Krisis Mesir dan Sikap Hipokrit Amerika
Amerika menyerukan reformasi yang demokratis dan menjunjung HAM, bukankah Negara ini yang selama 30 tahun mendukung rezim diktator Mubarak?
Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, gelombang panas ‘revolusi’ Tunisia akhirnya sampai ke Mesir. Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan untuk menuntut turunnya Husni Mubarak yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun. Para pengunjuk rasa mengambil alih pusat ibu kota Mesir, Kairo, pada hari keenam demonstrasi anti kekuasaan Presiden Husni Mubarak.
BBC online (30/1) melaporkan , polisi, yang terlibat bentrokan berdarah dengan para pengunjuk rasa dalam hari-hari belakangan ini, hampir tidak kelihatan di jalan-jalan. Personel militer dalam jumlah cukup besar mengambil posisi di kota berpenduduk delapan juta jiwa itu, namun tentara tidak melakukan tindakan apa pun.
Bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan –terutama polisi antihuruhara– menurut laporan merenggut nyawa setidaknya 100 orang di segenap pelosok Mesir sejak demo bermula hari Selasa 25/10.Ribuan lainnya luka-luka dalam tindak kekerasan besar yang terjadi di Kairo, Suez dan Iskandariyah.
Mirip dengan yang dialami Tunisia, Mesir berhadapan dengan problem yang sama, rezim diktator yang bengis yang anti Islam dan krisis ekonomi. Selama 30 tahun pemerintahannya Husni Mubarak menggunakan tangan besi untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Penjara-penjara Mesir dipenuhi dengan tahanan politik yang mengalami penyiksaan, terutama dari kalangan gerakan Islam seperti al Ikhwanul Muslimun, Tandzimul Jihad dan Hizbut Tahrir.
Mubarak menggunakan menggunakan intelijen dan kepolisian untuk mempertahankan kekuasaannya. Sampai ada anggapan di Mesir, dinding-dinding pun memiliki mata dan telinga. Siapa saja yang berbicara anti Mubarak, menginginkan syariah Islam , anti Israel, akan ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara kemudian disiksa tanpa ampun. Lembaga-lembaga HAM internasional berkali-kali melaporkan adanya pelanggaran kemanusiaan yang meluas di negara itu.
Lembaga HAM Arab mengeluarkan statemen yang menyatakan bahwa para tahanan Mesir menjadi korban seperti domba yang diikat di dekat perapian yang menyala. Di sisi lain, laporan tersebut menyinggung cara-cara penyiksaan para tahanan Mesir. Mereka dicambuk, disiksa dan diserang, kemudian dilepaskan di jalan. Para tahanan ini diperlakukan tidak manusiawi. Mesir juga bekerjasama dengan CIA untuk menyiksa mereka yang dituduh oleh Amerika Serikat sebagai teroris.
Husni Mubarak juga dibenci rakyatnya karena dukungan rezim yang merupakan koalisi setia Amerika ini terhadap Zionis Israel. Mubarak menjalin hubungan politik dengan pemimpin-pemimpin Zionis itu. Alih-alih membebaskan rakyat Gaza yang terancam kelaparan karena isolasi rezim penjajah Zionis, Mubarak malah membangun tembok baja diperbatasan Mesir dan Gaza, untuk menghalangi masuknya bantuan pangan dan obatan-obatan ke Gaza. Intelijen Mesir pun bekerjasama dengan Mossad untuk melakukan pembunuhan keji terhadap aktifitis Islam dan pejuang Palestina.
Mesir telah mengalami salah urus yang parah dibidang ekonom dekade terakhir. Menurut Bank Dunia sekitar 40% dari penduduk Mesir atau sekitar 30,8 juta orang, hidup dalam kemiskinan. Ekonomi Mesir telah hancur sebagian besar oleh kebijakan yang merusak diri rezim diktator. Mesir juga mengalami malapetaka di bawah IMF dan Bank Dunia reformasij. Mesir dipaksa untuk memotong subsidi pangan dan merestrukturisasi ekonomi ke arah jasa dan pariwisata.
Padahal tahun 1960 Mesir mengalami swasembada gandum, biji-bijian dll untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Pada tahun 1990 di bawah IMF dan Bank Dunia tekanan Mesir dipaksa untuk merestrukturisasi ekonomi. Akibatnya sejak tahun 2000 Mesir mengalami krisis pangan dan bergantung kepada impor. Mesir saat ini hanya memproduksi 8 juta ton gandum per tahun. Padahal dibutuhkan 14 juta ton untuk memberi makan 80 juta penduduknya.
