Header Ads

Membaca Drama Pelegalan UU Terorisme

Membaca Drama Pelegalan UU Terorisme
Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Publik pada dekade terakhir ini akrab dengan istilah bom, terorisme, dan radikalisme. Kebebasan media mainstream dan bayangan turut melambungkan ketiga istilah itu. Yang terjadi, publik makin ketakutan dengan teror dan benda-benda mencurigakan. Cipta kondisi ini bukan pekerjaan sehari dua hari, namun berpuluh-puluh tahun dengan menciptakan suatu tragedi. Di sisi lain, ada stigma negatif khususnya kepada Islam untuk menciptakan musuh bersama pasca perang dingin.

Meski acapkali dilakukan perbandingan dan komparasi peristiwa teror di berbagai negeri, hingga saat ini seluruh dunia belum bersepakat secara final dengan definisi ‘terorisme’. Masing-masing memiliki persepsi dan ciri tersendiri berdasar wilayahnya. Tak ayal, beragam UU Terorisme dan Anti Teror di berbagai negara berbeda satu sama lainnya. Karena itu, negara yang memiliki kepentingan semacam Amerika Serikat (AS), Barat dan Sekutunya terus melakukan upaya dalam penyeragaman dan pemahaman yang sama tentang terorisme. Hal itu dimaksudkan oleh mereka untuk menjadikan ideologi tertentu dan Islam sebagai musuh bersama (common enemy). Tentu istilah ‘terorimse dan radikalisme’ akan disesuaikan dengan keinginan mereka. Tidak ada maksud lain.


Mereka memandang bahwa tindakan terorisme dan radikalisme diinspirasi oleh agama dan ideologi (Islam). Mereka paham, selama islam tidak dibendung, kepentingan mereka di dunia Islam pasti terancam. Karena itu untuk mengkrangkeng kebangkitan Islam dipilihlah dua cara: hard power (pemenjaraan, pembasmian, pembunuhan, dan militer) dan soft power (pelegalan UU, deradikalisasi, hingga penyesatan istilah). Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Inilah yang menarik untuk dikaji dikaitkan dengan kondisi kekinian.

Rentetan Drama Menghasilkan UU

AS dan Barat paham ketika mereka memaksakan kehendak dengan hard power di Indonesia akan mudah dibaca dan ketahuan belangnya. Karena itu untuk proyek terorisme di Indonesia lebih aman dengan jalan nabok nyilih tangan. Beberapa sikap yang dipilih di antaranya:

  1. Mendidik pihak keamanan untuk dilatih dalam pendidikan anti-teror baik di dalam dan luar negeri. 
  2. Memberikan dorongan dana untuk penelitian oleh lembaga dan individu tentang terorisme dan pelakunya.
  3. Membuat kajian dan focus group discussion (FGD) dengan melibatkan pakar, ahli hukum, dan peneliti untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam pemberantasan terorisme.
  4. Membentuk Datasemen dan Badan khusus dalam menghembuskan isu pemberantasan terorisme
  5. Menggandeng Ormas Islam dan Lintas Agama, LSM Jaringan Orang Liberal, Budayawan, dan aktifis SEPILIS dalam program “DERADIKALISASI”
  6. Membiayai media massa dalam suatu drama dan opini isu terorisme dan pencitraburukan kelompok tertentu
  7. Menggandeng Combatan (Mantan pelaku teror) untuk meredam teman-temannya dan memberikan pencerahan kepada publik

Beragam cara itu dilakukan untuk meyakinkan pemerintah dan anggota legislatif agar segera membuat UU Terorisme dan Menyempurnakannya. Nah, momentum adanya isu ISIS, Bom Sarinah, Bom Surakarta, Jabatan Baru Kapolri, dan Hembusan bahwa terorisme musuh nomor 1 negara, menjadikan sempurna untuk merealisasikan UU atas nama keamanan negara.

Pada program legislasi nasional (prolegnas) 2016 ada sekitar 40 Rancangan Undang-undang yang diprioritaskan dibahas. Salah satunya RUU atas inisiatif pemerintah tentang perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undan-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Program itu pun dipertegas dengan kunjungan Dubes AS untuk Indonesia, Robert O Blake pada Kamis, 14/7/2016 di gedung DPR RI. Revisi UU salah satunya memperbesar fungsi pencegahan, perluasan definis perbuatan teror, dan laiinya. Ditegaskan pula oleh Akom dengan harapan UU Terorisme bisa diselesaikan Oktober berlepas dari pro dan kontra di parlemen maupun di masyarakat.

Sebelumnya pun ada 11 poin krusial yang coba digodok untuk menggedok UU Terorisme. Dapat dipastikan kembali dan ditegaskan bahwa definisi terorisme harus sejalan dengan kepentingan AS, Barat, dan Sekutunya. Meskipun mereka menutup mata telah melakukan beragam teror di belahan negeri lainnya. Rezim JOKO-JK ini pun akan semakin meneguhkan kekuasaanya di tengah hembusan people power untuk memakzulkan dan menumbangkannya. Isu terorisme pun sampai kapan pun akan dialamatkan kepada Islam, meski banyak dari non muslim yang melakukan aksi teror.

Pelegalan UU Terorisme ini jika disahkan dapat dipastikan akan menimbulkan gaduh dan judicial review. Akan ada lembaga superbody yang mencoba menjadi ksatria di antara korban tindakan terorisme. Hukum pun dijadikan mainan dan tidak ada yang namanya keadilan. Rezim ini pun menjadi kaki tangan dan boneka mainan dalam program WOT (War on Terorism) yang sejatinya War on Islam. Rezim pun menjadi pelayanan setia kepentingan AS, Barat, dan Sekutunya di wilayah Asia Tenggara demi keberlangsungan hegemoni politik dan ekonomi.

Karena itu, umat Islam di negeri ini tidak boleh tidur dan harus terhenyak untuk melek konstelasi di balik pelegalan UU Terorisme di Indonesia. Baik secara internasional, nasional, hingga tingkat lokal. Jangan sampai saudara yang masih ‘terduga’ dijadikan tumbal dan ditangkap semena-mena atas nama ‘ancaman negara’. Sudah berapa kali nyawa umat Islam digadaikan dan dibunuh begitu saja. Meski korban tidak mampu menuntut di pengadilan dunia, ingatlah mereka akan menuntut di pengadilan Allah SWT yang tak mampu ditipu-daya dan disuap. Justru kehinaan dan kerugian besar bagi rezim yang tak pernah mau melindungi rakyatnya. Di sisi lain, umat Islam harus memiliki kecerdasan politik agar tidak mudah diadu-domba dan dipecah belah dengan sebutan satire. Tetap eling dan waspada, musuh-musuh Islam tidak pernah tidur untuk membinasakan Anda dan meredupkan sinar Islam di muka bumi. Tidakkah kita pernah berfikir? [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.