Menyikapi Hukuman Pancung
Masyarakat Indonesia memang mayoritas muslim. Namun kenyataannya bukan berarti telah mengenal hukum-hukum Allah SWT yang termaktub dalam Al Qur’an, kitab suci umat Islam. Harus diakui bahwa, bisa jadi fakta hukuman pancung masih dipandang barbar. Banyak faktor penyebabnya. Yang utama karena ketidakfahaman terhadap ajaran agamanya sendiri. Kedua karena opini yang menyesatkan, yang sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang tidak suka pada hukum-hukum Islam.
Bagi umat Islam, Al Qur’an sendiri telah jelas-jelas menyebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…” [QS. al-Baqarah: 178]
Orang yang membunuh orang lain tanpa haq (yang dimaksud haq adalah ketika perang atau ketika dalam upaya membela diri dari pembunuhan terhadap dirinya), maka ia harus dibunuh.
Bagi keluarga terbunuh dan masyarakat secara umum, hukum qishash ini akan menyebabkan rasa aman terhadap berkeliarannya para pembunuh. Orang akan berpikir ribuan kali untuk membunuh orang lain tanpa haq. Karena nyawanya sendiri yang menjadi taruhan. Inilah sebabnya dalam al-Qur’an pun disebutkan:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 179]
Pembunuhan bukanlah hal yang remeh dalam Islam. Al Qur’an bahkan menjelaskan penerapannya secara rinci.
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. an-Nisaa': 92]
Indonesia adalah salah satu negara yang belum bisa menjamin rasa aman bagi penduduknya. Para pembunuh mendekam beberapa tahun, untuk kemudian bebas lagi. Para pemerkosa masih bisa berkeliaran bebas, yang menyakitkan hati korban dan keluarganya. Kasus pembunuhan pun marak. Perampokan tak jarang disertai pembunuhan. Tawuran antar kampung membawa korban-korban tewas. Maling ayam dan maling jemuran yang tertangkap pun dibunuh beramai-ramai. Banyak pula kasus pembunuhan hanya karena soal sepele. Senggol-senggolan di acara dangdut pun bisa berujung pembunuhan. Walhasil pembunuhan dipandang kasus sepele. Nyawa manusia menjadi sangat rendah harganya.
Dengan tidak bermaksud membela Saudi, karena hukum Islam di negara inipun hanya diterapkan secara parsial dan masih banyak aspek hukum-hukum Islam yang dilanggar, namun hukum Allah terkait pembunuhan sendiri adalah bentuk hukuman yang terbaik. Bagi si pembunuh sendiri, hukuman ini akan menebus kesalahannya di dunia dan taubatnya akan mendatangkan pahala yang besar di akhirat nanti.
Oleh karena itu penerimaan terhadap hukum pancung bagi pembunuh yang terbukti bersalah, memang terkait dengan keimanan dan pemahaman yang utuh terhadap penerapan hukum-hukum Allah SWT. Aspek ini menuntut penerapan yang adil dari pihak negara. Karena pertanggungjawaban bagi negara yang tidak adil dalam menjatuhkan hukuman bagi terdakwa adalah yang paling berat di akhirat nanti. Khususnya bagi pemimpin yang berkuasa.
Hal yang lain adalah hakim atau qadhi yang memutuskan hukuman, harus semata-mata berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Sisi berikutnya adalah pelaku pembunuhan yang bila ikhlas menjalankan, imbalannya adalah negeri Akhirat yang indah dan kekal. Sementara bagi keluarga korban, pemaafan bagi orang-orang yang memang layak untuk dimaafkan juga adalah yang terbaik di sisi Allah SWT.
Penerapan hukum Islam yang adil menuntut seluruh aspek terselenggara secara sempurna. Oleh karena itu institusi penerapan hukuman pun haruslah meneladani apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan al-Khulafa’ur Rasyidun, yakni sistem Khilafah Islam ‘alaa Minhajin Nubuwwah (Kekhilafahan yang sesuai jalan yang diterapkan Nabi).
Hukum pancung masih tergambar timpang bila diterapkan oleh sistem Kerajaan, Republik atau Negara manapun yang hanya mengadopsinya secara parsial.
Pekerjaan rumah bagi Indonesia sebagai negara muslim terbesar adalah bagaimana memberi kesadaran beragama yang benar bagi kaum muslimin itu sendiri. Upaya dakwah tidak hanya menyentuh masalah qalbu namun kosong dari pemahaman syariat.
