Header Ads

NU Jam'iyah Kebangsaan, GP Ansor Siap Sweeping Pesantren Radikal

Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siradj dalam pidatonya saat Harlah di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), menegaskan, "NU memandang negara Indonesia bukanlah negara agama, negara etnik, atau negara sekuler, tetapi negara kebangsaan", tegasnya.

NU yang kepanjangan dari Nahdathul Ulama (Kebangkitan Ulama) itu, menurut Said Agil Siradj, ikut menjaga kelesatarian NKRI, yang berdasarkan Pancasila. Tidak terlintas sedikitpun dalam benak para ulama NU berikut pengurus NU di semua jajaran untuk mengubah dasar negara tersebut, tambahnya.

Meskipun, sesudah pemilu tahun 1955, di Konstituante, NU bersama-sama partai-partai Islam lainnya, termasuk Masyumi, berusaha dengan keras memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, bukan Pancasila yang diperjuangkan NU sebagai dasar negara. Kemudian, Konstituante itu dibubarkan oleh Soekarno, di tahun 1959, dan kembali ke UUD '45.

Di awal berdirinya NU yang dipimpin KH.Hasyim Asy'ari, NU merupakan tulang punggung umat Islam dalam memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam dan syariah Islam, dan itu termaktub secara ekplisit dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Ini menjadi sejarah masa lalu Jam'iyah NU, yang berbasis di pesantren-pesantren yang dimiliki para kiai di selulruh Indonesia. Jadi jati diri NU itu awalnya merupakan 'milestone' (tonggak) kebangkitan ulama di Indonesia.

Dibagian lain, terkait dengan radikalisme, Said Aqil Siradj mengatakan, NU merupakan organisasi yang selalu memilih jalan tengah (wasath), tidak ekstrim, dan mendukung politik yang stabil. Tak hanya saat ini, lanjut Said, tetapi sepanjang perjalanannya, NU tidak pernah onar dan memberontak kepada negara.

Memang, NU mengalami perubahan yang radikal, sejak dipimpin oleh Abdurrahman Wahid, yang mengabdopsi pandangan-pandangan yang selalu menimbulkan "kontroversi", bahkan sering dikatakan melawan arus 'mainstreams' umat Islam. Di era reformasi Abdurrahman Wahid, yang menjadi cucu hadratussheikh Hasyim Asy'ari itu, juga mendirikan partai, yang bernuansa kebangsaan yaitu PKB, yang sekarang dipimpin keponakannya Muahimin Iskandar. PKB tidak menggunakan azas Islam.

Sementara itu, organisasi yang merupakan underbow NU, yaitu Banser, menyatakan siap melakukan "sweeping" terhadap pesantren-pesantren radikal. "Kami akan membantu kinerja Densus 88 untuk memberantas teroris dengan cara sweeping pesantren radikal. Kami tangkap orang-orangnya dan kami serahkan ke Densus 88", tegas Gus Nuruzzaman, komandan Banser Cirebon.

Ketua GP Ansor Nusron Wahid, yang memimpin Apel Barisan Ansor Serbaguna (Banser) saat puncak peringatan Harlah NU yang ke 77, di Parkir Senayan. Nusron Wahid, yang anggota DPR dari Golkar itu, menyatakan, GP Ansor melihat NKRI, Pancasila, dan UUD 1945, dan kebinekaan Indonesia adalah harga mati. Siapapun yang menganggunya akan berhadapan dengan GP Ansor. Ancaman radikalisme yang ada saat ini, lanjutnya ajaran yang sudah menghalalkan kekerasan atau terorisme, ujarnya.

Inilah penegasan NU dan GP Ansor saat berlangsungnya Harlah NU yang ke 77 di Gelora Bung Karno, yang memposisikan dirinya sebagai organisasi Jam'iyah kebangsaan. Seperti yang sudah diwariskan oleh mantan Presiden Abdurrahman WAhid, yang dilengserkan (diempeach) DPR/MPR karena kasusn korupsi "Brunei Gate" dan "Bulog Gate".

Bahkan, NU yang mengaku dirinya sebagai penjaga NKRI itu, tak mampu menyelamatkan asset negara yang sekarang sudah menjadi milik asing. Indonesia sebagai sebuah negara assetnya sudah habis, dan menjadi miliki asing. Bagiamana tanggung jawab NU? (mh/eramuslim/al-khilafah.org)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.