Sikap Hipokrit
Perkembangan di Mesir mendapat perhatian yang besar dari dunia internasional terutama Amerika Serikat yang selama ini menjadi koalisi setia Mubarak di Timur Tengah. Setelah merebut Mesir dari pengaruh Inggris pada tahun 50 an lewat Gamel Abdul Nasser, negara Paman Sam ini berusaha tetap mempertahankan pengaruhnya di Mesir. Setelah Israel, Mesir merupakan negara yang mendapat bantuan dana terbesar kedua dari Paman Sam ini. Disamping bantuan militer, Washington mengelontorkan sekitar 1,5 milyar US dolar setiap tahunnya untuk Mesir.
Obama tampak sangat hati-hati mensikapi gejolak Mesir sekarang. Negara ini tidak ingin kehilangan pengaruh di Mesir. AS khawatir perubahan di Mesir akan memunculkan kelompok Islam yang tidak sejalan dengan kepentingan Amerika. Amerika sepertinya masih menunggu sejauh mana Mubarak bisa bertahan.
Menlu AS Clinton menyerukan transisi mulus di Mesir yang dengan poros demokrasi dan HAM. Sikap yang dipertanyakan banyak pihak. Bukankah selama ini AS lah yang terus mendukung rezim represif Mubarak yang justru tidak demokratis dan banyak melanggar HAM?
Aljazeraa.net (29/01) mengutip pernyataan Simon Tisdall dalam artikelnya di The Guardian yang menggambarkan sikap hipokrit dari Paman Sam. “Secara teoritis, Amerika mendukung reformasi politik Mesir, tetapi dalam prakteknya mendukung rezim despotik untuk alasan praktis yang berkaitan dengan kepentingan nasional,”tulis Simon.
Bahkan pada awalnya, AS berusaha mempertahankan rezim Mubarak dengan tuntutan reformasi total yang damai. Joe Biden , wakil presiden AS bahkan membela Mubarak dengan mengatakan bahwa Mubarak bukanlah diktator. “Mubarak telah menjadi sekutu kita dalam beberapa hal dengan. Dan dia sangat bertanggung jawab atas kepentingan geopolitik regional, perdamaian Timur Tengah upaya, tindakan Mesir juga melakukan normalisasi hubungan dengan - Israel. Aku tidak akan menyebut dia sebagai diktator, “tegas Biden (CSmonitor.com 28/01)
Perlu dicatat, Amerika akan selalu bersikap pragmatis. Kalau memang tidak bisa dipertahankan, tidak ada yang menghalangi AS untuk mencampakkan Mubarak. Seperti yang dilakukannya terhadap Suharto di Indonesia, atau Marcos di Philipina . Amerika akan mengganti Mubarak dengan rezim baru yang tampak demokratis tapi masih dibawah kontrol Amerika. Inilah yang harus dicermati oleh rakyat Mesir.
Tentu sangat disayangkan kalau perubahan di Mesir hanya berakhir pada pergantian rezim, apalagi yang sama-sama masih dikontrol oleh Barat. Sebab persoalan Timur Tengah dan negeri Islam lainnya pada dasarnya justru karena keberadaan rezim yang tunduk kepada kepentingan Amerika yang menerapkan sistem kapitalisme untuk kepentingan poros negara penjajah. (Farid Wadjdi dari berbagai sumber)
Box : Agen Baru Amerika : El Baradei ?
Beberapa tokoh oposisi yang dipahlawankan sebagai pengganti Mubarak, seperti Muhammad el Baradei, sepertinya juga dibawah kontrol Amerika. Mantan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), sebuah organisasi antar-pemerintah di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pernah mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2005.
ElBaradei memperoleh gelar Sarjana di bidang hukum dari Universitas Kairo pada tahun 1962, diikuti oleh DEA Sarjana Hukum Internasional di Institut Pascasarjana Internasional dan Studi Pembangunan di Jenewa dan PhD dalam Hukum Internasional di New York University School of Law pada tahun 1974 .
Karir diplomatik Nya dimulai pada tahun 1964 di Departemen Luar Negeri, di mana ia bertugas di Misi Tetap Mesir ke PBB di New York dan di Jenewa, yang bertanggung jawab atas hukum, dan kelompok kontrol isu, politik. Dari tahun 1974 hingga 1978, ia adalah seorang asisten khusus kepada Menteri Luar Negeri. Dari tahun 1981 sampai tahun 1987, dia juga seorang Profesor Ajun Hukum Internasional di New York University School of Law. ElBaradei merupakan anggota Asosiasi Hukum Internasional dan American Society of International Law.
Meskipun kelihatan tidak sepenuhnya patuh kepada Amerika saat menjabat di IAEA, bukan merupakan rahasia lagi siapapun yang duduk di lembaga PBB haruslah yang sejalan dengan kepentingan Barat. Termasuk pemberian hadiah nobel tidak bisa dilepaskan dari intervensi politik negara-negara Barat untuk membangun citra agen-agennya.
Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, gelombang panas ‘revolusi’ Tunisia akhirnya sampai ke Mesir. Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan untuk menuntut turunnya Husni Mubarak yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun. Para pengunjuk rasa mengambil alih pusat ibu kota Mesir, Kairo, pada hari keenam demonstrasi anti kekuasaan Presiden Husni Mubarak.
BBC online (30/1) melaporkan , polisi, yang terlibat bentrokan berdarah dengan para pengunjuk rasa dalam hari-hari belakangan ini, hampir tidak kelihatan di jalan-jalan. Personel militer dalam jumlah cukup besar mengambil posisi di kota berpenduduk delapan juta jiwa itu, namun tentara tidak melakukan tindakan apa pun.
Bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan –terutama polisi antihuruhara– menurut laporan merenggut nyawa setidaknya 100 orang di segenap pelosok Mesir sejak demo bermula hari Selasa 25/10.Ribuan lainnya luka-luka dalam tindak kekerasan besar yang terjadi di Kairo, Suez dan Iskandariyah.
Mirip dengan yang dialami Tunisia, Mesir berhadapan dengan problem yang sama, rezim diktator yang bengis yang anti Islam dan krisis ekonomi. Selama 30 tahun pemerintahannya Husni Mubarak menggunakan tangan besi untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Penjara-penjara Mesir dipenuhi dengan tahanan politik yang mengalami penyiksaan, terutama dari kalangan gerakan Islam seperti al Ikhwanul Muslimun, Tandzimul Jihad dan Hizbut Tahrir.
Mubarak menggunakan menggunakan intelijen dan kepolisian untuk mempertahankan kekuasaannya. Sampai ada anggapan di Mesir, dinding-dinding pun memiliki mata dan telinga. Siapa saja yang berbicara anti Mubarak, menginginkan syariah Islam , anti Israel, akan ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara kemudian disiksa tanpa ampun. Lembaga-lembaga HAM internasional berkali-kali melaporkan adanya pelanggaran kemanusiaan yang meluas di negara itu.
Lembaga HAM Arab mengeluarkan statemen yang menyatakan bahwa para tahanan Mesir menjadi korban seperti domba yang diikat di dekat perapian yang menyala. Di sisi lain, laporan tersebut menyinggung cara-cara penyiksaan para tahanan Mesir. Mereka dicambuk, disiksa dan diserang, kemudian dilepaskan di jalan. Para tahanan ini diperlakukan tidak manusiawi. Mesir juga bekerjasama dengan CIA untuk menyiksa mereka yang dituduh oleh Amerika Serikat sebagai teroris.
Husni Mubarak juga dibenci rakyatnya karena dukungan rezim yang merupakan koalisi setia Amerika ini terhadap Zionis Israel. Mubarak menjalin hubungan politik dengan pemimpin-pemimpin Zionis itu. Alih-alih membebaskan rakyat Gaza yang terancam kelaparan karena isolasi rezim penjajah Zionis, Mubarak malah membangun tembok baja diperbatasan Mesir dan Gaza, untuk menghalangi masuknya bantuan pangan dan obatan-obatan ke Gaza. Intelijen Mesir pun bekerjasama dengan Mossad untuk melakukan pembunuhan keji terhadap aktifitis Islam dan pejuang Palestina.
Mesir telah mengalami salah urus yang parah dibidang ekonom dekade terakhir. Menurut Bank Dunia sekitar 40% dari penduduk Mesir atau sekitar 30,8 juta orang, hidup dalam kemiskinan. Ekonomi Mesir telah hancur sebagian besar oleh kebijakan yang merusak diri rezim diktator. Mesir juga mengalami malapetaka di bawah IMF dan Bank Dunia reformasij. Mesir dipaksa untuk memotong subsidi pangan dan merestrukturisasi ekonomi ke arah jasa dan pariwisata.
Padahal tahun 1960 Mesir mengalami swasembada gandum, biji-bijian dll untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Pada tahun 1990 di bawah IMF dan Bank Dunia tekanan Mesir dipaksa untuk merestrukturisasi ekonomi. Akibatnya sejak tahun 2000 Mesir mengalami krisis pangan dan bergantung kepada impor. Mesir saat ini hanya memproduksi 8 juta ton gandum per tahun. Padahal dibutuhkan 14 juta ton untuk memberi makan 80 juta penduduknya.
