HIZBUT TAHRIR MENJAWAB TUDUHAN MIRING
Oleh: Yahya Abdurrahman
Pengantar Redaksi:
Dalam perjalanan dakwahnya di seluruh dunia hampir setengah abad, Hizbut Tahrir (HT) telah sering dihadapkan pada berbagai tantangan, rintangan, kendala, bahkan tuduhan keji dan fitnah; baik dari pihak Barat kafir, rezim penguasa sekular, maupun dari kalangan Muslim sendiri.
Tantangan, rintangan, kendala, bahkan fitnahan dari Barat kafir terhadap HT lebih disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap kebangkitan ideologi Islam dan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah yang sedang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam, antara lain oleh HT. Karena itu, HT dipandang sebagai salah satu gerakan yang mengancam eksistensi mereka pada masa depan.
Tantangan, rintangan, kendala, bahkan fitnahan dari para rezim sekular terhadap HT lebih disebabkan karena mereka adalah kaki-tangan Barat kafir, yang merasa terancam kedudukannya.
Sedangkan tantangan, rintangan, kendala, bahkan fitnahan dari kalangan Islam sendiri terhadap HT lebih disebabkan antara lain karena: (1) kesalahpahaman akibat tidak sepenuhnya mendalami HT; (2) kedengkian terhadap eksistensi HT.
Karena itu, tulisan berikut ditulis dengan maksud untuk menjawab sejumlah ‘tuduhan miring’ yang selama ini dialamatkan pada HT. Dengan begitu, diharapkan kesalahpahaman atau kedengkian sebagian kalangan Islam terhadap HT bisa diminimalisasi dan bahkan dihilangkan. Dengan itu pula, HT berharap dapat menjalin ukhuwah Islam dan kerjasama dakwah lebih erat dengan berbagai kalangan umat Islam, yang sama-sama berjuang demi tegaknya kembali syariat Islam secara total dalam kehidupan, tentu melalui tegaknya institusi Khilafah Islamiyah yang diwariskan oleh para generasi terbaik umat ini.
Tuduhan 1:
HT hanya berwacana, tidak melakukan aksi real.
Penjelasan:
Jika dikatakan bahwa HT mengemukakan wacana, tepatnya gagasan, ide atau pemikiran tertentu, memang iya. Tetapi, jika dikatakan bahwa HT hanya berwacana, yang seolah tidak melakukan apa-apa, jelas keliru.
Pertama, Hizbut Tahrir (HT) itu sendiri justru didirikan sebagai tindakan nyata atas seruan Allah dalam surat Ali Imran: 104. Di dalam nas tersebut, Allah telah menggariskan tugas jamaah dakwah adalah menyerukan (mendakwahkan) Islam dan melakukan amar makruf nahi munkar.
Menyerukan Islam itu bisa meliputi, ajakan kepada orang non-Muslim agar memeluk Islam, dan memulai kembali kehidupan Islam. Ajakan kepada orang non-Muslim agar memeluk Islam itu lebih efektif jika dilakukan oleh negara yang menerapkan syariat Islam. Dengan kata lain, ketika Khilafah sudah tegak, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasul pada tahun ke-8/9 H, yang dikenal dengan ‘Am al-Fath. Dan itu nota bene terjadi setelah berdirinya negara Madinah. Sedangkan ajakan memulai kembali kehidupan Islam (isti’nâf al-hayâh al-Islâmiyyah) itu dilakukan saat sebelum dan setelah berdirinya Khilafah. Inilah yang dilakukan oleh HT. Meskipun dari keduanya, aktivitas terakhir inilah yang menjadi prioritas aktivitas HT saat ini.
Sedangkan amar makruf nahi munkar itu meliputi semua kemakrufan dan kemunkaran. Dan karena fakta kemakrufan dan kemunkaran itu ada yang bersifat individu, kelompok atau negara, maka amar makruf nahi munkar tersebut harus meliputi semuanya. Karena HT memandang sumber kemakrufan dan kemunkaran yang paling efektif dalam mewujudkan kemakrufan dan menangkal kemunkaran itu adalah negara, maka aktivitas tersebut harus bersifat siyasi (politik). Inilah yang menjadi alasan, mengapa aktivitas HT adalah aktivitas politik, sehingga bisa menjangkau sumber kemakrufan dan kemunkaran tersebut. Selain adanya sejumlah nas yang mengharuskan aktivitas seperti ini.
Kedua, seruan kepada Islam, baik untuk menyeru orang non-Muslim agar memeluk Islam maupun menyeru orang Muslim agar memulai kembali kehidupan Islam, serta amar makruf dan nahi munkar adalah aktivitas ideologis, berbasis pada ide atau pemikiran tertentu, yaitu Islam. Itu artinya, bahwa jamaah dakwah tersebut harus bercirikan ideologis, bukan pragmatis. Fakta hanyalah obyek yang hendak diubah menurut ide atau pemikirannya. Ia tidak akan menjadikan fakta sebagai sumber untuk membangun aktivitasnya. Inilah yang dilakukan oleh HT. Maka, HT pun tidak menolak jika dikatakan berwacana, meski sekali lagi tidak hanya berwacana. Bahkan, HT pun menyatakan dirinya sebagai entitas pemikiran (kiyan fikri).
Tetapi, lebih dari semuanya itu, apa yang dilakukan oleh HT semata-mata hanya meneladani perbuatan Rasul saw. ketika beliau mengemban dakwahnya, tanpa melakukan penyimpangan sedikitpun darinya, meski hanya seutas rambut. Dengan kata lain, karena itulah yang dicontohkan Nabi, maka HT pun melakukan seperti itu.
Sebab, aktivitas Rasul saw. dalam mengemban dakwah Islam itu merupakan penjelasan bagaimana dakwah tersebut harus diemban. Tharîqah (metode) dakwah Rasul saw. merupakan hukum syariat yang harus kita pegang kuat-kuat; kita haram menyalahinya.
