Header Ads

Mencabut Terorisme dengan Dakwah (Tanggapan Untuk Jawa Pos)

Oleh: Khoiri Sulaiman (Ketua DPD HTI Jatim)


JATI Diri Jawa Pos (11/08/09) yang berjudul Mencabut Akar Radikalisme menarik untuk ditanggapi. Sebab, pertama, momentum pascabom JW Marriott II dan Ritz-Carlton serta penyerbuan atas Noodin M. Top di rumah M. Djahri di Temanggung masih menghiasi headline sejumlah media.

Kedua, statemen mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono ketika wawancara dengan TV One (29/07/09), yang mengatakan bahwa terorisme terkait dengan Wahabi radikal, yang merupakan lingkungan yang cocok bagi terorisme. Ketiga, wacana penegakan syariah dan khilafah semakin mengemuka.

Ada beberapa poin di Jati Diri tersebut yang perlu digarisbawahi. Terutama di kalimat, ”Begitu juga maraknya aksi unjuk rasa yang menuntut didirikannya khilafah Islamiyah dan pemberlakuan syariat Islam. Aparat negara juga membiarkan. Padahal, dengan adanya keinginan itu, langsung atau tidak, mereka telah menafikan NKRI” (alinea 9).

Kelompok-kelompok itu bisa jadi memang tidak punya hubungan dengan jaringan Noordin M. Top. Namun, model gerakan dan pemikiran mereka sangat dekat. Artinya, sangat terbuka lebar, dari kelompok itulah persemaian bibit-bibit militan akan tumbuh (alinea 10).

Tidak Korelatif

Pemberantasan terorisme secara kontinu dan komprehensif serta menangani dan mengantisipasi faktor-faktor persemaiannya memang harus dilakukan. Hanya, ada perbedaan dalam merumuskan faktor-faktor sebagai persemaian terorisme. Tidak fair jika faktor persemaian terorisme dibatasi hanya faktor gerakan radikal. Sebab, ada faktor lain yang ikut andil dalam memunculkan terorisme. Seperti, faktor ketimpangan ekonomi, faktor kezaliman politik luar negeri negara-negara hegemonik (adanya terorisme yang dilakukan negara atau state terrorism), faktor rendahnya pemahaman terhadap Islam, serta faktor operasi intelijen untuk stigmatisasi dan monsterisasi Islam serta kaum muslimin.

Faktor rendahnya pemahaman terhadap Islam (dlo’fusy syadid fil fahmil Islam) adalah akar utama munculnya terorisme. Sezalim apa pun state terrorism berlangsung dan semelarat apa pun seseorang, dengan pemahaman Islam yang kaffah, tentu tidak akan mau melakukan tindakan teror. Begitu pula, secanggih apa pun, sebuah operasi intelijen tidak akan dapat menjebak, membujuk, atau memprovokasi seorang muslim untuk melakukan tindak teror.

Dengan kesahihan dan komprehensivitas pemahaman Islam, terorisme justru tidak akan dapat hidup. Sebab, di antara muatan dakwah yang komprehensif mengajarkan, syariah mengharamkan tindakan teror atau menakut-nakuti penduduk sipil. Pelaku teror diancam dengan hukuman mati.

Upaya membentuk pemahaman Islam yang komprehensif itulah yang sedang dan akan terus dilakukan oleh Hizbut Tahrir. Dengan demikian, upaya dakwah itu justru dapat mengikis pemikiran dan tindakan teror.

Hizbut Tahrir adalah gerakan yang bertujuan melanjutkan kehidupan Islam (listi’nafil hayatil Islam) dengan mencitakan penerapan syariah Islam secara total dalam bingkai khilafah. Dengan demikian, jika ada pihak yang mencoba mengaitkan Hizbut Tahrir dengan kekerasan atau terorisme, yang bersangkutan akan frustrasi. Sebab, sejak berdirinya sampai sekarang, lembaga itu masih istiqamah dengan karakter dakwahnya yang non-kekerasan (’adamul ‘unfiyah atau nonviolence).

Sikap tersebut meneladani dakwah Rasulullah SAW yang tanpa kekerasan. Buktinya, dalam aktivitasnya lebih dari 50 tahun sejak didirikan, HT tidak pernah sekali pun menggunakan kekerasan meski banyak penguasa yang bersikap represif terhadap HT.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, 17 Mei 2005, Craig Murray, mantan duta besar Inggris untuk Uzbekistan, mengatakan, ”Hizbut Tahrir merupakan organisasi yang betul-betul tanpa kekerasan.” (http://www.English.aljzeera.net). Bill Rammell mengatakan, ”Kami belum menemukan bukti yang kuat bahwa Hizbut Tahrir adalah organisasi yang menyerukan kekerasan atau terorisme. Kita juga belum pernah melihat adanya hubungan kerja sama antara Hizbut Tahrir dan Al Qaidah (UK FCO Minister Bill Rammell, Hansard, 19/4/04). ICG juga menyatakan hal yang sama tentang perbedaan HT yang melarang penggunaan aktivitas kekerasan dengan kelompok jihad (International Crisis Group, 2/3/05).

Jadi, tidak ada relevansi atau korelasi antara perjuangan penerapan syariah Islam dan khilafah dengan terorisme. Bahkan, terorisme sangat kontraproduktif terhadap segala upaya perjuangan penerapan syariah Islam dan khilafah dengan segala variannya. Bahkan, terorisme kontraproduktif terhadap Islam itu sendiri dan seluruh kaum muslimin. Jika yang diuntungkan bukan Islam, lalu siapa otak sebenarnya dari terorisme tersebut?

Syariato-phobia

Aksi damai dan berbagai edukasi umat yang masif tentang urgensi penerapan syariah dan khilafah semakin mendapatkan dukungan umat. Namun, upaya yang memancar dari keimanan tersebut ternyata tidak membuat senang pihak-pihak tertentu. Statemen mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono di atas adalah tidak berdasar dan mencerminkan mentalitas ketakutan serta fobi terhadap syariah (syariato-phobia). Kesalahan identifikasi atau kentalnya muatan konspirasi tidak patut dilakukan oleh orang sekaliber dia.

Upaya pengaitan antara perjuangan penerapan syariah dan khilafah dengan eksistensi NKRI juga hanya berangkat dari asumsi. Dalam Manifesto HTI: Jalan Baru untuk Indonesia yang telah di-launching (21/05/09) secara eksplisit dinyatakan bahwa peluncuran itu sebagai sumbangsih pemikiran dan bukti kecintaan kepada tanah air. Siapa yang lebih membahayakan eksistensi negeri ini, orang yang selama ini menjual negara dengan segala kekayaannya kepada pihak neoliberal dan kapitalisme global atau orang yang berupaya memperbaiki negeri dengan solusi syariah? Apalagi, manifesto tersebut menawarkan Indonesia menjadi negara superpower dunia masa depan.

Pertanyaan yang paling penting, benarkah mencabut akar terorisme itu -salah satunya- dilakukan dengan tidak membiarkan gerakan penegakan syariah Islam dan khilafah? Apakah ini mencerminkan freedom of speech’?

Kalau boleh mengutip pendapat Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid), meski tidak setuju dengan gagasan khilafah, beliau juga tidak setuju kepada pelarangan terhadap penyuaraan khilafah. Proses sosiallah yang menentukan dan sejarah yang kelak menjadi saksinya. (*)

(Jawa Pos, Opini Kamis, 13 Agustus 2009 )

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.