Sikap Hipokrit
Perkembangan di Mesir mendapat perhatian yang besar dari dunia internasional terutama Amerika Serikat yang selama ini menjadi koalisi setia Mubarak di Timur Tengah. Setelah merebut Mesir dari pengaruh Inggris pada tahun 50 an lewat Gamel Abdul Nasser, negara Paman Sam ini berusaha tetap mempertahankan pengaruhnya di Mesir. Setelah Israel, Mesir merupakan negara yang mendapat bantuan dana terbesar kedua dari Paman Sam ini. Disamping bantuan militer, Washington mengelontorkan sekitar 1,5 milyar US dolar setiap tahunnya untuk Mesir.
Obama tampak sangat hati-hati mensikapi gejolak Mesir sekarang. Negara ini tidak ingin kehilangan pengaruh di Mesir. AS khawatir perubahan di Mesir akan memunculkan kelompok Islam yang tidak sejalan dengan kepentingan Amerika. Amerika sepertinya masih menunggu sejauh mana Mubarak bisa bertahan.
Menlu AS Clinton menyerukan transisi mulus di Mesir yang dengan poros demokrasi dan HAM. Sikap yang dipertanyakan banyak pihak. Bukankah selama ini AS lah yang terus mendukung rezim represif Mubarak yang justru tidak demokratis dan banyak melanggar HAM?
Aljazeraa.net (29/01) mengutip pernyataan Simon Tisdall dalam artikelnya di The Guardian yang menggambarkan sikap hipokrit dari Paman Sam. “Secara teoritis, Amerika mendukung reformasi politik Mesir, tetapi dalam prakteknya mendukung rezim despotik untuk alasan praktis yang berkaitan dengan kepentingan nasional,”tulis Simon.
Bahkan pada awalnya, AS berusaha mempertahankan rezim Mubarak dengan tuntutan reformasi total yang damai. Joe Biden , wakil presiden AS bahkan membela Mubarak dengan mengatakan bahwa Mubarak bukanlah diktator. “Mubarak telah menjadi sekutu kita dalam beberapa hal dengan. Dan dia sangat bertanggung jawab atas kepentingan geopolitik regional, perdamaian Timur Tengah upaya, tindakan Mesir juga melakukan normalisasi hubungan dengan - Israel. Aku tidak akan menyebut dia sebagai diktator, “tegas Biden (CSmonitor.com 28/01)
Perlu dicatat, Amerika akan selalu bersikap pragmatis. Kalau memang tidak bisa dipertahankan, tidak ada yang menghalangi AS untuk mencampakkan Mubarak. Seperti yang dilakukannya terhadap Suharto di Indonesia, atau Marcos di Philipina . Amerika akan mengganti Mubarak dengan rezim baru yang tampak demokratis tapi masih dibawah kontrol Amerika. Inilah yang harus dicermati oleh rakyat Mesir.
Tentu sangat disayangkan kalau perubahan di Mesir hanya berakhir pada pergantian rezim, apalagi yang sama-sama masih dikontrol oleh Barat. Sebab persoalan Timur Tengah dan negeri Islam lainnya pada dasarnya justru karena keberadaan rezim yang tunduk kepada kepentingan Amerika yang menerapkan sistem kapitalisme untuk kepentingan poros negara penjajah. (Farid Wadjdi dari berbagai sumber)
Box : Agen Baru Amerika : El Baradei ?
Beberapa tokoh oposisi yang dipahlawankan sebagai pengganti Mubarak, seperti Muhammad el Baradei, sepertinya juga dibawah kontrol Amerika. Mantan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), sebuah organisasi antar-pemerintah di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pernah mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2005.
ElBaradei memperoleh gelar Sarjana di bidang hukum dari Universitas Kairo pada tahun 1962, diikuti oleh DEA Sarjana Hukum Internasional di Institut Pascasarjana Internasional dan Studi Pembangunan di Jenewa dan PhD dalam Hukum Internasional di New York University School of Law pada tahun 1974 .
Karir diplomatik Nya dimulai pada tahun 1964 di Departemen Luar Negeri, di mana ia bertugas di Misi Tetap Mesir ke PBB di New York dan di Jenewa, yang bertanggung jawab atas hukum, dan kelompok kontrol isu, politik. Dari tahun 1974 hingga 1978, ia adalah seorang asisten khusus kepada Menteri Luar Negeri. Dari tahun 1981 sampai tahun 1987, dia juga seorang Profesor Ajun Hukum Internasional di New York University School of Law. ElBaradei merupakan anggota Asosiasi Hukum Internasional dan American Society of International Law.
Meskipun kelihatan tidak sepenuhnya patuh kepada Amerika saat menjabat di IAEA, bukan merupakan rahasia lagi siapapun yang duduk di lembaga PBB haruslah yang sejalan dengan kepentingan Barat. Termasuk pemberian hadiah nobel tidak bisa dilepaskan dari intervensi politik negara-negara Barat untuk membangun citra agen-agennya.
Tidak ada komentar