Dakwah Rasul saw. pada masa lalu — yang wajib diikuti oleh setiap jamaah dakwah — dan diamalkan HT saat ini di antaranya:
Pertama, Tatsqîf (pembinaan/pengkaderan), baik yang dilakukan secara intensif (murakkaz) ataupun kolektif (jamâ‘i). Ini adalah aksi real. Hasil-hasilnya juga dapat diindera dan nyata. Pembinaan intensif akan menghasilkan kader-kader dakwah yang berkepribadian Islam. Kader-kader ini akan melakukan pembinaan hingga membentuk kader baru. Sedangkan pembinaan umum akan mewujudkan pemahaman umat terhadap ideologi Islam, baik menyangkut konsep maupun metode implementasinya; sekaligus menciptakan kesadaran umat untuk mengadopsi, menerapkan, dan memperjuangkan Islam agar bisa diterapkan secara nyata untuk mengatur kehidupan.
Kedua, ash-Shirâ‘ al-Fikrî (pergolakan pemikiran), yaitu menjelaskan batilnya pemikiran/pemahaman (mafâhîm), tolok ukur (maqâyis), keyakinan (qanâ‘ât), serta sistem yang ada sejak dari pangkalnya; kemudian menjelaskan mafâhîm, maqâyis, qanâ‘ât (2MQ) serta sistem yang sahih, yakni Islam.
Ini akan membentuk opini umum Islam—yang dibangun di atas pengertian dan pemahaman Islam—di tengah-tengah masyarakat. Dari sini akan lahir kesadaran masyarakat tentang buruknya 2MQ dan realitas yang ada, kemudian mereka akan terdorong untuk bersama-sama melakukan perubahan ke arah Islam. Semua itu real dan dapat diindera; seperti meningkatnya kesadaran, pengertian, pemahaman, dan sambutan umat terhadap seruan penegakan syariat Islam saat ini.
Ketiga, Al-Kifâh as-Siyâsî (perjuangan politik), yaitu aktivitas menghadapi segala bentuk penjajahan dan para penjajah sekaligus membongkar strategi mereka. Aktivitas ini ditujukan untuk menyelamatkan umat dari bahaya kekuasaan mereka dan membebaskan umat dari pengaruh dominasi mereka. Aktivitas ini juga mencakup aktivitas mengungkap kejahatan dan pengkhianatan para penguasa kaum Muslim, menyampaikan nasihat dan kritik kepada mereka, dan berusaha meluruskan mereka setiap kali merampas hak umat atau melalaikan kemaslahatan umat. Semua itu merupaklan aksi real dan hasilnya juga real, dapat diindera dan dirasakan.
Keempat, Tabanni Mashâlih al-Ummah, yaitu mengangkat dan menetapkan kemaslahatan umat dengan cara melayani, mengatur, dan memelihara seluruh urusan umat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hasilnya, umat akan memahami dan menyadari kemaslahatan yang seharusnya mereka terima dan rasakan, yang justru sering diabaikan oleh penguasa dan sistem yang ada. Umat akan menyadari kebutuhan real mereka akan tegaknya penguasa dan sistem yang menjamin kemaslahatan mereka.
Inilah fungsi dan tugas kelompok (partai) politik, mendidik umat agar memahami hak-hak mereka, dan mengingatkan penguasa agar tidak merampas hak-hak itu dari mereka. Dengan begitu, tugas ri‘âyah yang menjadi tugas negara, bukan tugas jamaah dakwah (partai politik) itu betul-betul akan dijalankan oleh para penguasa tadi, laksana pengurus dan pelayan rakyat. Nah, dalam hal ini HT berfungsi menjadi uyun al-ummah wa lisanuha (mata dan lidah umat). Semua itu juga merupakan bentuk aksi real dan hasilnya pun real.
Kelima, Thalab an-Nushrah (mobilisasi dukungan), yaitu menggalang dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan, kekuasaan, dan pengaruh di tengah-tengah umat; tentu setelah mereka didakwahi dengan dakwah Islam serta disadarkan akan pentingnya syariat Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Hasilnya adalah: Pertama, diperolehnya himâyah (perlindungan) terhadap dakwah dan para pengembannya sehingga aktivitas dakwah tetap bisa berjalan; kedua, memperoleh mandat kekuasaan untuk menerapkan hukum-hukum Allah. Aktivitas ini juga merupakan aksi real dan hasilnya pun real.
Kesimpulannya, HT hanya melakukan aktivitas yang diserukan Allah. HT tidak menjadikan aktivitas yang boleh tetapi tidak diserukan Allah kepada jamaah sebagai aktivitas rutinnya. HT tidak akan melakukan aktivitas yang dilarang dilakukan oleh jamaah. Semua ini karena HT hanya mengambil teladan yang diberikan oleh Rasul saw., tidak lebih. Aktivitas yang dilakukan HT adalah sama dengan aktivitas yang dilakukan Rasul saw. bersama jamaah dakwahnya ketika berdakwah di Makkah; yang berbeda hanya cara dan sarananya saja. Semua yang dilakukan Rasulullah saw. bersama jamaah dakwahnya, sebagaimana yang—insya Allah—senantiasa diteladani oleh HT adalah aksi real.
Tuduhan 2:
HT hanya berpolitik; tidak mempedulikan akidah, ibadah, dan akhlak.
Penjelasan:
Anggapan itu muncul karena persepsi politik yang cenderung stereotype, dan tidak dipahami sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam. Islam menggariskan politik (siyâsah) sebagai aktivitas ri‘âyah as-syu’ûn al-ummah dâkhliyy[an] wa khârijiyy[an] (pengaturan dan pemeliharaan segenap urusan umat, baik di dalam maupun luar negeri). Pengertian politik (siyâsah) seperti inilah yang dipahami HT dari hadis Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:
Dulu Bani Israil selalu dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, datang nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah yang banyak. (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
Siapa saja yang tidak memperhatikan kaum Muslim secara umum bukanlah bagian dari mereka (kaum Muslim).
