Header Ads

Kasus Ahmadiyah: Alat Pengalihan Isu Kegagalan Pemerintah?

Oleh : LS (Lajnah Siyasiyah)-DPP HTI

Bak bara dalam sekam, persoalan Ahmadiyah dalam tubuh bangsa ini membara lagi. Setelah konflik di tahun 2008 antara FPI dengan AKBPP yang membela Ahmadiyah, gesekan terjadi lagi di tahun ini, di Cikeusik, Pandeglang Banten. Kekesalan masyarakat yang telah lama terakumulasi meledak akibat sikap provokatif dan kekurangajaran Ahmadiyah menyebarkan ajaran sesat mereka kepada warga.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa warga Ahmadi-lah yang demikian sengit memancing kekerasan terhadap warga Cikeusik. Mereka juga mendatangkan pengikut Ahmadiyah dari luar daerah untuk menantang umat Islam Cikeusik. Hanya saja karena kelihaian skenario yang nampaknya telah dipersiapkan dengan apik, termasuk perekaman sejumlah momen konflik yang lalu diunggah ke internet, justru umat Islam Cikeusik-lah yang seolah melakukan penganiayaan. Ahmadiyah pun menuai keuntungan dari penyerangan tersebut; simpati.

Sudah Final

Dari beragam kejanggalan konflik tersebut dan serta pemberitaannya yang minor terhadap umat Islam di media massa, ada satu hal yang telah jelas dan tidak boleh dilupakan oleh siapapun umat Islam, bahwa Ahmadiyah adalah kelompok dan ajaranya sesat menyesatkan. Mereka diluar Islam dan para pengikutnya pun masuk katagori non muslim.

Diskursus kesesatan Ahmadiyah telah final dan telah terungkap sejak kelahirannya. Para ulama di seluruh dunia telah menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad dan orang-orang yang mengikutinya adalah kafir, bukan muslim. Pernyataan ini lahir dari konferensi Rabithah Alam Islamy yang diadakan di Mekkah tahun 1394 H, yang dihadiri oleh berbagai organisasi Islam dunia.

Selain itu, kalangan ulama yang juga mengumumkan kekafiran Al-Qadiyaniah ialah Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa (Lajnah Daimah) Saudi Arabia dan Lembaga Ulama Senior Saudi Arabia dan Mujamma Fiqih yang menginduk kepada Rabithah dan Mujamma Fiqih Islam yang menginduk kepada Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Mujamma Riset Islam di Al-Azhar. Demikian pula Akademi Fiqih Islam Mesir, Dewan Fiqih Islam Afrika Selatan, Fatwa Mufti Amerika Serikat Dr. Muzammil Siddiqi, Dewan Syariah Inggris, dan banyak lagi.

Di sejumlah negeri muslim, Ahmadiyah telah dinyatakan sebagai jamaah terlarang. Pakistan, dengan empat juta orang Ahmadiyahnya, diberlakukan konstitusi tahun 1974, pasal 298 bernama “Undang-undang anti-Ahmadiyah”, aliran ini dinyatakan oleh pemerintah Pakistan telah keluar dari Islam.

Dengan UU ini, Pakistan adalah negara satu-satunya di dunia yang pemerintahnya dengan tegas menyatakan Ahmadiyah murtad. Semua orang yang mengaku Ahmadiyah dilarang untuk menggunakan atribut Islam dalam keseharian mereka.

Ahmadiyah Pakistan dilarang menyebut diri mereka Muslim, solat menggunakan cara Islam, mengucapkan salam dengan Assalamualaikum, atau menamai anak mereka dengan nama depan “Muhammad”. Jika melanggar, mereka akan mendapat dakwaan penistaan agama Islam dengan hukuman 10 tahun penjara atau maksimal hukuman mati. Pada tahun 2008, ada 28 orang yang didakwa kriminal hanya karena mereka menganut Ahmadiyah.

Negara jiran Malaysia juga bersikap tegas terhadap jemaah Ahmadiyah. Pada April 2009, Dewan Agama Islam negara bagian Selangor mengeluarkan pernyataan yang melarang semua umat Ahmadiyah menggunakan mesjid raya. Mereka dilarang menginjakkan kaki di mesjid-mesjid umat Islam untuk shalat Jumat. Bagi yang melanggar, akan dikenakan hukuman penjara hingga satu tahun dan denda RM3000 atau sekitar Rp. 8,8 juta. Pada Desember 2008, wilayah Selayang di Selangor menuntut Ahmadiyah untuk mengganti kalimat syahadat mereka karena dinilai tidak relevan dengan ajarannya.

Dengan demikian, merupakan set back, kemunduran bila kaum muslimin, khususnya ormas-ormas Islam juga MUI, mau diajak melakukan dialog kembali dengan kelompok Ahmadiyah. Usulan ini misalnya dilontarkan Komisi VIII DPR RI yang menghimbau agar Menag melakukan dialog dengan kelompok Ahmadiyah. Bak gayung bersambut, Kemenag juga menjanjikan akan mengajak MUI berdialog dengan Ahmadiyah.