Bagaimanapun penerapan syariat adalah wujud dari kesadaran untuk menjalankan agama secara benar. Tidak layak seorang muslim mengaku beriman kepada Allah SWT, namun di sisi lain menentang apa-apa yang diperintahkanNya.
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (TQS. Al Ahzab:36)
(Lathifah Musa)
Bagi umat Islam, Al Qur’an sendiri telah jelas-jelas menyebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…” [QS. al-Baqarah: 178]
Orang yang membunuh orang lain tanpa haq (yang dimaksud haq adalah ketika perang atau ketika dalam upaya membela diri dari pembunuhan terhadap dirinya), maka ia harus dibunuh.
Bagi keluarga terbunuh dan masyarakat secara umum, hukum qishash ini akan menyebabkan rasa aman terhadap berkeliarannya para pembunuh. Orang akan berpikir ribuan kali untuk membunuh orang lain tanpa haq. Karena nyawanya sendiri yang menjadi taruhan. Inilah sebabnya dalam al-Qur’an pun disebutkan:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 179]
Pembunuhan bukanlah hal yang remeh dalam Islam. Al Qur’an bahkan menjelaskan penerapannya secara rinci.
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. an-Nisaa': 92]
Indonesia adalah salah satu negara yang belum bisa menjamin rasa aman bagi penduduknya. Para pembunuh mendekam beberapa tahun, untuk kemudian bebas lagi. Para pemerkosa masih bisa berkeliaran bebas, yang menyakitkan hati korban dan keluarganya. Kasus pembunuhan pun marak. Perampokan tak jarang disertai pembunuhan. Tawuran antar kampung membawa korban-korban tewas. Maling ayam dan maling jemuran yang tertangkap pun dibunuh beramai-ramai. Banyak pula kasus pembunuhan hanya karena soal sepele. Senggol-senggolan di acara dangdut pun bisa berujung pembunuhan. Walhasil pembunuhan dipandang kasus sepele. Nyawa manusia menjadi sangat rendah harganya.
Dengan tidak bermaksud membela Saudi, karena hukum Islam di negara inipun hanya diterapkan secara parsial dan masih banyak aspek hukum-hukum Islam yang dilanggar, namun hukum Allah terkait pembunuhan sendiri adalah bentuk hukuman yang terbaik. Bagi si pembunuh sendiri, hukuman ini akan menebus kesalahannya di dunia dan taubatnya akan mendatangkan pahala yang besar di akhirat nanti.
Oleh karena itu penerimaan terhadap hukum pancung bagi pembunuh yang terbukti bersalah, memang terkait dengan keimanan dan pemahaman yang utuh terhadap penerapan hukum-hukum Allah SWT. Aspek ini menuntut penerapan yang adil dari pihak negara. Karena pertanggungjawaban bagi negara yang tidak adil dalam menjatuhkan hukuman bagi terdakwa adalah yang paling berat di akhirat nanti. Khususnya bagi pemimpin yang berkuasa.
Hal yang lain adalah hakim atau qadhi yang memutuskan hukuman, harus semata-mata berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Sisi berikutnya adalah pelaku pembunuhan yang bila ikhlas menjalankan, imbalannya adalah negeri Akhirat yang indah dan kekal. Sementara bagi keluarga korban, pemaafan bagi orang-orang yang memang layak untuk dimaafkan juga adalah yang terbaik di sisi Allah SWT.
Penerapan hukum Islam yang adil menuntut seluruh aspek terselenggara secara sempurna. Oleh karena itu institusi penerapan hukuman pun haruslah meneladani apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan al-Khulafa’ur Rasyidun, yakni sistem Khilafah Islam ‘alaa Minhajin Nubuwwah (Kekhilafahan yang sesuai jalan yang diterapkan Nabi).
Hukum pancung masih tergambar timpang bila diterapkan oleh sistem Kerajaan, Republik atau Negara manapun yang hanya mengadopsinya secara parsial.
Pekerjaan rumah bagi Indonesia sebagai negara muslim terbesar adalah bagaimana memberi kesadaran beragama yang benar bagi kaum muslimin itu sendiri. Upaya dakwah tidak hanya menyentuh masalah qalbu namun kosong dari pemahaman syariat.
Bagaimanapun penerapan syariat adalah wujud dari kesadaran untuk menjalankan agama secara benar. Tidak layak seorang muslim mengaku beriman kepada Allah SWT, namun di sisi lain menentang apa-apa yang diperintahkanNya.
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (TQS. Al Ahzab:36)
(Lathifah Musa)
Tidak ada komentar