Memperhatikan urusan kaum Muslim menurut hadis ini adalah wajib karena adanya qarînah (indikasi) laysa minhum (tidak termasuk bagian dari kaum Muslim), tentu dalam rangka mengatur dan melayani urusan mereka sesuai dengan hukum-hukum Islam. Inilah aktivitas politik real yang dikehendaki Islam.
Perkara yang harus diperhatikan, diatur, dan dipelihara adalah seluruh urusan kaum Muslim secara umum; baik yang menyangkut akidah maupun syariah (ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak, muamalat, dan ‘uqûbât [persanksian]); dengan tidak memisahkan antara persoalan duniawi dan ukhrawi. Semuanya itu akan sempurna jika syariat Islam diterapkan dalam segala aspeknya oleh negara. Untuk itu, setiap jamaah dakwah, termasuk HT, sejatinya harus mengemban dakwah Islam untuk tujuan ini, yakni tegaknya syariat Islam dalam sebuah institusi Khilafah Islam. Sebab, hanya dengan tegaknya syariat Islam dalam institusi Khilafah Islam inilah seluruh urusan, kepentingan, dan kemaslahatan kaum Muslim tadi dapat diwujudkan.
Pendek kata, setiap jamaah dakwah justru harus berpolitik dalam arti yang sesungguhnya. Itulah yang telah, sedang, dan akan terus dilakukan oleh HT pada masa lalu, kini, dan masa datang.
Hanya saja, karena aktivitas politik tadi bersifat ideologis (pemikiran), yang hendak digunakan untuk mengubah masyarakat, maka justru yang ditanamkan HT pertama kali adalah keyakinan terhadap ide (pemikiran). Ini bisa meliputi akidah ataupun hukum syara’. Dengan keyakinan terhadap ide (pemikiran) yang ditanamkannya, maka aktivitas politik yang berjalan akan konsisten dan tetap pada pakem ideologis, bahkan jauh dari ciri opurtunistik. Lalu, keyakinan yang mana, yang tidak diperhatikan oleh HT?
Mungkin karena HT tidak melakukan kajian tentang akidah secara “mendalam”. Jika itu persoalannya, tidak lebih karena HT memandang, bahwa umat Islam saat ini masih memiliki akidah Islam. Hanya saja, HT memandang akidah yang mereka miliki itu harus diluruskan. Dalam hal ini, ada enam persoalan utama yang dianggap menjadi biang dari rapuhnya akidah kaum Muslim. Maka, keenam persoalan itu harus dipecahkan dan diselesaikan oleh HT, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, jauh dari perdebatan ahli kalam: (1) Qadha’ dan Qadar, (2) Qadar, (3) Tawakal, (4) Rizki, (5) Ajal dan kematian, dan (6) Hidayah dan Dhalalah.
Karena itu, di dalam dakwahnya, HT tampak menonjol dalam aktivitas tashhîh (pelurusan/pemurnian) akidah, yang dari sana lahir hubungan dengan Allah yang begitu kuat. Selain itu, juga menghubungkan, di satu sisi antara problem manusia dengan hukum Allah, dan dorongan akidah yang menjadi pangkal lahirnya hukum tersebut, di sisi lain. Dengan begitu, dakwah ini menjadi dinamis —dan tidak pernah kehilangan ruh— dalam seluruh medan kehidupan.
Di samping itu, dalam kitab-kitab lain yang dikeluarkan oleh HT, pembahasan mengenai akidah Islam ini sangat menonjol. Hanya saja, HT tidak memahami secara sempit akidah Islam sebatas sebagai akidah rûhiyah semata. Akan tetapi, HT memahami akidah Islam dalam maknanya yang sangat luas, yakni sebagai akidah rûhiyah sekaligus sebagai akidah siyâsiyah. Artinya, HT tidak hanya berbicara tentang bagaimana membangun keimanan secara benar dan lurus, tetapi lebih dari itu, bagaimana akidah ini bisa direfleksikan oleh kaum Muslim dalam bentuk penerapan syariat Islam secara total dalam kehidupan. Sebab, penerapan syariat Islam secara total dalam kehidupan—mencakup hukum-hukum ibadah, akhlak, makanan dan pakaian, muamalat (ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, sosial, budaya, dan keamanan), serta ‘uqûbât/persanksian (seperti hukum cambuk/rajam bagi pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, hukum qishâsh, dll)—justru merupakan ekspresi keimanan kaum Muslim yang sesungguhnya. Semuanya itu hanya mungkin diwujudkan dalam sebuah intitusi Khilafah Islam. Itu berarti, mau tidak mau, setiap jamaah dakwah harus bersentuhan dengan politik. Itulah yang juga dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan mendirikan negara di Madinah al-Munawwarah.
Karena itu, justru HT selalu berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya umat ini membangun keimanan mereka secara benar. Dengan begitu, mereka diharapkan memiliki keimanan yang lurus, kuat menghunjam di dalam jiwa, produktif, dan berpengaruh. Maka tidak heran jika HT mengawali pembinaan masyarakat dan para kadernya dengan akidah Islam. Bahkan, bab pertama dalam kitab Nizhâm al-Islâm—yang merupakan kitab pertama yang wajib dikaji oleh setiap aktivis dan kader HT—berbicara mengenai Tharîq al-Imân, yakni bagaimana setiap Muslim harus menapaki jalan keimanan yang benar dan lurus.
Jika demikian yang selalu diupayakan dan diperjuangkan oleh HT selama ini, lalu bagaimana mungkin HT dianggap tidak mempedulikan akidah?
Sementara itu, dalam masalah ibadah (ritual), HT cukup dengan memberikan panduan agar ibadah itu lurus dan tidak menyimpang, yang nota bene ibadah itu bersifat tawqîfiyyah; harus diambil apa adanya sesuai dengen ketentuan yang dinyatakan dan ditunjukkan oleh nash. Manusia tidak boleh menambah, atau mengurangi ketentuan ibadahnya, bahkan mereka-reka sendiri. Sebab, ibadah adalah penyembahan kepada Allah dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana hamba harus menyembah (beribadah) kepada-Nya.
