Header Ads

Tanggapan Tulisan "Terorisme, Islam, dan Gus Dur"

Apa yang ditulis saudara Cecep Hidayat (CH) berupa sebuah artikel berjudul “Terorisme, Islam, dan Gus Dur” yang dimuat di detikcom pada tanggal 25/04 menarik untuk ditanggapi. Si penulis sendiri mengklaim tulisannya merupakan manifestasi dari buah pemikiran Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Seorang tokoh agamawan yang memang dikenal cukup kontroversial di kalangan umat Islam.

(Tulisannya bisa dilihat disini: http://suarapembaca.detik.com/read/2011/04/25/104702/1624426/471/terorisme-islam-dan-gus-dur)

Dengan tidak bermaksud mengurangi rasa hormat, saya mencoba memberikan catatan kritis atas artikel tersebut, yang menurut pencermatan saya, saudara CH sebagaimana isi artikel yang beliau tulis mengusung paradigma sekulerisme (memisahkan agama dengan kehidupan), artinya Islam dipandang cukup mengatur aktivitas ritual dan spiritual saja, namun tidak untuk ranah publik atau negara.

Pemikiran seperti ini cukup berbahaya bagi masyarakat, MUI pun telah mengeluarkan fatwa haramnya paham sekulerisme ini, yang bersamaan dengan fatwa haramnya pluralisme (bukan pluralitas) dan liberalisme pada tahun 2005 silam.

Alasan utama lahirnya tanggapan tulisan saya ini didasari oleh firman Allah SWT surat An-Nahl: 125, yang berbunyi: “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.

Di awal artikel, saudara CH memberikan kesimpulan bahwa tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia akhir akhir ini merupakan konsekwensi adanya kelompok Islam yang disebutnya radikal. Menurut hemat saya, kesimpulan ini terlalu prematur dan jauh dari obyektifitas fakta.

Sebelumnya perlu diketahui bersama terlebih dahulu, penulis buku “Islam politik dan spiritual”, Hafidz Abdurrahman, menjelaskan bahwa kategorisasi Islam Radikal, Moderat, Ekstrem, Fundamentalis, dan sebagainya (meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat) adalah mapping (pemetaan) yang berfungsi untuk memudahkan peneliti dalam memahami Islam.Kategorisasi seperti ini merupakan bagian dari pemetaan yang dilakukan untuk memilah-milah Islam berdasarkan kecenderungan orangnya. Dari aspek ini saja sudah keliru. Sebab, Islam dinilai dengan menilai orangnya, bukan Islamnya itu sendiri.

Pemilahan atau pemetaan itu sengaja dilakukan oleh orang yang berada di luar Islam dalam rangka mendekati orang Islam untuk kepentingan mereka. Lalu apa kepentingan mereka? Jelas, yaitu: devide et impera; belah bambu; satu diinjak, yang lain dirangkul. Tujuan akhirnya, agar orang Islam bisa dijinakkan dan dikuasai oleh penjajah. Inilah strategi yang juga akui sendiri oleh George Tenet, mantan Direktur CIA; bahkan merupakan rekomendasi terakhir Donald Rumsfeld sebelum lengser. Dia menegaskan, bahwa umat Islam tidak bisa dikalahkan oleh orang luar, kecuali oleh orang Islam sendiri.

Karena itu pula, Islam sebagai agama dan ajaran dibedakan dengan pemeluknya. Sebagai agama dan ajaran, Islam tidak pernah berubah. Islam sudah lengkap dan sempurna. Hanya saja, pemahaman pemeluknya terhadap Islam itulah yang berbeda-beda, ada yang lengkap (kaffah) dan ada yang tidak kaffah, ada yang memahami Islam dari satu aspek, sementara aspek yang lain ditinggalkan.

