Header Ads

Proyek Besar Negara Besar

Indonesia masuk bagian global war on terrorism, Ada kepentingan besar menjadikan Indonesia tak bangkit dengan islam.

"Ini rekayasa Amerika," begitu kata Abu Bakar Baasyir menanggapi penangkapannya oleh Densus 88 Mabes Polri. Makanya ia tak mau menjawab pertanyaan penyidik dengan alasan menjawab berarti mengikuti kemauan Amerika.

Sejak tragedi ambruknya gedung World Trade Center (WTC) 11 September 2001, ABB memang diincar Amerika. Ini bisa dilihat dari kesaksian mantan penerjemah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Frederick Burks (52). Dalam persidangan ABB sebelumnya, Burks mengungkapkan, ada pembicaraan tingkat tinggi di Washington, untuk meminta presiden saat itu Megawati menyerahkan Abu Ba­kar Baasyir ke Amerika sebagaimana Umar Faruq.

Permintaan itu dilanjutkan lagi dalam pertemuan rahasia di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar Jakarta, pada 16 Septem­ber 2002. Pertemuan itu dihadiri Ralph R. Boyce, duta besar AS untuk Indonesia pada saat itu, Karen Brooks, direktur Asia dari National Security Council, dan Burks.

Menurut Burks, dalam per­temuan yang berlangsung sekitar 20 menit itu pihak AS kembali meminta agar Baasyir diserahkan kepada Amerika karena terkait jaringan Al-Qaeda. Permintaan tersebut kembali ditolak oleh Megawati dengan alasan ABB dikenal luas di Indonesia sehingga bisa menimbulkan instabilitas politik dan agama yang tidak sanggup dipikulnya, kecuali jika opini publik mendukung langkah itu.

la melanjutkan, penolakan Megawati membuat agen CIA justru mengancam: "Jika Baasyir tidak diserahkan ke Amerika sebelum Konferensi APEC (enam minggu setelah pertemuan itu) maka situasi akan bertambah sulit Utusan khusus Bush itu tidak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan "situasi akan bertambah sulit" tersebut. Pertemuan pun bubar. Bom Bali pun meledak (12/10/2002). Burks berkata: "Peristiwa itu memberi alasan yang diperlukan Mega­wati sehingga Baasyir ditahan, meskipun saat itu Mega tidak menyerahkannya ke Amerika," kata Burks.

Amerika juga mencoba mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif pada tahun 2004. Saat itu Syafii mengaku diminta langsung oleh Dubes AS di Jakarta Ralph L Boyce (28/3/04) atas perintah Washington agar melobi Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Kapolri supaya ABB tetap ditahan sebelum pemilu dilangsungkan (5/4/04). Untuk kepentingan itu pihak Dubes menyiapkan semua fasilitas yang dibutuhkan. Syafii menolak dan Mahkamah Agung (MA) membebaskan ABB pada 30 April 2004.

Abu Bakar Baasyir memang dianggap sebagai pemimpin tertinggi 'Jamaah Islamiyah' di Indonesia. Itu yang disampaikan oleh Kapolri dalam Simposium Nasional terbatas berjudul: "Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme" yang berlang­sung 27 Juli lalu di Jakarta. Perhelatan ini diadakan bersama oleh Menkopolhukam, Polri, UIN Jakarta, Ul, Lazuardi Biru, dan LSI. Stigma itu persis dengan apa yangdiinginkan AS.

Namun demikian Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menegaskan, tak ada rekayasa Amerika Serikat dalam penangkapan ini. "Tidak ada. Tolong jangan ada suudzon de­ngan kita. Apa mau dibiarkan meletus bom di sana-sini? Jangan suudzon. Tidak ada. Ini murni tindakan hukum yang dilakukan Polri," ujar Kapolri dengan nada tinggi ketika dikonfirmasi para wartawan, Selasa (10/8/2010) di Istana Negara, Jakarta.

Mantan Direktur Bakin AC Manuliang justru yakin bahwa semua ini adalah permainan intelijen lokal yang menginduk kepa­da intelijen asing. Tujuannya jelas, mengobrak-abrik Indonesia agar umat Islam tidak bersatu. Karena persatuan umat. Islam akan mengancam eksistensi Amerika dan sekutunya. "Untuk mencegah persatuan itu, maka salah satu caranya adalah dengan membawa neoliberalisme dan neokapitalisme. Paham inilah yang mengatakan Islam sebagai teroris,"katanya.

Kontra Terorisme

Ketua Lajnah Siyasiyah HTI Harits Abu Ulya menilai saat ini pemerintah sedang menjalankan proyek kontra terorisme. Ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah membentuk Badan Nasional PenanggulanganTerorisme dengan Perpres nomer 46 tahun 2010 yang ditandatangani presiden SBY pada tanggal 16 Juli 2010 di Jakarta. Pemerintah juga menyiapkan UU Intelijen yang kini sedang dibahas di DPR.

Komitmen pemerintah ini telah dibicarakan SBY dengan Presiden Barack Obama ketika bersua di Singapura dan di selasela Konferensi Forum G7 tahun lalu. Blue print (road map) kontra terorisme kemudian disusun dalam Nasional Summit di akhir tahun 2009. "Jadi Indonesia de­ngan rezimnya saat ini secara nyata telah memosisikan diri sebagai subordinat kepentingan proyek global "war on terrorism" yang digelorakan oleh AS dan sekutunya," kata Harits.

Menurutnya, perang melawan terorisme yang diusung AS dan seluruh negara dan penguasa "satelitnya" jelas sasarannya yakni Islam dan kaum Muslimin. Perang itu menjadi alat untuk memuluskan imperialisme AS di dunia Islam, khususnya negara Islam yang memiliki potensi strategis dalam banyak aspek yang dibutuhkan untuk eksistensi AS dengan ideologi kapitalisnya.

Dalam penilaiannya, Indo­nesia menjadi basis strategis bertolaknya kepentingan kapitalis Barat menuju dunia Islam lainnya dan kawasan Asia Pasific khususnya. Makanya, kata Harits, ada beberapa 'mimpi' yang hendak dicapai dari proyek kontra terorisme ini yakni menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar dari dunia Islam, yang berdiri di atas "kebhinekaan", dengan prinsip-prinsip "moderat", pluralisme, egalitarianisme, kerukunan dan kebersamaan. Akan muncul proses liberalisasi/moderatisasi Islam secara massif. Mereka yang tetap radikal ingin menjadikan Islam sebagai ideologiakan menghadapisikaprepresif penguasa.

Semua proyek ini tentu tidak gratis. Ada dananya dan sangat besar. Dari mana? Tentu dari negara yang menguasai dunia sekarang.-MMH-

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.