Header Ads

Musuh Negara

Oleh: Farid Wadjdi

Musuh negara itu bukan Islam, tetapi imperialisme, kapitalisme, individualisme, komunisme!" tegas Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) mengkritik frasa "musuh negara" dalam Rancangan Undang Undang Intelijen yang tengah digodog Dewan Perwakilan Rakyat.

Pernyataan Tyasno yang disampaikan dalam Halaqah Islam Perabadaban (HIP) ke-29 ini penting kita kutip. Pasalnya, selama ini ada upaya sistematis dari kelompok-kelompok liberal untuk menempatkan Islam sebagai musuh: apalagi kalau tidak dengan tudingan ekstrim kanan, radikal, teroris dan sebagainya.

Menjadikan Islam sebagai musuh negara, selain keliru, juga sangat berbahaya. Keliru, karena sesungguhnya Islam yang tidak bisa dipisahkan dari aqidah dan syariahnya, adalah rahmatan lil 'alamin. Kalau diterapkan, syariah Islam justru akan memberikan kebaikan pada seluruh umat manusia baik Muslim maupun non-Muslim. Tentu tidak masuk akal, akidah dan syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang ar-Rahman dan ar-Rahim membahayakan manusia, masyarakat atau bangsa ini. Adapun negara yang didasarkan pada Islam (Daulah Khilafah) adalah konsekuensi logis dari kewajiban menerapkan syariah Islam secara kaffah. Sebab, tanpa otoritas politik, dalam hal ini negara, syariah Islam yang rahmatan lil 'alamin tentu tidak bisa diterapkan.

Khilafah juga menjadi institusi pemersatu umat Islam seluruh dunia, karena persatuan pastilah membutuhkan kesatuan politik dan kepemimpinan. Persatuan yang didasarkan akidah Islam ini tentu akan sangat kokoh daya eratnya dan luas daya Jangkaunya: sementara kita sering menyatakan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Khilafah sekaligus akan menjadi pelindung umat (al-junnah), yang melindungi umat dari cengkeraman penjajahan, intervensi asing dan pembunuhan negara-negara musuh.

Menjadikan ajaran Islam berupa akidah dan syariahnya sebagai ancaman sama saja dengan menjauhkan Islam dari kehidupan masyarakat. Padahal ketiadaan penerapan Islamlah yang menjadi biang kerok dari berbagai persoalan masyarakat kita.

Menjadikan Islam sebagai musuh juga berbahaya. Sebab, itu berarti negara akan menganggap perjuangan syariah Islam sebagai tindakan makar dan rakyat yang memperjuangkannya sebagai pelaku subversi. Tindakan represif pun akan dilakukan atas nama keamanan negara, seperti menangkap, menculik, menyiksa, memenjarakan dan membunuh para aktifis Islam yang sesungguhnya ingin menyelamatkan bangsa dan negara dengan menerapkan syariah Islam.

Ketika negara menjadikan Islam sebagai ancaman, negara secara langsung telah menjadi kaki tangan atau boneka penjajah imperialis. Sebab, sesungguhnya dalam pandangan negara-negara imperialis, Islam adalah ancaman bagi eksistensi penjajahan mereka. Tony Blair pernah secara terbuka menuding cita-cita umat Islam untuk menegakkan syariah Islam, Khilafah, dan sikap penolakan umat Islam terhadap keberadaan negara zionis sebagai cerminan ideologi iblis.

Tidak mengherankan kalau para penguasa diktator bengis seperti Soeharto, Husni Mubarak, Zainal Abidin bin Ali, Muamar Qaddafi bersikap represif terhadap gerakan Islam ideologis yang ingin memperjuangkan syariah Islam. Mereka menjadi kaki tangan negara penjajah yang tidak ingin rakyatnya bangkit dan maju dengan syariah Islam. Ribuan aktifis Islam di tangkap, dipenjara, dan disiksa dengan keji. Hal yang sama dilakukan oleh rezim Fatah di Palestina dan rezim tirani Saudi Arabia. Penguasa diktator dan bengis ini lebih memilih menjalankan titah sang tuan meskipun harus membunuh rakyatnya sendiri. Penguasa telah menjadi musuh bagi rakyatnya sendiri.

Karena itu, adalah penting dalam RUU Intelijen yang sedang digodok dengan tegas mengatakan bahwa Islam bukanlah ancaman. Dengan tegas juga harus dinyatakan bahwa sistem Kapitalisme yang diusung oleh negara-negara imperialis itulah yang menjadi ancaman Negara dan musuh negara, karena membahayakan rakyat dan negara. Perlu kita tegaskan, ancaman Kapitalisme ini bukan lagi potensi nyata, tetapi terbukti di depan mata.

Puluhan juta rakyat miskin, tingginya angka pengangguran dan meluasnya kemaksiatan merupakan dampak nyata dari penerapan sistem Kapitalisme di negara kita. Lahirnya UU neo-liberal seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal telah menjadi sarana legal memuluskan perampokan terhadap kekayaan alam kita oleh negara-negara asing. Padahal kekayaan tersebut sebenarnya milik rakyat dan seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Bukan rahasia lagi pembuatan UU neo liberal ini merupakan bentuk intervensi langsung dari negara-negara imperialis. Bayangkan di gedung parlemen Indonesia terdapat kantor non  govermental organization atau LSM asing. Logo UNDP ada di sebuah ruangan di lantai tiga gedung DPD RI dan lantai 7 gedung Sekretariat jenderal DPR RI. Padahal gedung negara menyimpan dokumen yang sangat penting.

Amendemen UUD 2002 tidak lepas dari dana asing. NDI (National Democration Institute) dan CETRO dengan program Constitutional Reform mendapat dana USD 4,4 miliar dan mendapat fasilitas di Badan Pekerja. Demikian juga ADB dan USAID, seperti yang dirilis di situs (www.usaid.gov), telah bekerjasama untuk membuat draf RUU Migas pada tahun 2000.

Ide demokrasi dan HAM yang menjadi pilar sistem Kepitalisme juga telah memperlemah negara dan menjadi alat memecah-belah negara kita. Bukankah atas dasar hak menentukan nasib sendiri Timor Timur lepas? Ancaman disintegrasi wilayah lain menyusul, di Papua dan Aceh.

Merujuk pada syariah Islam, siapa yang sesungguhnya menjadi musuh negara adalah sangat jelas, yaitu negara-negara yang masuk dalam katagori muhariban fi'l[an]: negara-negara imperialis yang secara langsung telah melakukan peperangan terhadap negeri-negeri Islam. Mereka adalah negara-negara imperialis seperti Amerika, Inggris. Prancis dan sekutunya yang secara nyata telah melakukan pembunuhan terhadap umat Islam di Irak, Afganistan, Pakistan dan negeri-negeri lain.

Sikap yang harus diambil oleh negara adalah memutus hubungan dalam bentuk apapun dengan negara-negara penjajah ini. Negara juga tidak membiarkan keberadaan kedubes negara-negara penjajah ini yang menjadi markas spionase asing untuk menghancurkan negeri ini. Negara tidak boleh memberikan jalan sedikitpun kepada mereka untuk mempengaruhi, mendominasi apalagi menguasai negeri Islam. Setiap aktivitas intelijen negara seharusnya difokuskan untuk mengamati berbagai gerakan negara-negara imperialis ini terutama orang-orang atau LSM yang yang diduga keras menjadi kaki tangan mereka. Sebab, merekalah musuh negara yang sejati!

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.