Header Ads

Teror Ahmadiyah : Kegiatan Intelejen Memakai Kedok Agama

Umat Islam sebagai satu kekuatan, harus dijauhkan dari membahas akar persoalan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Penjajahan atas Dunia Islam seperti yang berlangsung hingga kini, akan terus langgeng selama mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah. Dalam hal ini, penjajahan atas Dunia Islam, tiada lain adalah karena penerapan sistem yang bukan sistem Islam. Melalui penjajahan sistematis inilah kekayaan alam Indonesia dikeruk dan diangkut-angkut secara besar-besaran ke luar negeri sejak Indonesia ‘merdeka’, lebih besar dari apa yang dilakukan VOC kepada negeri ini barangkali.

Pihak penjajah tentu menyadari hal ini; yaitu pentingnya menjauhkan Dunia Islam dari kesadaran bahwa mereka sedang dijajah dan diinjak-injak atas nama demokrasi, Hak Azazi Manusia dan ide-ide lain di luar Islam. Barat melanggengkan di Dunia Islam, kelompok yang bisa menyita perhatian dan mengalihkan pandangan umat Islam dari akar persoalan. Salah satu kelompok yang dipelihara Barat, selain kelompok Liberal yang mengutak-atik Al Quran, adalah Ahmadiyah.

Barat tidak berkepentingan dengan fakta bahwa Ahmadiyah sholat dengan berkiblat ke Istana Buckingham di Inggris ataukah ke Ka’bah di Makah. Itu dilihat dari tabiat Barat yang menempatkan agama sebatas pelengkap penderitaan penjajahan yang menempatkan agama (Nasrani) sebagai cheerleaders yang hanya koar-koar di atas podium. Urusan riil pengaturan masyarakat harus diserahkan kepada kapitalisme.

Sedangkan, jika dilihat bahwa Ahmadiyah bisa dimainkan sewaktu-waktu untuk menyerang Islam, maka Barat sangat berkepentingan dengan kelompok sempalan yang satu ini. Memainkan Ahmadiyah, bisa memancing umat Islam untuk bereaksi sangat cepat dan membuat kesan bahwa umat Islam sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Sebab secara kasat mata, Ahmadiyah adalah seolah-olah Islam. Mereka juga sholat, puasa haji atau membangun masjid sendiri secara ekslusif di tengah-tengah komunitas Islam, suatu aktivitas yang biasanya diulang-ulang oleh anak muda Liberal yang melakukan job Barat (seperti disiarkan oleh stasiun televisi), untuk membangun kesan bahwa Ahmadiyah adalah Islam dan kalaupun berbeda, itu wajar. Dari segi penamaan, pun demikian. Sehingga tidak mengherankan jika berkali-kali seorang politisi dari Partai Kerbau terpeleset lidah menyebut Ahmadiyah sebagai Muhammadiyah (suatu hal yang memancing tawa pemirsa televisi yang membuktikan si politisi mungkin saja tak pernah berdialog dengan Ahmadiyah). Diakui atau tidak, penamaan Ahmadiyah, besar kemungkinan diambil dari nama pendirinya yang berinisial ‘MGA’ dan bukan dari Nabi Muhammad Saw (yang di dalam Al Quran juga disebut Ahmad).

Lebih jauh, Ahmadiyah adalah permainan intelijen kaki tangan Barat yang berkedok agama, jauh-jauh hari sebelum ‘heboh’ atau sengaja ‘dihebohkan’ oleh terutama dua stasiun televisi nasional di negeri ini, penulis telah mewanti-wanti dalam lingkungan dakwah kampus sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu, Ahmadiyah adalah teroris yang sebenarnya; keberadaan mereka meneror umat Islam. Umat Islam menjadi saling curiga dengan keberadaan kelompok Ahmadiyah ini. Dalam suatu kunjungan ke daerah yang damai, penulis pernah dicurigai hanya karena kaki celana penulis lipat melebihi mata kaki, tentu karena sebelumnya masyarakat banyak tidak menganggap bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari mereka, tetapi adalah kelompok ekslusif yang menutup diri dalam masjid yang terkunci (soal kaki celana yang di atas mata kaki yang diangkat masyarakat setempat hanya karena keawaman dalam sisi mana kedok Ahmadiyah harus diungkap). Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Terkait insiden terakhir ini, boleh jadi ini adalah skenario yang dikehendaki oleh Ahmadiyah (para pentolannya), persoalan dibuat serius dan sengaja menyerahkan korban. Kita teringat kepada kejadian Monas, dari gerombolan Ahmadiyah, muncul seseorang yang mengeluarkan pistol dan anehnya aparat tidak berani mengusut ini sehingga si pria misterius menghilang begitu saja sebagaimana menghilang dalam pemberitaan, layaknya menyelamatkan seorang intelijen demi kepentingan negara. Ia telah berhasil menyulut emosi massa atau sebagian kecil massa. Pancingan untuk menjadikan Ahmadiyah sebagai ‘korban’ sangat kelihatan di saat-saat kemudian, terbukti Munarman yang menahan seorang pemuda Islam untuk tidak terpancing terhadap provokasi Ahmadiyah, justru anehnya ditempatkan oleh media sebagai pihak yang melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah.

Skenario ini sepertinya hendak diulangi oleh intelijen dengan salah satunya menempatkan segerombolan orang-orang Ahmadiyah bersenjata dari Jakarta di Cikeusik. Skenario ini berhasil, bahkan hasil yang didapat mungkin melebihi dari apa yang ada dalam skenario mereka—bahwa telah terjadi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Kekerasan tidak saja menimbulkan korban luka-luka, tetapi juga merengut nyawa yang konon Ahmadiyah yang ‘berjihad’ fi sabilillah melawan umat Islam! Pemberitaan pun diusahakan seperti Soeharto yang ‘mewajibkan’ film G 30 S PKI—video eksploitasi atas kekerasan. Para ‘pakar’ pun diundang untuk membicarakan hal ini, tak terkecuali agen Barat dan politisi pengambil muka, dengan ide-ide karatannya: demokrasi, HAM, hukum positif, kebebasan beragama bla…bla…bla… Apapun pembicaran berikutnya, sangat kecil kemungkinan Ahmadiyah ditetapkan sebagai organisasi teroris untuk dibubarkan atau dilarang sebagai ending-nya, sebab raja teroris AS telah ikut berkomentar dan tentu akan dijilat oleh pengkhianat-pengkhianat di negeri ini, termasuk pemimpin pengkhianat tersebut yang berjabat tangan erat dengan pemimpin negeri koboi itu—berkulit putih ataupun hitam.

Oleh : Doni Usman

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.