Dengan panduan tersebut, HT menyerahkan sepenuhnya kepada para aktivis (syabâb)-nya dan umat agar mengadopsi hukum-hukum ibadah yang lebih rinci. Meski itu semua tetap harus didasarkan pada pendapat yang dinilai paling kuat dalilnya, baik penilaian itu diperoleh sendiri dengan menganalisis dalil ataupun dengan bertaklid kepada mujtahid yang dipercayai kadar keilmuannya.
HT berpendapat, Khalifah sekalipun hendaknya tidak mengadopsi hukum tertentu dalam ibadah ritual ini, kecuali ibadah yang berkaitan dengan kesatuan kaum Muslim dan penampakkan syiar keagamaan seperti shaum Ramadhan, shalat Id, zakat, dan jihad. Di luar itu, pengadopsian hukum tertentu dalam masalah ibadah akan menimbulkan kesempitan (haraj) bagi kaum Muslim, sementara haraj itu tidak boleh ada dalam agama ini.
Dan karena HT didirikan bukan sebagai mazhab agama, melainkan sebagai kelompok (partai) politik, maka gagasan, ide dan pemikirannya tentu dalam konteks apa yang seharusnya diemban oleh sebuah kelompok (partai) politik, bukan mazhab. Maka, mencoba membandingkan HT dengan mazhab di dalam Islam tentu tidak pada tempatnya.
Pendek kata, anggapan bahwa HT tidak mempedulikan masalah ibadah jelas tidak benar dan bertentangan dengan fakta.
Tentang akhlak, HT berpandangan bahwa akhlak adalah bagian dari hukum syara’. Karena akhlak tidak bisa dipisahkan dengan perintah dan larangan Allah. Karena itu, akhlak wajib direalisasikan pada diri setiap Muslim seluruh aktivitasnya agar sempurna sesuai dengan Islam. Inilah yang juga dibahas dalam salah satu buku wajib HT, yakni Nizhâm al-Islâm.
Dalam rangka membangun individu Muslim yang berkepribadian Islam, sudah menjadi keharusan membentuk dan meluruskan akidah, ibadah, muamalat, dan akhlaknya. Sebab, secara syar‘i, kita tidak boleh hanya memfokuskan diri pada akhlak semata. Bahkan sebelum segalanya, harus diwujudkan lebih dulu keyakinan akidah. Satu hal yang mendasar tentang akhlak adalah bahwa akhlak wajib dibangun berdasarkan akidah Islam, dan seorang Mukmin wajib mempunyai sifat akhlak dengan prinsip, bahwa itu adalah perintah dan larangan Allah.
HT tidak pernah mengabaikan akhlak. Bahkan HT membina para syabâb (aktivis)-nya dan umat umumnya agar menjadi Muslim yang berkepribadian Islam, bukan sekadar berakhlak Islam. Sebab, setiap Muslim wajib memiliki akidah yang lurus, kuat, dan produktif; taat dan rajin beribadah; berakhlak terpuji; dan senantiasa terikat dengan syariat dalam seluruh aspek kehidupannya. HT memandang, kaum Muslim bukan hanya harus senantiasa khusyuk dalam ibadah, jujur, bertutur sopan, gemar menebar senyum, amanah, bersikap welas asih, dan lain-lain—yang merupakan bagian dari akhlak Islam; tetapi juga mereka wajib berpolitik, menjalankan bisnis, menyelenggarakan pemerintahan, dan lain-lain berdasarkan syariat Islam.
Tuduhan 3:
HT, Ingkar Sunnah dan Hadis Ahad.
Penjelasan:
Ingkar sunnah, atau dalama bahasa Melayu disebut anti hadits, adalah komunitas yang jelas menolak hadits sebagai sumber hukum Islam. Pada ulama’ sepakat, bahwa menolak Sunnah sebagai sumber hukum, sama dengan menolak al-Qur’an. Sama-sama dinyatakan kufur, orangnya disebut Kafir. Berbeda dengan menolak satu hadits sahih sebagai salah satu sumber hukum. Dalam hal ini, para ulama’ memvonis orang tersebut sebagai orang Fasik. Lebih berbeda lagi, ketika menolak satu hadits untuk dijadikan sebagai dalil untuk kasus tertentu, baik karena sumbernya masih diperdebatkan, atau karena faktor dalalah (konotasi)-nya yang memang dianggap tidak relevan. Yang terakhir ini jelas boleh.
Dalam konteks hadits Ahad, HT tidak pernah menolak hadits Ahad. Jika persoalannya menolak atau tidak, jelas HT tidak pernah menolak. Tetapi, jika masalahnya: apakah hadits Ahad itu bisa digunakan sebagai dalil akidah atau tidak? Juga apakah hadits Ahad itu bisa dijadikan dalil hukum syara’ atau tidak? Tentu, jawabannya bukan menolak atau tidak, melainkan bisa dan tidak sebagai dalil. Dalam konteks akidah, hadits Ahad itu sendiri memang tidak bisa digunakan sebagai dalil. Pertama, fakta akidah itu sendiri yang harus qath’i, atau yakin seratus persen. Kedua, fakta hadits Ahad yang hanya bisa mengantarkan pada ghalabah adh-dhann (dugaan kuat). Artinya, fakta akidah seperti ini —yang nota bene harus yakin seratus persen— jelas tidak bisa dibangun dengan dalil yang hanya bisa mengantarkan pada keyakinan di bawah seratus persen, sementara yang dibutuhkan harus seratus persen. Jadi, masalahnya seperti itu. Bukan soal menerima atau menolak hadits Ahad. Selain itu, dalam hal ini para ulama’ juga terbelah menjadi dua kelompok: ada yang menganggap hadits Ahad bisa dijadikan dalil akidah, dan ada yang tidak. Kembali kepada kesimpulan mereka, apakah hadits Ahad tersebut menghasilkan dhann (dugaan), atau ‘ilm (keyakinan). Maka, menuduh HT dengan menolak hadits Ahad, karena hadits tersebut tidak digunakan sebagai dalil akidah adalah tuduhan yang menyesatkan. Sebab jelas bertentangan dengan fakta.
