Header Ads

Perselisihan Umat adalah Rahmat? Ini Hadits Palsu!

"Perselisihan umatku adalah rahmat."

Status Hadits:
Hadits ini maudhu' (hadits palsu).

Penjelasan hadits:
Para ulama hadits telah mencari sanad (mata rantai perawi) hadits ini ternyata tidak menemukan. Imam As-Subki berkata: Hadits ini tidak dikenal (sanad-nya) oleh ulama hadits. Saya pribadi tidak menemukan hadits ini baik dengan sanad yang shahih, hasan atau dhaif. Dalam istilah ulama, apabila sebuah hadits tidak ada sanadnya, maka hadits itu disebut "laa ashla lahu" (tidak diketahui asalnya), sama dengan istilah "hadits palsu."

Memang ada hadits yang semakna di atas, yang dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Al-Madkhal, Thabrani dan lainnya. Tapi hadits inipun bermasalah karena:

Pertama, dalam sanad (mata rantai perawi) hadits tersebut ada yang bernama Ishak Al-Mushili dan Amr ibn Bahar Al-Jahith, keduanya sangat lemah, Kedua, sanad hadits ini terputus.

Ketiga, dari sisi kajian matan (teks hadits) juga bermasalah. Menurut Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fii Ushuulil-Ahkaam 5/64): “Ini merupakan statemen yang kacau, karena sekiranya perselisihan menjadi rahmat, maka kesepakatan menjadi kemurkaan. Seperti ini tidak mungkin diucapkan seorang muslim –lebih-lebih dari lisan Rasulullah SAW. Karena hanya ada dua alternatif: kesepakatan atau perselisihan, dan dampaknya pun ada dua: rahmat atau kemurkaan.

Terjadinya perselisihan pendapat merupakan hal yang kodrati, mungkin karena perbedaan materi, atau pola pikir yang digunakan, atau perbedaan persepsi, atau sudut pandang, atau teori yang digunakan dan sebagainya. Satu sisi dengan adanya perbedaan pendapat menjadi dinamika keilmuan, luasnya wacana dan sebagainya sehingga dapat melahirkan toleransi yang tinggi, namun di sisi lain justru mendatangkan malapetaka yang berkepanjangan. Terasa umat Islam tersekat-sekat menjadi berbagai aliran dan sekte. Dan anehnya setiap kelompok mengklaim kebenaran hanya ada pada golongannya sendiri, seakan tidak ada kebenaran pada orang lain.

Tepat seperti apa yang difirmankan Allah:

"Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)” (Qs. Al-Mu’minun 53)

Padahal Allah SWT telah mengutuk perselisihan, dampaknya sangat fatal sebagaimana yang difirmankan Allah:

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Qs. Al-Anfal: 46)

Itulah sebabnya, agar umat tidak terpuruk dalam perselisihan, Allah telah memberi solusi cerdas, yakni kembali kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (hadits), sebagaimana firman-Nya:

"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Qs. An-Nisa’ 59)

Sikap seperti inilah yang harus dijalani oleh setiap muslim, ia dituntut untuk sharing berbagai informasi, mendiskusikannya, memperbandingkan kemudian mengikuti pendapat yang diyakini paling dekat dengan tuntunan. Sebagaimana firman-Nya:

"Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" Qs. Al-Zumar 18)

Dengan demikian perselisihan akan terhindar. Inilah jaminan Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (Qs. Al-Nisa’ 82). Ayat ini tegas memberi isyarat bahwa perselisihan bukan dari sisi Allah. Maka bagaimana ada hadits yang justru memberi sinyal untuk beda pendapat, katanya merupakan rahmat?!

Referensi: Lebih lanjut silakan merujuk referensi berikut ini: Maqasid: 26, Tamyiz:9, kasyf:1/64, Asrar:84, 388, Tadrib Rawi: 370, Durar: 6, Tadzkirah Maudhu'at: 90. Dhaif jami' shaghir: 230.

Penulis: Dr. H. Zainuddin MZ, Lc. MA., Direktur Turats Nabawi Center (Pusat Informasi dan Studi Hadits) Surabaya - Jawa Timur.

Sumber

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.