Libya Jadi Irak Kedua, Blackwater Beroperasi
Pemerintah Inggris melayangkan gagasan mempekerjakan perusahaan keamanan swasta di Libya untuk membantu meningkatkan kekuatan kubu revolusioner melawan rezim Muammar Qaddafi. Para pakar pertahanan dan pejabat militer Inggris mengangkat ide baru ini setelah Sekretaris Jenderal NATO Andres Fogh Rasmussen mengakui tidak ada solusi militer terhadap konflik di Libya, dan krisis harus diselesaikan melalui jalur politik.
Kekuatan Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, yang memimpin upaya Dewan Keamanan PBB dan memberlakukan zona larangan terbang di Libya, sejak awal berusaha untuk menggulingkan rezim Qaddafi, namun kalkulasi mereka terbukti keliru setelah pasukan dalam negeri yang mereka dukung, gagal meningkatkan cengkeraman mereka menghadapi pasukan pro-Qaddafi.
Selain itu, biaya keuangan dari campur tangan barat di Libya telah meletakkan beban lebih banyak pada negara yang terlibat, padahal perekonomian mereka sedang jeblok akibat krisis global.
Pemerintah Inggris, sebagai salah satu dalang di balik invasi di Libya, mengajukan proposal baru untuk mengatasi masalah yang membelit misi ambisius NATO di negara kaya minyak itu. Gagasan tentang kontraktor keamanan swasta tidak popular, dan kemungkinan akan memicu rentetan kritik, termasuk di dalam negeri Inggris sendiri.
Citra internasional perusahaan keamanan swasta sangat buruk di mata opini publik dunia, perusahaan semacam ini seperti Blackwater (Xe) terbukti melakukan berbagai rangkaian kejahatan serius dan pelanggaran HAM di Irak, termasuk pembantaian warga sipil.
Proposal kontroversial Inggris ini datang setelah pemerintah Afghanistan mengumumkan rencana untuk mengusir perusahaan-perusahaan keamanan swasta selama 12 bulan ke depan.
Sementara itu, perusahaan keamanan semacam Blackwater yang beroperasi atas nama pemerintah Barat di zona perang, menikmati kekebalan hukum yang kuat bahwa banyak penyelidikan gagal menyeret penjahat yang memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab hukum mereka.
Namun, saran Barat mempekerjakan perusahaan keamanan swasta dan melatih pasukan revolusioner Libya dengan dana dari negara-negara Arab, menunjukkan bahwa negara-negara Barat bertekad untuk mengakhiri cengkeraman rezim Qaddafi di Libya.
Sehari sebelumnya, serangan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) kembali menewaskan warga sipil dan seorang polisi di selatan ibukota Tripoli, di saat pemerintah Perancis menuding NATO gagal melindungi warga sipil.
Kubu revolusioner mengklaim pasukan loyalis Gaddafi membunuh sedikitnya 10.000 orang selama pertempuran berlangsung di negara Afrika Utara itu. Dewan Revolusi Nasional Libya mengatakan sebanyak 30.000 orang lainnya terluka dan 20.000 lagi masih dinyatakan hilang.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Libya memperingatkan bahwa setiap intervensi asing dengan dalih membawa bantuan ke pelabuhan yang dikuasi pejuang revolusioner di Misrata akan berhadapan dengan perlawanan bersenjata. [irib/htipress/syabab.com]
Kekuatan Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, yang memimpin upaya Dewan Keamanan PBB dan memberlakukan zona larangan terbang di Libya, sejak awal berusaha untuk menggulingkan rezim Qaddafi, namun kalkulasi mereka terbukti keliru setelah pasukan dalam negeri yang mereka dukung, gagal meningkatkan cengkeraman mereka menghadapi pasukan pro-Qaddafi.
Selain itu, biaya keuangan dari campur tangan barat di Libya telah meletakkan beban lebih banyak pada negara yang terlibat, padahal perekonomian mereka sedang jeblok akibat krisis global.
Pemerintah Inggris, sebagai salah satu dalang di balik invasi di Libya, mengajukan proposal baru untuk mengatasi masalah yang membelit misi ambisius NATO di negara kaya minyak itu. Gagasan tentang kontraktor keamanan swasta tidak popular, dan kemungkinan akan memicu rentetan kritik, termasuk di dalam negeri Inggris sendiri.
Citra internasional perusahaan keamanan swasta sangat buruk di mata opini publik dunia, perusahaan semacam ini seperti Blackwater (Xe) terbukti melakukan berbagai rangkaian kejahatan serius dan pelanggaran HAM di Irak, termasuk pembantaian warga sipil.
Proposal kontroversial Inggris ini datang setelah pemerintah Afghanistan mengumumkan rencana untuk mengusir perusahaan-perusahaan keamanan swasta selama 12 bulan ke depan.
Sementara itu, perusahaan keamanan semacam Blackwater yang beroperasi atas nama pemerintah Barat di zona perang, menikmati kekebalan hukum yang kuat bahwa banyak penyelidikan gagal menyeret penjahat yang memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab hukum mereka.
Namun, saran Barat mempekerjakan perusahaan keamanan swasta dan melatih pasukan revolusioner Libya dengan dana dari negara-negara Arab, menunjukkan bahwa negara-negara Barat bertekad untuk mengakhiri cengkeraman rezim Qaddafi di Libya.
Sehari sebelumnya, serangan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) kembali menewaskan warga sipil dan seorang polisi di selatan ibukota Tripoli, di saat pemerintah Perancis menuding NATO gagal melindungi warga sipil.
Kubu revolusioner mengklaim pasukan loyalis Gaddafi membunuh sedikitnya 10.000 orang selama pertempuran berlangsung di negara Afrika Utara itu. Dewan Revolusi Nasional Libya mengatakan sebanyak 30.000 orang lainnya terluka dan 20.000 lagi masih dinyatakan hilang.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Libya memperingatkan bahwa setiap intervensi asing dengan dalih membawa bantuan ke pelabuhan yang dikuasi pejuang revolusioner di Misrata akan berhadapan dengan perlawanan bersenjata. [irib/htipress/syabab.com]
Tidak ada komentar