Adapun dalam konteks hukum syara’, jika pertanyaannya: apakah khabar Ahad bisa dijadikan dalil hukum syara’? Jawabnya pasti bisa. Dalam hal ini, para ulama’ tidak ada perbedaan pendapat.
Disamping itu, HT berpedoman pada nash-nash yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an yang banyak mengecam akidah kaum Kafir, misalnya, surat an-Nisa’: 157, al-An’am: 116, 148, Yunus: 36, 66, an-Najm: 23 dan 28. Kesemuanya dengan jelas mengecam akidah mereka, karena mereka hanya mengikuti dhann (dugaan). Konteks nash-nash tersebut memang ditujukan kepada orang Kafir, yang sekaligus menjadi indikasi adanya larangan yang tegas (nahy jazim) kepada kaum Muslim untuk tidak berakidah seperti mereka. Yang itu berarti, berakidah seperti orang Kafir tersebut jelas haram.
Agar kaum Muslim bisa menjauhkan diri dari larangan tersebut, maka mereka harus meninggalkan hal-hal yang bisa mengantarkan mereka ke sana. Termasuk di dalamnya adalah menggunakan hadits Ahad sebagai dalil dalam berakidah. Secara faktual juga tidak bisa dibantah, bahwa akibat penggunaan dalil seperti ini umat Islam dahulu telah terjebak dalam aksi Kafir-Mengkafirkan, karena adanya ikhtilaf yang dipicu oleh dalil itu sendiri. Logikanya jelas, masalah akidah adalah masalah iman dan kufur; siapa yang tidak mengimani apa yang diimani satu kelompok, maka dianggap kafir. Demikian sebaliknya.
Karena itu, dalam Muqaddimah ad-Dustur, HT menyatakan, bahwa sekalipun negara tidak mengadopsi mazhab akidah tertentu, tetapi negara tetap harus menentukan dalil mana yang bisa digunakan dan tidak dalam berakidah untuk menjauhkan kaum Muslim dari perkara yang dilarang oleh Allah SWT. sebagaimana yang dinyatakan dalam nash-nash di atas.
Tuduhan 4:
HT adalah Muktazilah Gaya Baru yang Cenderung Mendewakan Akal.
Penjelasan:
Kesimpulan HT adalah Neo-Muktazilah adalah cara pengambilan kesimpulan yang sama, sebagaimana cara pengambilan kesimpulan sebelumnya. Semuanya menyesatkan. Intinya, agar masyarakat menjauhkan diri dari HT.
Tuduhan seperti ini, bisa jadi lahir karena kebodohan tentang Muktazilah dan HT itu sendiri, sehingga menyamakan dua fakta yang berbeda, tetapi ironinya dianggap sama; atau karena faktor su’ an-niyyah (niat jahat). Wallahu a’lam.
Jika HT dituduh Neo-Muktazilah karena sama-sama menggunakan akal, maka pertama, kesimpulan ini adalah kesimpulan mantik; kedua, dengan adanya perbedaan antara HT dan Muktazilah dalam memandang akal, sebenarnya sudah cukup untuk meruntuhkan tuduhan tersebut.
Memposisikan akal
Satu hal yang menonjol, Muktazilah sangat mengedepankan akal dalam segala hal. Mereka juga tidak membatasi ruang lingkup kerja akal.
Batasan mengenai akal itu sendiri belum dipahami dan tetap menjadi persoalan di kalangan ulama’ kaum Muslim, termasuk ahli filsafat dari dulu hingga sekarang. Hal itu tampak jelas dari, misalnya, anggapan al-Ghazali bahwa akal itu seperti cermin; juga dari pandangan filosof Muslim dan mutakallimin yang membagi akal menjadi tujuh macam akal seperti yang telah disimpulkan oleh al-Amidi dan al-Jurjani, padahal akal itu faktanya hanya satu.
Karena itu, demi kebaikan manusia, kehidupan dan alam semesta, harus dipahami fakta akal, proses berpikir, dan metode berpikir. Di sinilah HT melakukan analisis terhadap fakta akal, wilayah kerja akal, dan metode berpikir (menggunakan akal) yang benar.
Setelah meneliti dan menganalisis fakta akal, HT memandang bahwa akal (al-‘aql), pemikiran (al-fikr), dan kesadaran (al-idrâk) adalah satu realita yang sama; yaitu sebagai proses pemindahan fakta ke dalam otak, dengan perantaraan indera, yang didukung oleh adanya informasi awal, yang dengan itulah fakta ditafsirkan.
Dengan demikian, dalam pandangan HT, akal atau pikiran itu terdiri dari empat komponen: (1) fakta inderawi; (2) indera; (3) otak; (4) informasi awal. Walhasil, aktivitas berpikir (menggunakan akal) harus melibatkan keempat komponen ini, yang jika salah satunya tidak ada, tidak akan pernah terjadi yang namanya proses atau aktivitas berpikir.
Dari batasan tersebut, HT kemudian mengklasifikasikan fungsi akal menjadi dua: (1) idrak, dan (2) fahm. Dalam konteks idrak, akal berfungsi untuk menghukumi fakta yang memang bisa diindera, baik secara langsung maupun melalui tanda-tandanya, yang kemudian ditopang dengan informasi awal tentang fakta tersebut. Seperti kesimpulan, bahwa alam itu makhluk, karena bersifat terbatas, tidak abadi dan azali. Sedangkan dalam konteks fahm, akal hanya berfungsi memahami fakta berdasarkan informasi yang akurat tentang fakta tersebut, sementara faktanya itu sendiri tidak bisa diindera. Contoh, pedihnya adzab Akhirat itu adalah fakta (bukan imajinasi) yang bisa dipahami oleh akal melalui informasi Allah, sementara akal tidak pernah bisa menjangkau fakta (kenyataan adzab) tersebut. Tetapi, fakta tersebut nyata, karena sumber informasinya akurat, dan pasti benar.