Nah, salah satu letak ketidak obyektifan artikel saudara CH ialah pada vonis “gebyah uyah” yang mengatakan tindakan terorisme adalah akibat adanya kelompok yang menginginkan tegaknya aturan Islam secara kaffah, padahal kelompok kelompok yang disebutnya radikal tersebut sebagian besar menolak tindakan teror isme seperti di Cirebon misalnya. Bahkan diantaranya menggunakan jalan dakwah dengan tanpa kekerasan sebagaimana metode nabi Saw. Perlu digaris bawahi pula, adanya indikasi kuat bermainnya invisible hands di dalam tindakan tindakan teror tersebut.

Saudara CH juga memilah antara kelompok Islam yang memandang bahwa Islam perlu di formalisasikan dan tidak perlu diformalisasikan, disebutnya Insklusif substantif dan legal eksklusif. Pada bagian ini sejatinya kalau kita mau adil, mana ada sih peraturan yang diterapkan cukup substansinya saja? (baik itu ideologi kapitalisme maupun sosialisme) semuanya pasti butuh formalisasi. Misalkan saudara CH berada di pihak Islam substantif, ini juga berarti disadari atau tidak, beliau adalah sedang memperjuangkan formalisasi sekulerisme. Pertanyaanya, kenapa kalau sistem sekulerisme yang telah membuat Indonesia dijajah secara non fisik ini justru berhak diformalisasikan, sedang ideologi Islam yang dapat menyelamatkan Indonesia tidak? inikan tak adil namanya.

Lalu pembahasan selanjutnya ialah klaim tidak diketemukannya dalil wajib tegaknya ideologi Islam serta konsep permanen negara Islam. Dalam masalah ini, sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekurangan adalah hal yang wajar bilamana Gus Dur tidak menemukan hal tersebut. Namun jika kita mau, kita akan dapat menemukan cukup banyak kitab-kitab karangan ulama yang telah memberikan penjelasan tentang dalil dan konsep negara Islam. Seperti halnya kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah karangan Imam al-Mawardi, Siyasayah Syar’iyah oleh Ibnu Taimiyah, Nizham al-Hukmi fîI al-Islam karya Syaikh Taqiyudin An-Nabhaniy, Al-Islam Wal Khilafah karya Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, dll.

Sedang dalil yang dijelaskan diantaranya:
“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (QS. Al-Ma’idah: 49).

“Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim). Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya. Maka tidak tepat jika dikatakan pendirian Negara Islam/khilafah tidak ada dalilnya.

Terus bagaimana dengan para pendiri bangsa? jawabannya, para founding father bangsa ini pun sejatinya juga menginginkan formalisasi Ideologi Islam di Indonesia, hal ini tercermin dalam kesepakatan mereka menandatangani piagam jakarta 1945, yang kemudian ditelikung oleh manuver tidak sehat dari PPKI. Jadi tidak benar apabila mengatakan bahwa para pendiri bangsa ini tidak menginginkan formalisasi ideologi Islam.

Kemudian tentang berbeda bedanya mekanisme pengangkatan khalifah pada massa khulafaurrasyidin, seperti model pemilihan langsung khalifah Abu Bakar Ash Shidiq, model nominasi untuk khalifah Umar Bin Khatab, atau dengan komite pemilihan pada khalifah Usman Bin Affan, semuanya adalah sah sebagai model pengangkatan khalifah, sebab hal tersebut sudah menjadi kesepakatan sahabat (ijma’ sahabat). Pada intinya, meski mekanisme pemilihan pengangkatan khalifahnyanya berbeda (hal tehnis), namun para khalifah tersebut tetap saja semuanya menerapkan syariah Islam secara kaffah (ideologi Islam).

Tak berbeda halnya dengan sistem demokrasi di Indonesia, dahulu sebelum mekanisme pemilihan langsung, Presiden diangkat melalui lembaga perwakilan (MPR/DPR), namun kesemua mekanisme itu juga tetap saja disebut dalam lingkup sistem demokrasi.

Maka sungguh tidak pantas apabila masih ada yang menolak formalisasi Ideologi yang datang dari Dzat pencipta langit dan bumi, apalagi bagi seseorang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Ali Mustofa

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.