Jika usulan ini diterima, maka sesungguhnya amat meprihatinkan. Apa yang sebenarnya bisa didialogkan? Bukankah itu akan sama saja dengan mempertanyakan kembali apakah kenabian itu selesai setelah wafatnya Rasulullah saw., ataukah ada penerusnya? Semisal apakah Musailamah al-Kadzdzab itu nabi atau bukan?

Yang dibutuhkan umat hari ini adalah eksekusi atas kelompok Ahmadiyah. Fakta kesesatan ajaran kelompok tersebut sudah jelas serta payung hukum untuk mengeksekusi mereka telah ada.

Mengenai ajaran yang sesat tersebut, pada tahun 2008 silam, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) memutuskan Jamaah Ahmadiyah Indonesia sebagai aliran agama yang menyimpang. Aliran agama ini diminta menghentikan aktivitas, setelah 3 bulan dipantau dinilai tidak konsisten melaksanakan 12 butir penjelasan yang pernah diajukan pengurus besarnya (VHRNews.com, 16/4/2008).

"Bakor Pakem merekomendasikan Jamaah Ahmadiyah Indonesia diberi peringatan keras dan menghentikan perbuatannya," kata Wisnu. Lebih jauh lagi, Bakor Pakem menegaskan, "Tidak ada negosiasi benar atau tidak. Dia (Jamaah Ahmadiyah) sudah dinyatakan menyimpang.”

Keputusan Bakor Pakem itu setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap ajaran Ahmadiyah dilakukan di 33 kabupaten, 55 komunitas, dan 277 warga Ahmadiyah.

Menurut Wisnu, peringatan keras dan seruan menghentikan aktivitas ibadah Jamaah Ahmadiyah itu akan diatur dalam surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversif.

Bila status Ahmadiyah telah jelas dan payung hukum untuk mengeksekusi mereka telah ada, lalu apa lagi yang ditunggu? Inilah persoalan sebenarnya. Ada apa dengan pemerintah? Mengapa masih melakukan tarik ulur atas persoalan yang amat sensitif dan mendasar bagi umat Islam? Maka terlihat sekali, upaya dibukanya kran dialog dengan kelompok Ahmadiyah adalah bagian dari skenario untuk memuluskan keenganan pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah. Dan ruang dialog di harapkan bisa melahirkan sikap toleransi secara kolektif dan kumulatif hingga akan melegitimasi pilihan pemerintah “melindungi” Ahmadiyah. Jadi ini upaya liberalisasi terselubung yang berjalan berbanding lurus dengan keputusan yang akan diambil pemerintah.

Kasus Ciekesik tampak Ahmadiyah bermain, kelompok liberal memanfaatkan, pemerintah menjadi follower dengan membuka front lebih lebar dengan jargon “bubarkan ormas anarkis”, esensinya tiga entittas di atas bermain dan memainkan peran masing-masing.Sebuah kolaborasi dengan menjadikan rasa keadilan mayoritas umat Islam di Indonesia tergadaikan dan terdzalimi.

Pengalih Isu

Banyak pihak yang menuding berlarut-larutnya persoalan Ahmadiyah disebabkan pemerintahan SBY yang peragu dan serba gamang. Akan tetapi bila ditelusuri lebih jauh lagi, sikap ‘ragu’ dan ‘membiarkan’ persoalan Ahmadiyah ini patut kita curigai. Dari sejumlah kasus konflik umat Islam vs Ahmadiyah – termasuk tahun 2008 yang terbilang paling keras --, kita patut menduga kuat bahwa ada skenario pengalihan isu atas sejumlah isu vital di negeri ini, dan Ahmadiyah menjadi mainan politik penguasa yang bisa ditarik ulur kapan saja.

Konflik antara FPI dengan AKBPP yang pro-Ahmadiyah di tahun 2008 misalnya, dipercayai sejumlah kalangan untuk menutupi kebijakan pemerintah yang tidak populis yakni menaikkan harga BBM. Kala itu pemerintah menetapkan harga minyak tanah sebesar Rp 2.500 per liter, bensin premium naik menjadi Rp6.000 per liter dan minyak solar sebesar Rp 5.500 per liter.

Kebijakan ini sekaligus pertama dalam sejarah pemerintah menaikkan harga BBM hingga hingga tiga kali. Dua kali pada tahun 2005 dan sekali pada tahun 2008. Semuanya dilakukan di masa kepresidenan SBY yang telah berkuasa semenjak tahun 2004.

Keputusan tersebut langsung mengundang reaksi masyarakat. Sejumlah LSM melakukan aksi menentang di beberapa kota. Tapi di tengah memanasnya penentangan kebijakan menaikkan harga BBM, konflik FPI-AKBB meletus. Semua media massa menggiring publik untuk fokus pada konflik tersebut, terutama media massa liberal yang dikenal pro dengan kebijakan ekonomi liberal seperti grup Tempo habis-habisan mengangkat pemberitaan tersebut.