Maka, dalam pembahasan akidah, HT tidak terlibat dalam perdebatan, misalnya: apakah sifat Allah sama dengan dzat-Nya, ataukah tidak; sesuatu yang nota bene menjadi perdebatan panjang antara Ahlusunnah di satu sisi, dan Muktazilah di sisi lain. Perdebatan seperti ini dianggap keliru oleh HT, karena yang dibahas adalah fakta yang tidak bisa dijangkau oleh akal, sementara dalil naqli juga tidak ada yang membahasnya. Semuanya ini tentu karena HT mempunyai batasan yang jelas tentang akal, wilayahnya, kapan bisa digunakan dan tidak, termasuk mana yang bisa di-idrak, dan mana yang hanya bisa di-fahm saja.
Dalam konteks hukum syara’, dimana akal hanya bisa berfungsi untuk memahami, HT pun telah meletakkan akal bukan sebagai hakim, sebagaimana Muktazilah, yang menyatakan bahwa akal bisa menentukan baik dan buruk, termasuk terpuji dan tercela. Tetapi, HT memandang:
Kebaikan adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’, sedangkan keburukan adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’.
Demikian juga:
Perkara terpuji adalah apa yang diridhai oleh Allah, sedangkan perkara tercela adalah apa yang dimurkai oleh Allah.
Jadi, tuduhan bahwa HT mendewa-dewakan akal itu jelas menyesatkan. Sebaliknya, HT telah meletakkan akal sesuai dengan proporsi yang seharusnya dimainkan oleh akal. Intinya, HT tidak menghalangi akal untuk menghukumi sesuatu yang sesungguhnya bisa dilakukan oleh akal; sebaliknya, HT Tidak membebaskan (artinya mencegah, red.) akal untuk menghukumi sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh akal.
Memposisikan persoalan Qadha’ dan Qadar.
Jika bukan karena fenomena akal, barangkali tuduhan di atas dibangun karena, menurut mereka, HT beranggapan bahwa manusialah yang menentukan perbuatannya. Sesuatu yang lazim dibahas oleh ulama’ usul dalam persoalan Qadha’ dan Qadar. Benarkah HT mempunyai pandangan yang sama dengan Muktazilah dalam isu kebebasan berkehendak (free will)?
Muktazilah memang sering disebut Qadariah, karena gagasannya tentang qadar, yang menolak dikaitkannya perbuatan manusia dengan takdir. Menurut mereka, manusia itu bebas bekehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan; manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya, bahkan termasuk khasiat suatu benda yang terkait dengan perbuatannya. Misalnya, memukul dengan alat pemukul adalah perbuatan manusia, termasuk rasa sakit yang ditimbulkan dari pukulan yang menggunakan alat pemukul tadi. Teori seperti ini dalam istilah Muktazilah lazim disebut Af’al wa tawalludu al-af’al (perbuatan dan efek yang ditimbulkan perbuatan).
Pandangan inilah yang menyeret Ahlussunnah dan kelompok-kelompok lain. Dari sinilah kemudian berkembang apa yang kemudian dikenal dengan istilah Qadha’ dan Qadar.
Kesalahan yang paling fatal dalam konteks ini adalah karena masing-masing pihak yang terlibat dalam polemik tersebut tidak pernah memisahkan: perbuatan (al-af’al), di satu sisi, dan efek yang ditimbulkan oleh perbuatan (tawalludu al-af’al), di sisi lain. Kesalahan yang kedua, mereka mengaitkan pembahasan perbuatan manusia tersebut dengan perbuatan Allah.
Ketika melihat faktanya seperti ini, HT kemudian memisahkan antara fakta perbuatan dan efek yang dihasilkannya, melalui alat yang digunakannya. Kemudian mendudukan pembahasan tersebut hanya membahas obyek yang bisa dijangkau oleh akal manusia, yaitu perbuatan manusia. Maka disimpulkan, bahwa perbuatan manusia itu ada dua kategori:
Pertama, yang tidak bisa dipilih oleh manusia (mujbar); posisi manusia berada dalam lingkaran yang menguasai dirinya. Di sini, manusia tidak memiliki peran apa-apa. Inilah yang disebut qadha’. Dalam hal ini, baik dan buruknya sepenuhnya dinisbatkan kepada Allah. Dalam konteks seperti ini manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah pada Hari Akhirat kelak. Manusia, misalnya, tidak akan dihisab oleh Allah karena gempa atau tsunami yang telah menimpanya, yang menghancurkan harta dan menghilangkan jiwanya; ia juga tidak akan dihisab karena tiba-tiba mobilnya mogok di tengah jalan—tanpa dia sendiri kuasa mengatasinya—sehingga menimbulkan kemacetan total dan tentu saja merugikan orang banyak.
Kedua, yang bisa dipilih oleh manusia (mukhayyar); posisi manusia berada dalam lingkaran yang dia kuasai. Di sini, manusia bisa berperan apa saja. Tentu ini bukan wilayah qadha’, sehingga tidak bisa menisbatkan semuanya kepada Allah. Sebaliknya, baik dan buruknya sepenuhnya merupakan pilihan manusia. Maka, manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di Akhirat. Manusia beriman atau kafir, misalnya; duduk atau berdiri; makan-minum yang halal atau yang haram; menikah atau berzina; menerapkan hukum Allah atau hukum manusia; dan sebagainya; semua itu berada dalam ikhtiar (pilihan) manusia sepenuhnya. Karena itu, pilihan manusia dalam wilayah ini akan dihisab di hadapan Allah kelak pada Hari Akhir.
