Header Ads

Di Balik RUU Terapan Peradilan Agama

Oleh: Muhammad Rahmat Kurnia

Nikah sirri dan poligami ramai lagi dibicarakan. Banyak pihak berkomentar tentang hal tersebut. Hal ini wajar belaka, sebab pemerintah lewat Departemen Agama akan mengajukan Rancangan Undang-Undang Terapan Peradilan Agama yang memuat hal-hal tersebut. “Itu baru wacana, memang ada rancangan UU mau diserahkan ke DPR untuk dibahas, tetapi itu belum sampai pada posisi yang memang cukup untuk disampaikan ke DPR. Jadi masih ada satu tingkatan lagi yang belum selesai,” kata Menag di Kantor Presiden Jakarta (18/2/2010). Namun, apa dan siapa sebenarnya dibalik para penggagasnya?

Siapa?
Pihak yang berupaya terus merombak aturan-aturan perkawinan adalah LSM pro asing CEDAW Working Group Initiative (CWGI). Dalam berbagai tulisannya nampak bahwa merekalah yang berada dibalik Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI). Pada Mei 2007, CWGI merilis laporan beberapa lembaga sosial masyarakat (LSM) berjudul ‘Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) di Indonesia’. LSM-LSM ini merupakan LSM liberal diantaranya Aliansi Pelangi Antar Bangsa, Kalyanamitra, Sekretariat Nasional (Seknas) Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan & Demokrasi, LBH APIK Jakarta, Mitra Perempuan, Rahima, Rumpun Gema Perempuan, Solidaritas Perempuan, Yayasan Kesehatan Perempuan, dan Yayasan Jurnal Perempuan. Salah satu motornya adalah gembong liberal Musdah Mulia. CEDAW sendiri singkatan dari The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan), yang merupakan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Inti dari isi konvensi tersebut adalah penyamaan laki-laki dengan perempuan dalam segala bidang.

Bagaimana Pandangan Dasarnya?
Pandangan dasar CWGI adalah memusuhi agama (baca: Islam). Dalam laporannya itu, disebutkan “Fundamentalisme agama dan absolutisme budaya menjadi inspirasi dan dasar perumusan kebijakan publik baik ditingkat nasional maupun di tingkat lokal. Kecuali itu, pemimpin agama dan pemimpin kultural telah secara sistematis mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat menuju ke arah anti toleransi dan keberagaman. Proses pengarus-utamaan (mainstreaming) hukum-hukum agama dan praktek-praktek budaya dalam kebijakan publik serta perilaku kehidupan masyarakat tersebut, secara nyata telah membatasi gerak dan ruang ekspresi perempuan dengan larangan-larangan keluar malam tanpa di damping laki-laki keluarganya dan mengatur cara berpakaian. Propaganda yang menempatkan perempuan sebagai sumber kemaksiatan dilakukan dengan sistematis baik di ruang publik maupun di ruang privat” (hal. 7). Kebencian ini pun tampak dalam pernyataannya: “Kelompok fundamentalis memanfaatkan otonomi daerah untuk penerapan Syariat Islam dan mempengaruhi para pembuat kebijakan di daerah untuk membuat peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan moralitas masyarakat dan agama” (hal. 14). Maksudnya adalah peraturan daerah (Perda) yang menurutnya bernuansa Islam.

Dalam laporan yang ditujukan antara lain kepada PBB tersebut disebutkan pula sikap sengitnya terhadap Islam, “Penerapan Syariat Islam melalui penerapan kebijakan negara dianggap bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila, karena berarti tidak ada lagi penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain, serta mengingkari realiatas keberagaman yang ada di Indonesia. Rancangan Undang-undang tentang Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini sedang dibahas oleh legislatif merupakan salah satu contoh produk hukum yang mengacu kepada Syariat Islam. RUU ini berpotensi memecah belah persatuan dan kebangsaan masyarakat Indonesia yang pluralis dan multikultur dan mengkriminalkan tubuh perempuan” (hal. 15). Ini semua adalah klaim dan sikap mereka. Karenanya, tidak mengherankan bila berbagai rekomendasi yang dikeluarkannya secara sengaja dinyatakan sebagai penentangan terhadap agama, dalam hal ini Islam. Dan karena itu pula, landasan perang pemikiran dan budaya ini adalah perang akidah dan ideologis.

Rekomendasi yang diperjuangkannya?
Terkait dengan persoalan perkawinan, CWGI merekomendasikan, antara lain:
  1. Segera melakukan tindakan legislasi nasional, terutama, amandemen terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merubah dan mencabut kompilasi hukum Islam [KHI] (hal. 24 dan 69). Inilah yang kini menjadi RUU Terapan Peradilan Agama yang antara lain mengkriminalkan nikah sirri dan poligami. Semua ini sebenarnya jelmaan lain dari Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang dulu dibatalkan Menteri Agama.

  2. Berkaitan dengan upaya penghapusan poligami di Indonesia, segera mempercepat perubahan dan mencabut Peraturan Pemerintah terkait dengan Perkawinan yang masih diskriminatif terhadap perempuan (hal. 25)
  3. Membatalkan pembahasan draft RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, karena berpotensi menimbulkan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap tubuh perempuan (hal. 25).
  4. Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan KB yang tidak diskriminatif (bukan hanya kepada yang menikah melainkan juga kepada yang tidak/belum menikah, hal. 45 dan 48).
  5. Pemerintah harus membuat pengaturan cuti bagi remaja yang hamil ketika masih sekolah (hal. 48).
Apa Maknanya?
Berdasarkan realitas tersebut jelaslah bahwa:
  1. Pihak yang getol memperjuangkan dicabutnya peraturan perkawinan Islam adalah para pembebek asing. Mereka juga yang membela aliran sesat, menghina Rasulullah SAW dengan menyamakannya dengan Lia Eden, dan berupaya mencabut UU Penodaan Agama.
  2. Dasar hukum yang dijadikan landasan untuk merubah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah konvensi PBB yang pada satu sisi sarat dengan liberalisasi, dan pada sisi lain merombak aturan-aturan Islam.
  3. Laporan, advokasi, dll dilakukan untuk menyenangkan tuan mereka yang ada di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka melakukan semua itu agar sesuai dengan aturan dan nilai yang ada dalam konvensi CEDAW. Mereka menentang aturan Islam, sebaliknya mati-matian membela hukum thaghut.
  4. Ujung dari semua ini adalah penghancuran keluarga melalui nikah dipersulit, pergaulan bebas dilindungi, zina tidak dianggap dosa, kriminalisasi nikah siri dan poligami, selingkuh tak jadi soal, dll.
  5. Mereka adalah antek-antek asing penjajah yang tengah berupaya menghancurkan generasi dan keluarga Muslim dengan mengusung hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
  6. Jelas, HAM dan demokrasi adalah musang berbulu domba.


Karenanya, siapapun kaum Muslim semestinya makin yakin bahwa peradaban kapitalistik yang kini berjalan menggiring umat Islam ke jurang kehancuran. Hanya penerapan hukum Islam oleh pemimpin kaum Muslim (khalifah) yang dapat menyelamatkan umat mulia ini.[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.