Selain dihujat kebijakan soal BBM, saat itu pemerintah SBY juga disorot banyak kalangan karena membiarkan laboratorium militer milik angkatan laut AS (Naval Medical Research Unit-2/NAMRU-2) terus beroperasi. Persoalan NAMRU-2 mencuat setelah diangkat oleh Menkes saat itu, Siti Fadlillah Supari. Saat itu sang Menkes sempat dibuat jengkel oleh pihak NAMRU-2 karena ia tidak langsung diijinkan masuk dengan alasan datang tanpa pemberitahuan. Menkes juga menyatakan bahwa ia tidak tahu menahu keberadaan dan operasional lab asing tersebut meski berdiri di atas tanah milik Dinkes. Ia khawatir bila NAMRU-2 memproduksi virus-virus infeksi yang berbahaya.

Tapi kala itu DPR dan pemerintah tetap memperpanjang kontrak NAMRU-2 di tanah air, meski desakan untuk penghentiannya berdatangan.

Kali ini konflik umat Islam dengan jemaat Ahmadiyah juga pecah di tengah babak belurnya pemerintah akibat kritikan sejumlah tokoh masyarakat. Sebelum kasus Cikeusik menjadi isu nasional, pemerintahan SBY terpojok dengan kasus mafia pajak, mafia kasus, Century Gate, curhat presiden soal gajinya, dan kebijakan menaikkan harga BBM.

Selain itu, pemerintahan SBY dituding oleh tokoh-tokoh lintas agama telah melakukan kebohongan publik. Ada 9 hal yang menurut para tokoh ini merupakan kebohongan pemerintah yakni soal kemiskinan, kebutuhan rakyat, pemberantasan terorisme, ketahanan pangan, penegakkan hak asasi manusia, anggaran pendidikan, kasus Lapindo, kasus Newmont dan kasus audit PT Freeport.

Khusus soal mafia pajak dengan Gayus Tambunan sebagai tokoh sentral, pemerintahan SBY dibuat terpojok dua kali; pertama, sebagian klien Gayus adalah perusahaan milik Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar yang nota bene adalah mitra kuat partai Demokrat dalam koalisi. Kedua, perlawanan Gayus yang mengatakan bahwa Satgas Anti Mafia Hukum telah memojokkannya dan menipunya. Padahal Satgas Anti Mafia Hukum justru merupakan bentukan Presiden SBY.

Pemerintahan SBY pun terpojok dalam kasus bail out Bank Century, karena Wapres Boediono dan mantan Menkeu Sri Mulyani adalah pejabat-pejabat yang terkait dalam kasus yang menyebabkan kerugian negara hingga 6,76 triliun rupiah. Boediono adalah Gubernur BI yang menyetujui kucuran talangan dana bagi bank gurem tersebut, sedangkan Sri Mulyani adalah Menkeu-nya. Meski hingga kini keduanya untouchable – bahkan Sri Mulyani telah keluar negeri dan menjadi bekerja World Bank – tapi penyelidikan atas kasus ini masih terus digulirkan.

Wajar bila kemudian muncul wacana penguasa dan negara telah gagal mengurusi rakyatnya sendiri. Krisis multidimensi yang melahirkan multi penderitaan bagi masyarakat tak kunjung mampu diselesaikan pemerintah.

Tapi, bak di medan perang, pemerintahan yang dipimpin Jendral SBY melontarkan senjata chaff/flare – senjata pengecoh rudal musuh --, sebagai pengalih semua persoalan yang membuatnya babak belur ke persoalan Ahmadiyah. Taktik ini nyaris berhasil, terutama berkat dukungan media massa yang terus menerus mengangkat persoalan ini. Pikiran dan enerji umat hampir terkuras hanya untuk persoalan yang sesungguhnya telas jelas penyelesaiannya.

Pada titik inilah umat Islam harus sadar bahwa persoalan Ahmadiyah adalah bagian integral dari permasalahan utama umat; yakni kegagalan negara dalam mengurusi dan melindungi rakyatnya. Gagal karena penguasanya masih bersikukuh dengan sistem batil demokrasi-kapitalisme dan setia dengan majikan mereka; Barat.

Kelompok Ahmadiyah bisa bertahan di bumi Indonesia karena berlindung dibalik ketiak demokrasi dan HAM. Mereka juga didukung oleh Barat. Pada tahun 2008 saat konflik terhadap Ahmadiyah meruncing, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam Departemen Agama (Depag), Prof Nasarudin Umar, menyebut empat negara yang meminta agar Ahmadiyah tidak dibubarkan. Yaitu Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Kanada. Surat itu ditujukan ke Menteri Agama.

Ahmadiyah ibarat kelenjar kanker yang ditanam di dalam tubuh umat agar umat Islam sibuk dengan persoalan ini. Ia juga mainan politik penguasa yang bisa ditarik ulur kapan saja saat dibutuhkan. Eksisnya Ahmadiyah seharusnya menjadi bagian dari entry point untuk menyadarkan umat bahwa selama tidak tegak syariat dan khilafah, maka akidah umat sulit untuk dilindungi.

Umat Islam harus tetap fokus pada dakwah melanjutkan kehidupan Islam dengan penegakkan syariat dan khilafah. Hanya itulah solusi tuntas bagi persoalan Ahmadiyah. (LS/DPP HTI)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.