Itu di satu sisi, tentang fakta perbuatan manusia. Di sisi lain, fakta perbuatan manusia juga tidak bisa dilepaskan dari alat yang digunakan untuk melakukan perbuatan. Dan dengan menggunakan alat tersebut, muncullah efek perbuatan, seperti rasa sakit yang diakibatkan oleh pukulan yang menggunakan kayu. Apa yang oleh Muktazilah disebut tawallud al-af’al itu dianggap keliru oleh HT. Sebaliknya, yang tepat adalah khashiyat al-asyya’ (khasiat benda), karena faktanya memang demikian. Inilah yang kemudian disebut oleh HT dengan menggunakan istilah qadar.
Khasiat itu sendiri adalah karakteristik khas yang dimiliki oleh benda sebagai ciptaan Allah. Contoh: api mempunyai karakteristik khas bisa membakar dan panas; sementara air mempunyai karakteristik khas bisa membasahi dan memadamkan api. Begitu seterusnya. Semua potensi itu adalah ciptaan Allah yang melekat pada sesuatu sebagai sunatullah. Manusia tidak akan dihisab oleh Allah Swt. berkaitan dengan semua karakteristik yang telah diciptakan Allah pada benda, termasuk pada dirinya sendiri.
Yang dihisab oleh Allah Swt. dalam konteks khashiyat adalah pemanfaatan manusia atas khasiat-khasiat itu. Contoh: manusia tidak akan dihisab oleh Allah karena memiliki hasrat seksual; yang akan dihisab adalah pemanfaatan hasrat seksual tersebut—apakah di jalan yang halal dengan cara menikah atau di jalan yang haram dengan cara berpacaran, berzina, atau melacur.
Dari sini tampak jelas bahwa HT sangat berbeda dengan Muktazilah. Bahkan bisa dikatakan, HT melakukan koreksi atas kesalahan Muktazilah, termasuk Ahlussunnah, sekaligus memberikan solusi yang benar atas persoalan qadhâ’ dan qadar yang diperdebatkan oleh para mutakallimin sejak Abad I Hijriah itu.
Jadi, HT tidak bisa disamakan dengan Muktazilah; keduanya sangat jauh berbeda. Karena itu, tuduhan bahwa HT adalah Neo-Muktazilah merupakan tuduhan yang sangat keliru dan menyesatkan. Ini juga membuktikan, bahwa tuduhan tersebut sekaligus membuktikan kebodohan pihak penuduh terhadap fakta Muktazilah dan HT, atau karena faktor lain, yaitu su’ an-niyyah (berniat jahat).
Tuduhun 5:
HT adalah Organisasi Sempalan, Militan, dan Teroris.
Penjelasan:
Sampai saat ini, batasan dan definisi terorisme masih sangat kabur. Yang lebih menonjol, istilah terorisme itu digunakan oleh Barat untuk mencap semua pihak yang beroposisi dengan Barat. Istilah itu terutama ditujukan Barat kepada Islam dan kaum Muslim yang bersebrangan dengan mereka.
Namun, ada satu ciri terorisme yang hampir disepakati oleh berbagai kalangan, yaitu adanya unsur kekerasan yang dapat mengakibatkan tersebarnya teror/ketakutan di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan istilah militan, dalam kamus bahasa Inggris Collin Cobuild, adalah menunjuk kepada seseorang atau pada sikap yang sangat percaya pada sesuatu dan aktif mewujudkannya dalam perubahan sosial politik. Sangat sering cara-cara itu bersifat ekstrem dan tidak bisa diterima oleh orang lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Balai Pustaka, militan artinya bersemangat tinggi, penuh gairah, atau berhaluan keras.
Sedangkan Saad Edin Ibrahim, dalam penelitiannya, mendefinisikan “Islam militan” sebagai perilaku kolektif kelompok kekerasan menentang negara dan aktor-aktor lain atas nama Islam. Karena problem itu, S. Yunanto dkk., dalam penelitiannya, mengajukan batasan “militan” dengan merujukkannya pada sekelompok orang yang teguh, bersemangat tinggi, yang dalam memperjuangkan tujuan atau kepentingannya kerap mengunakan kekerasan.
Jadi, teroris dan militan identik dengan penggunaan kekerasan.
Mengenai penggunaan kekerasan, sikap HT sangat jelas dan diketahui siapapun, termasuk kalangan Barat sendiri. HT memandang penggunaan kekerasan dalam upaya memperjuangkan dan mendakwahkan Islam telah menyalahi metode dakwah Rasul saw. dan karenanya haram hukumnya. Tidak ada ruang bagi kekerasan atau militansi dalam metodologi dakwah HT, karena HT berusaha untuk selalu berjalan di atas manhaj dakwah Rasulullah saw.
Di samping itu, HT berkeyakinan bahwa perubahan masyarakat yang diidamkan harus dimulai dari perubahan pemikiran. HT tidak mungkin memaksa seseorang atau masyarakat untuk berubah atau melakukan perubahan dengan kekerasan dan teror. HT dan para syabâb-nya sangat berpegang teguh dengan syariat dalam masalah ini. Syariat telah mengharamkan penggunaan kekerasan dan teror untuk mendakwahkan Islam dan memperjuangkan penerapan hukum-hukum Islam di tengah-tengah kehidupan.
Siapapun yang jujur akan mengakui, bahwa sejak berdirinya hingga sekarang, HT adalah entitas pemikiran dan politik yang berupaya mengubah pemikiran masyarakat melalui diskusi dan perdebatan intelektual. HT hanya menyandarkan aktivitasnya pada perjuangan yang bersifat pemikiran dan politik. HT berpegang dengan hukum Islam yang melarang penggunaan kekerasan, teror, dan pergolakan bersenjata menentang rezim kufur sebagai metode menegakkan kembali hukum-hukum Allah di muka bumi di dalam institusi Khilafah Islamiyah.
