamah, dan Sulaeman. Layaknya putri kepala negara, Fatimah mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Hidupnya dipenuhi keindahan dan kenyamanan. Bagaimana tidak, ia adalah satu-satunya anak perempuan dari khalifah yang berkuasa pada masanya.
Fatimah berkembang menjadi sesosok wanita menawan yang dikagumi banyak lelaki. Kebahagiaannya kian lengkap setelah dipersunting oleh sesosok lelaki bangsawan lagi menawan, Umar Bin Abdul Aziz. Tak jauh beda dengan Fatimah, Umar bin Abdul Aziz pun tumbuh dan berkembang di kalangan keluarga mewah dan glamor. Namun demikian, di tengah keglamoran hidupnya masih tersimpan rapi keimanan dan ketaatan pada diri seorang Umar. Ia merupakan pribadi yang shaleh dan amanah. Ditilik dari berbagai sudutpun, Fatimah dan Umar adalah dua sejoli yang benar-benar cocok.
Memang betul, kemewahan adalah ujian. Melimpahruahnya harta merupakan ujian tak terkira bagi pemiliknya. Begitupun Umar dan Fatimah. Ujiannya kian berat setelah Umar diangkat menjadi khalifah pada masanya, menggantikan khalifah Sulaiman bin Abbul Malik. Diangkatnya Umar menjadi khalifah membuatnya berubah derastis. Kemewahan hidupnya selama ini dengan serta merta ditinggalkan secara totalitas. Seakan ia memulai hidup baru dengan modal sebidang tanah saja yang dulu sempat ia beli dari kawannya. Adapun harta-harta yang ia miliki selama ini diserahkan semuanya kepada baitul mal.
Tatkala pelantikan Umar berlangsung, ia menolak dengan tegas fasilitas mewah yang telah disiapkan untuk khalifah. Ia lebih memilih seekor keledai saja untuk dijadikannya sebagai kendaraan. Kondisi ini membuat Fatimah keheranan. Bingung betul apa yang dilakukan Umar dalam seketika. Bagaimana mungkin ia menolak fasilitas mewah yang sudah disiapkan untuk khalifah. Kebingungan Fatimah kian bertambah tatkala Umar pulang ke rumah dengan wajah yang seakan 3 tahun lebih tua dari sebelumnya. Baru saja 3 hari menjadi khalifah, beban berat kian menganga di hadapannya. Sehingga tak ayal, wajah Umar terlihat lebih tua dari sebelumnya. Wajah yang penuh beban, tubuh yang kering kerontang, dan mata yang semakin sayu. Ia sadar betul bahwa amanah berat sebagai khalifah tengah menimpanya.
Suatu hari Umar berbicara dengan lirih pada istrinya, “Fatimah, isteriku...! bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan, aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”
“Apa yang akan engkau lakukan selanjutnya wahai suamiku?” Tanya Fatimah
“Fatimah, istriku...! engkau tahu bahwa semua harta, fasilitas yang ada di tangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke Baitul Maal tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai. Di sebidang tanah itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut, maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali keorangtuamu!,” jawab Umar bin Abdul Aziz.
Lalu Fatimah kembali bertanya, “Wahai suamiku, apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga. Surga adalah impian terakhirku, “jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.
Beginilah Fatimah, sosok wanita yang sebetulnya ia sudah biasa hidup mewah. Dalam waktu sekejap hidupnya berubah derastis. Bersama suaminya, ia harus mulai terbiasa hidup seadanya. Rumah yang sederhana dan tempat tinggal yang seadanya telah membuat Fatimah dan Umar menjadi pribadi yang tegar dalam kesederhanaan. Dengan suara lirih, Fatimah berujar pada Umar “Suamiku...! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia di sisimu baik di kala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”
Indah nian jawaban seorang istri yang taat pada Allah. Apapun kondisi suaminya ia akan tetap dalam ketaatannya. Karena hidupnya bukan untuk dunia melainkan untuk indahnya akhirat. Dan beginilah yang semestinya dilakukan perempuan zaman sekarang dalam berkeluarga. Menerima apapun keputusan suami sekiranya masih dalam koridor ketaatan. Istri mesti menyokong perjuangan suami baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Hingga pada masanya nanti Allah persatukan kembali kedua sejoli di surga yang luasnya seluas langit, bumi, dan seisinya.
Kesederhanaan inilah yang membentuk Fatimah menjadi pribadi zuhud. Dengan kezuhudannya ini mereka sejatinya tengah membangun taman-taman surga sebagai tempat kembali yang paling indah. Semoga akan hadir Fatimah-Fatimah baru di era kekinian yang siap hidup dengan kesederhanaan namun tetap dibalut ketaatan.
Wallahu a’lamu bi ash-showab []
Riki Nasrullah : 08572075726
Tidak ada komentar