HT tetap berpegang teguh untuk melakukan perjuangan yang bersifat pemikiran dan politik tanpa kekerasan. HT tidak akan pernah terpancing untuk menggunakan kekerasan atau mengangkat senjata meskipun perjuangannya yang hanya bersenjatakan pemikiran itu telah direspon oleh rezim penguasa di banyak negara dengan kekerasan, siksaan, teror, penjara, sampai pembunuhan. Banyak kader-kader HT—yang hanya karena pemikiran dan aktivitas politiknya—dibunuh dan ribuan lainnya dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim penguasa. Namun, HT tetap berpegang teguh dengan syariat untuk tidak menggunakan kekerasan, teror, dan pergolakan senjata.
Kenyataan ini sudah dipahami oleh hampir semua kalangan, tidak terkecuali oleh lembaga-lembaga Barat sendiri. Karena itu, tidak aneh jika banyak artikel dari berbagai media—seperti Reuters, Itar-Tass, Pravda, AFP, al-Hayat, Ascosiated Press, RFERL, dan sebagainya—telah menyatakan dengan jelas bahwa HT merupakan organisasi non-kekerasan yang telah mengesampingkan pergolakan bersenjata/ kekerasan sebagai bagian dari metode perjuangannya. Tidak aneh pula jika The Second State Security Court Turki di Ankara dalam putusannya tanggal 13 Maret 2004 menyatakan, “Tidak ada bukti untuk menunjukkan bahwa organisasi ini (Hizbut Tahrir) telah menggunakan satu pun bentuk kekerasan. Jadi, mustahil memandang Hizbut Tahrir sebagai organisasi teroris. Jika Hizbut Tahrir menggunakan kekerasan, ia baru dapat dideskripsikan sebagai organisasi teroris. Atas dasar ini, Hizbut Tahrir tidak bisa dilarang dengan anggapan sebagai organisasi teroris.”
Soal Sempalan.
Tuduhan sebagai gerakan sempalan terhadap HT lebih ditujukan untuk menjelekkan HT dan menjauhkannya dari umat. Dengan itu, hendak ditanamkan bahwa HT telah menyimpang dari Islam dan keluar dari jamaah kaum Muslim.
Pada faktanya, semua pemikiran dan hukum yang dikembangkan dan didakwahkan oleh HT merupakan pemikiran dan hukum Islam yang didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas syar‘i.
HT memandang semua pemikiran dan hukum yang tidak dibangun berdasarkan dalil syariat sebagai pemikiran dan hukum selain Islam. HT menolak semua pemikiran dan hukum selain Islam itu.
Siapapun yang pernah berinteraksi dengan HT akan mengetahui bahwa semua ide dan hukum yang diambil dan diserukan HT selalu didasarkan pada dalil-dalil syariat. Siapapun yang mendalami dan mengkaji pemikiran dan hukum-hukum yang telah ditelorkan oleh para ulama kaum Muslim terdahulu dan tertuang dalam karya-karya mereka, lalu membandingkannya dengan apa yang diadopsi oleh HT, insya Allah akan menemukan benang merah dan ikatan sangat kuat di dalamnya.
Dengan demikian, HT adalah bagian integral kaum Muslim yang sangat berpegang teguh dengan dalil-dalil dan hukum-hukum syariat; teguh memegang dan melestarikan khazanah keilmuan warisan generasi terdahulu dari umat ini.
Walhasil, tuduhan bahwa HT adalah gerakan sempalan yang menyempal dari Islam dan kaum Muslim adalah ahistoris dan bertentangan dengan fakta yang ada.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Catatan kaki:
Ibid., hlm. 58
1. Lihat rinciannya dalam Manhaj Hizb at-Tahrîr fî at-Taghyîr, Hizbut Tahrir. 1989; An-Nabhani, at-Takattul al-Hizbi, Hizbut Tahrir, cet. iv (mu’tamadah). 2001; An-Nabhani, Dukhûl al-Mujtama’, Hizbut Tahrir. 1953
2. HR Al-Hakim, Thabrani, Abu Nu’aim dan al-Bayhaqi marfu’, Al-Hakim dari Hudzaifah hadis no. 7889, dan dari Ibn Mas’ud (tanpa ‘amat[an]) hadis no. 7902 (Mustadrak ‘alâ Shahîhayn, iv/ 352, 356, cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut. 1990). Hadis senada diriwayatkan oleh At-Thabrani, dari Abu Dzar hadits no. 471 (Mu’jam al-Awsath, 1/151); dari Hudzaifah hadits no. 7473, (Mu’jam al-Awsath, 1/151, Dar al-Haramayn, Kaero. 1415). Al-’Ajluni, Kasyf al-Khafâ’, 2/368, cet. iv, Muassasah ar-Risalah, Beirut. 1405
3. An-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, hlm. 61, min mansyurat Hizb at-Tahrir, cet. vi (mu’tamadah). 2001
4. Lihat: QS. Al-Hajj [22]: 78
5. An-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, hlm. 131
6. Ibid, hlm. 136
7. Al-Ghazali, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 22
8. AL-Amidi, al-Mubayyan, hlm. 106-108. al-Jurjani, at-Ta’rifât, 196-197
9.An-Nabhani, at-Tafkîr, hlm. 6, ashdarahu Hizb at-Tahrîr, 1973, cet. I
10. An-Nabhani, at-Tafkîr, hlm. 26, Hizb at-Tahrir, 1973, cet. I; Nizhâm al-Islâm, hlm. 42, min mansyurat Hizb at-Tahrir, cet. VI (mu’tamadah). 2001
Collin Cobuild, English Dictionary for Advance Learners, hlm. 997, Harper Collins Publishers. 2001
11. S. Yunanto, dkk., Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, hlm. 9, The Ridep Institut Kerjasama dengan Freidrich-Ebert-Stiftung (FES), Jakarta. 2003
Tidak ada komentar